BISU berarti bicara. Ini kata master film bisu Charlie Chaplin. Di dalam drama, kata bertebaran dan menjadi jiwa dari seluruh bentuk kesenian itu. Di dalam sinematografi, gambar dan musik menjadi bahasa. Di Jerman, ''bahasa bisu'' melalui film dipelopori oleh sineas terkemuka semacam Fritz Lang, F.W. Murnau, dan Ernst Lubitsch. Sebagian karya para sineas besar inilah yang pekan silam dipertunjukkan oleh Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta, yang bekerja sama dengan Institut Kesenian Jakarta dan Goethe Institut. Yang menarik, Goethe Institut secara khusus mengundang orkestra Trio Murnau pimpinan Berndt Heller untuk mengiringi film-film bisu yang diputar di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki itu. Maka, komposisi ciptaan Giuseppe Becce yang diolah Berndt Heller menjadi jiwa dari sebuah komedi tragis berjudul Der Letzte Mann (Laki-laki Terakhir). Karya Sutradara F.W. Murnau ini berkisah tentang seorang portir hotel mewah yang sangat bangga akan pekerjaannya. Selain bangga dengan seragam yang penuh pangkat, pernik, dan topi yang gagah, ia merasa terhormat bisa membukakan pintu kereta orang-orang kaya. Suatu hari, karena pemimpin hotel menganggapnya sudah tua, ia dimutasikan menjadi penjaga kamar kecil. Hatinya hancur, harga dirinya jatuh. Ia terpaksa berpura-pura, mengenakan seragam kebesarannya setiap pagi, agar seluruh tetangga dan keluarganya menyangka ia masih bekerja sebagai portir hotel. Dalam karya Murnau, seperti juga dalam karya Chaplin, kata- kata tak penting lagi meski di masa akhir kehidupannya ''film bicara'' (film dengan dialog) sudah mulai diperkenalkan. Pada tahun 1924, ketika Nazi belum menjajah bentuk kesenian Jerman, Murnau memperlihatkan teknik yang luar biasa tinggi hingga ia membuktikan sebuah karya yang berbunyi kritik sosial sekaligus artistik. ''Di masa itu, ada kecenderungan untuk tidak menghargai orang-orang yang sudah tua, dan menempatkan mereka pada tempat yang paling buruk dalam pekerjaan,'' kata Berndt Heller kepada TEMPO. Sang portir tua, yang diperankan dengan cemerlang oleh Emil Jannings, adalah korban masa itu. Ia seorang pekerja teguh, rajin, dan setia. Toh ia didepak ke sebuah WC pengap hanya untuk menyediakan lap tangan bagi orang- orang kaya yang mencuci tangan. Dan bagaimana ini semua bisa digambarkan dengan begitu bagus tanpa dialog? Dalam film bisu lainnya, digunakan teks di layar putih yang diletakkan bersebelahan dengan layar yang menyajikan gambar. Dalam film ini, Murnau bahkan menghilangkan teks itu. Ia hanya menggunakan keterangan tertulis pada awal, pertengahan, dan akhir film. Yang menjadi tiang utama film ini, selain akting para pemain, adalah musik yang diciptaan Giuseppe Becce yang diolah dalam orkestra di panggung langsung oleh Trio Murnau. Kesedihan sang portir ketika membaca surat pemecatannya digambarkan dengan shot close-up huruf demi huruf yang dibaca sang portir, diiringi dengan musik yang menyentuh hati. Dan adegan kontras antara tamu hotel yang melahap makanan mewah dan sang portir yang menghirup sup dari mangkuk kaleng diiringi musik yang menggedor-gedor. Absennya dialog dalam film-film ini tentu saja membuka ruang seluasnya bagi musik untuk menjadi bagian yang penting, dan tidak sekadar menjadi ilustrasi seperti dalam film yang menggunakan ''dialog yang bersuara''. Sutradara Murnau dan penulis skenario Carl Meyer ingin mengakhiri kisah tragis itu di situ karena itulah kisah hidup sebenarnya. ''Sayang sekali, badan sensor masa itu melarang mereka membuat akhir film yang pesimistis seperti itu,'' tutur Heller. Film yang bertema kritik sosial itu agaknya mengganggu badan sensor film, maka Murnau dan Meyer harus membuat akhir yang optimistis. Maka, sang portir mendadak menolong seorang kaya yang meninggal di pelukannya. Ia mendapat warisan hartawan itu. Maka, sang portir pun menjadi orang kaya yang sangat menghargai orang-orang kecil. Akhir yang sangat dipaksakan, tapi apa boleh buat. Kejadian seperti ini juga terjadi secara rutin di perfilman Indonesia. Untung, film klasik seperti Tartuff karya Murnau, yang diambil dari drama karya Moliere, dan Die Nibelungen karya Fritz Lang tidak mengalami perubahan apa-apa. Penggarapan Tartuff yang dibuat seperti film bisu konvensional, lengkap dengan teks yang menjadi pengganti dialog, tetap tak kalah menarik dibandingkan dengan Der Letzte Mann. Kamerawan Karl Freund, yang menggunakan kameranya dengan bebas, yang menurut Heller terkadang digantung saja di tubuh si kamerawan atau dibawa oleh tangannya, telah berhasil menciptakan adegan-adegan yang dramatis. Murnau mencoba menyorot wajah Tartuff (lagi-lagi diperankan oleh Emil Jannings) yang berwajah lebar dan bergigi berantakan itu secara realistis, artinya tanpa tipuan rias wajah apa pun. Warna-warna dramatis hitam-putih, akting kelas tinggi, dan musik yang menyentuh dalam film-film bisu ini telah mengembalikan film kepada artinya semula, yakni berbicara melalui gambar. Seperti halnya Modern Times dan The Gold Rush karya Charlie Chaplin, film-film karya Murnau dan Fritz Lang itu penuh pernyataan di dalam kebisuannya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya film bisu bukanlah film yang ''bisu''. Ia sebuah film yang ''berbicara''. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini