Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Rusun Kemayoran</font><br />Tiang Pancang untuk Pak Wapres

Jusuf Kalla berang karena proyek rumah susun Kemayoran tak kunjung dikerjakan. Status pemilikan tanah masih simpang-siur.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU unit alat pemasang tiang pancang mangkrak di tanah seluas hampir dua kali lapangan sepak bola. Di tempat lain, beberapa langkah dari alat berat itu, tak sampai sepuluh paku bumi terpancang dengan tinggi tidak beraturan. Yang tampak hanya empat pekerja plus sebuah mesin bor yang berulang kali membenamkan dan mengangkat pipa-pipa besi sepanjang lima meter itu. ”Kami masih melakukan uji tanah,” kata seorang pekerja.

Lahan persegi panjang yang dikurung pagar seng itu merupakan lokasi pembangunan rumah susun buat warga menengah dan bawah. Terletak di blok C bekas Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat, proyek ini dimulai pada Desember lalu. Tapi hingga akhir pekan lalu belum ada pembangunan berarti. Pekerja tadi bahkan menyebut tiang-tiang yang sudah berdiri itu baru dipancangkan pada Kamis dua pekan lalu.

Melihat cuma ada beberapa tiang terpancang, ketika berkunjung ke lokasi pada Sabtu dua pekan lalu, tak pelak Wakil Presiden Jusuf Kalla naik pitam. Semua pejabat yang ikut bertanggung jawab, antara lain Gubernur DKI Jakarta, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Direktur Utama Perum Perumnas, dan Ketua Direksi Pelaksanaan Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran (DP3KK)—badan yang bernaung di bawah Sekretariat Negara—bergilir kena semprot Kalla. ”Tidak ada semangat,” ujarnya.

Tak cuma lambannya pembangunan konstruksi yang membuat Kalla kesal. Luas lahan tempat tiang pancang ditanam itu kurang dari dua hektare. Sebetulnya, lahan itu pun belum bisa dipakai. Soalnya, resminya hingga 2010 tanah itu masih disewa oleh sebuah perusahaan alat berat. Hanya karena Kalla berencana meninjau ke sana, tanah ”sewaan” itu buru-buru ditancapi pasak bumi.

l l l

PEMBANGUNAN rumah susun Kemayoran merupakan bagian dari proyek seribu menara di sepuluh kota. Rencana ini didengungkan pemerintah sejak awal tahun lalu. Dari sejumlah lokasi di Jakarta, Kemayoran adalah lahan milik pemerintah yang paling strategis.

Menurut Ketua DP3KK Semeru Soekarno, Kalla sebenarnya menginginkan 100 hektare lahan di Kemayoran dibangun rumah susun sederhana. Permintaan yang tak mudah dipenuhi karena, menurut Semeru, hampir semua lahan di sana sudah ada peruntukannya. Meski demikian, DP3KK menyanggupi menyediakan 56 hektare.

Meski lahan sudah dijanjikan, Perumnas tidak langsung bisa mendirikan bangunan. Mula-mula perusahaan perumahan milik pemerintah itu harus membelinya dulu dari DP3KK. Nah, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6/2006, tanah milik negara harus dijual dengan harga sedikitnya setara dengan nilai jual obyek pajak (NJOP).

Masalahnya, NJOP tanah di Kemayoran saat ini Rp 4 juta per meter persegi. ”Harga itu terlalu mahal untuk membangun rumah susun,” kata Menteri Negara Perumahan Rakyat, Yusuf Asy’ari. Ia mengatakan, harga yang cocok untuk rumah susun adalah Rp 1 juta. Melepas tanah dengan harga teramat miring, meski itu untuk kepentingan rakyat kecil, juga tak mungkin. ”Kalau saya lepas dengan harga di bawah NJOP, saya bisa dikejar Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Semeru.

Kemarahan Wakil Presiden sebenarnya sambungan dari kedongkolan pekan sebelumnya. Setelah membuka sebuah pameran, Kalla menyempatkan diri menengok pembangunan rumah susun. Tapi yang didapatinya cuma lahan kosong. Ia memerintahkan supaya pembangunan segera dimulai dan harus ada perkembangan dalam sepekan. Karena pemasangan pancang dikebut buat menyambut Kalla, hasilnya pun jadi asal-asalan.

Semeru berargumen, ihwal status tanah yang terletak di blok C bekas Bandara Kemayoran itu tidak semestinya mengundang kemarahan Wapres. Sebab, pasal yang mengatur harga tanah pada PP Nomor 6 tersebut sedang direvisi Departemen Keuangan, sehingga harga jual bisa dipangkas.

Kalau mau aman, begitu disebutkan petinggi DP3KK, pemerintah menunggu hingga 2010. Itulah saat seluruh tanah 56 hektare, yang sebagian dalam status sewa, bisa dimiliki Perumnas. Rinciannya, 30 hektare sudah dibeli perusahaan rumah negara itu, sisanya Perumnas akan membayar murah karena peraturan sudah direvisi.

Menurut Nur Irsjadi Hassan, mantan Direktur Pengusahaan Tanah dan Jasa DP3KK, pada 1988 Perumnas memang telah membeli 30 hektare lahan dari DP3KK Rp 600 juta. Tanah ini diserahkan dalam dua tahap. Pada saat jual-beli, Perumnas menerima 15,6 hektare. Ini adalah lahan yang antara lain sudah dibangun menjadi empat blok rumah susun setinggi delapan lantai. Adapun sisa lahan 14,4 hektare diserahkan pada 2005. Nah, sementara menunggu 2010, masih versi DP3KK, Perumnas bisa mulai membangun di atas lahan ini.

Semudah itu? Tidak juga. Soalnya, tanah itu kini dipakai banyak pemukim liar. Mengusir orang yang telah bertahun-tahun tinggal di sana jelas tak mudah. Mungkin karena takut konflik dengan mereka, Perumnas sendiri enggan membebaskan lahan tersebut.

Direktur Utama Perumnas, Himawan Arief Sugoto, mengatakan meski tanah itu resminya milik lembaga yang ia pimpin, pembebasan lahan adalah kewajiban DP3KK. Tapi Nur Irsjadi mengatakan sebaliknya. ”Memang DP3KK harus membebaskan. Tapi, karena DP3KK tidak sanggup mengusir pemukim liar, Perumnas setuju akan membebaskan sendiri,” katanya. Cerita lain datang dari Semeru. Menurut dia, pembebasan lahan menjadi tanggung jawab kedua instansi.

Semeru mengatakan, dulu DP3KK tidak mampu membebaskan lahan tersebut karena di masa krisis ekonomi, ada kebijakan pemerintah daerah yang mengizinkan warga memanfaatkan lahan kosong. Ia menyarankan, jika pembebasan akan dilakukan, sebaiknya dilakukan secara bertahap, dan warga dipindah ke rumah susun.

l l l

TANAH yang dihuni pemukim liar baru satu soal. Soal lain adalah silang-sengkarut tentang janji DP3KK menyediakan lahan 56 hektare. Soalnya, Perumnas dan DP3KK juga punya versi yang berlainan soal lahan itu.

Menurut Semeru, lahan 30 hektare milik Perumnas adalah bagian dari komitmennya menyediakan 56 hektare lahan. Tapi, Himawan, mengatakan bahwa 56 hektare itu adalah tanah yang lain. ”Tanah 56 hektare itu belum dibuat nota kesepahamannya. Yang 30 hektare itu sudah lama (dibeli Perumnas),” katanya.

Versi ketiga datang dari Kementerian Perumahan Rakyat. Zulfi Syarif Koto, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat, mengatakan bahwa 56 hektare itu hanya termasuk 14,4 hektare lahan yang belum dibebaskan. Jadi, DP3KK mesti menyediakan 41,6 hektare lahan lagi.

Pabaliut? Silang-sengkarut? Kisruh ini seharusnya tidak terjadi jika semua lembaga yang berkepentingan lebih sering duduk bersama. Badan Pengelola Kompleks Kemayoran—atasan langsung DP3KK—mestinya bisa menjadi wadah. Secara resmi Badan Pengelola Kompleks Kemayoran diketuai Menteri Sekretaris Negara. Wakilnya: Menteri Perumahan Rakyat. Tapi, boro-boro terlibat dalam mengatur lahan bekas bandara itu, ”Saya tidak pernah diundang rapat,” kata Yusuf.

Adek Media Rosa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus