NORA Ephron bukanlah sutradara yang cukup populer di Indonesia. Padahal, ia adalah satu dari sedikit sutradara sekaligus penulis skenario wanita yang mampu meraih sukses menembus Hollywood. Paling tidak, dua skenarionya berhasil masuk unggulan skenario terbaik, yakni Silk Wood dan When Harry Met Sally. Bahkan, yang disebut terakhir kerap menjadi bahan studi skenario di sekolah-sekolah film. Kali ini Ephron, selain menulis skenario bersama Jeff Arch, sekaligus menyutradarai sendiri Sleepless in Seattle. Seperti keunikan sudut pandang cerita When Harry Met Sally, film ini mencoba mengangkat kisah pertemuan dua manusia yang tak terduga lewat sudut pandang yang unik. Yakni lewat sebuah acara kontak pendengar di sebuah stasiun radio di Seattle. Acara radio yang diasuh oleh Psikolog Dr. Marcia Fieldstone tersebut menjadi medium pertemuan tokoh-tokoh dalam film ini. Yakni antara Wartawati Annie Reed (Meg Ryan) dan Sam Baldwin (Tom Hanks), duda yang berprofesi sebagai arsitek, ayah seorang bocah laki-laki bernama Jonah. Dua jenis manusia karier yang sering tak punya cukup waktu dan perhatian terhadap acara-acara kontak pendengar di radio. Inilah keunikan ide film ini. ''Apa yang kaumohon dalam malam penuh harapan ini?'' Inilah awal pertanyaan Dr. Fieldstone kepada pendengarnya di malam Natal. Ternyata pertanyaan itu menggerakkan Jonah untuk bicara. ''Harapan Natal saya bukan untuk saya, tapi untuk ayah saya,'' demikian telepon Jonah kepada Dr. Fieldstone. ''Saya ingin Ayah menemukan istri baru karena Ayah begitu sedih setelah Ibu meninggal satu setengah tahun lalu.'' Tak tanggung-tanggung, Jonah secara tak langsung memaksa ayahnya berkontak dengan Dr. Fieldstone di radio -- suatu hal yang sesungguhnya tak disukai oleh Badlwin, apalagi percakapan lewat telepon tersebut didengar oleh penggemar acara tersebut. Maka, meluncurlah dari mulutnya, secara kocak, lugu, dan spontan, perasaan cintanya kepada Maggie, istrinya. Percakapan dalam kontak pendengar antara Baldwin dan Dr. Fieldstone ternyata menjadi begitu populer di kalangan wanita. Kisah kesetiaan cinta Baldwin seakan menjadi dongeng romantis radio yang diimpikan para wanita di malam Natal. Pilihan ruang dan waktu Natal ini menunjukkan kecerdikan penulis skenario. Natal adalah panggung terluas bagi puncak-puncak kebahagiaan, tapi sekaligus kesepian bagi sebagian manusia yang kehilangan nuansa cinta, keluarga, sahabat, dan relasi kehidupan. Alkisah, di kota lain, Annie Reed, yang sedang mengendarai mobil dari Baltimore ke Washington, D.C., secara tak sengaja mendengar percakapan Jonah dan Sam Baldwin saat mereka mengungkapkan perasaan di radio. Tiba-tiba Reed, wanita karier yang senantiasa menentukan pilihan lewat kecerdasan intelektualnya, merasa terharu. Ia menemukan cinta dari percakapan di radio itu. Ia bahkan tak mempedulikan pertunangannya dengan Walter Jackson. Ia menuruti instingnya. ''Aku juga tak mengerti. Walter kriteria yang lengkap untuk keluarga, tapi ada sesuatu yang tidak pas dalam hubungan kami. Aku tak bisa menerangkan.'' Annie Reed menjadi bagian dari percintaan abad kontemporer ini, ketika ruang dan waktu sehari-hari tak pernah memberi cinta, tapi justru kontak di media, dari koran hingga radio, menjadi relasi baru percintaan. Demikian juga dengan Sam Baldwin. Ia bahkan kebingungan karena menerima begitu banyak surat yang berisi lamaran menjadi istrinya. Film ini menciptakan roman komedi. Sayang, film ini kualitasnya di bawah When Harry Met Sally, roman komedi yang, di tangan Sutradara Rob Reiner, memenuhi tuntutan film yang berkualitas, yakni ''kesederhaaan yang kompleks''. Sleepless in Seattle lalu hanya meninggalkan keunikan cara pandangnya. Ia kehilangan perspektif tokoh-tokoh dan proses pertemuan dua manusia tersebut. Padahal, dalam kisah percintaan semacam ini -- penonton telah mafhum endingnya -- yang diperlukan adalah kekhasan proses pertemuan cinta tersebut. Film ini lalu terasa mengikuti kecenderungan umum film Hollywood saat ini, yakni ringan, gampang, dan romantis. Ciri yang disebut terakhir itu cukup dikemas dengan hiasan lagu-lagu klasik masa lampau. Dan dalam film ini, lagu-lagu tersebut dijadikan babakan cerita. Ditambah lagi kekuatan kamera yang mampu menangkap Kota Seattle dalam nuansa romantisnya. Bisa ditebak, ciri film semacam ini mampu meraih sukses pasar. Di Amerika, hanya dalam 15 minggu, film ini mampu meraup US$ 150 juta. Meg Ryan, peraih gelar artis terbaik di Eropa lewat film The Promise Land, bermain cukup baik. Demikian juga aktor bocah Ross Halinger, 8 tahun, yang bermain bersama Arnold Schwarzenegger dalam Kindergarten Cop. Catatan di atas menunjukkan satu hal yang penting, yakni film tidak sekadar bersandar pada kekuatan dan keunikan ide ataupun apa yang dikisahkan, melainkan bagaimana mengisahkan dan menghidupkannya dalam ruang gelap sepanjang satu setengah jam. Garin Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini