Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilema Suku Bunga Acuan

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fauzi Ichsan*

PARA ekonom kini berdebat soal efektivitas kebijakan Bank Indonesia pasca-kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 175 basis point ke level 7,5 persen. Selain soal prinsip makroekonomi, perdebatan ini menyangkut kehidupan ekonomi sehari-hari dan memiliki implikasi politik pada tahun Pemilihan Umum 2014. Para pengambil kebijakan BI menilai kenaikan suku bunga dibutuhkan tak hanya untuk meredam ekspektasi inflasi (terutama pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak tahun lalu), tapi juga untuk menjaga kurs rupiah. Selama 2013, rupiah terpuruk dari level 9.650 per dolar Amerika Serikat menjadi 12.200-terburuk di Asia. Intinya, dengan dibuat suku bunga yang menarik, pelaku pasar tidak akan menjual rupiah dan membeli dolar.

Namun banyak ekonom tidak setuju pada kebijakan itu karena tiga hal. Pertama, inflasi (dan ekspektasi inflasi) sudah dalam tren penurunan pada triwulan keempat. Kedua, kenaikan BI Rate jelas tidak manjur untuk menahan pelemahan rupiah. Ketiga, kenaikan suku bunga memukul pebisnis dan masyarakat serta menghambat pertumbuhan ekonomi. Maka mereka mengimbau BI agar berhenti menaikkan suku bunga. Resistansi terhadap kenaikan BI Rate tak hanya didasari teori. Dari sisi politik, kenaikan BI Rate juga dianggap tidak mendukung rakyat, apa lagi bagi pejabat yang memiliki agenda politik pada 2014.

Kekhawatiran ekonom yang anti-kenaikan BI Rate bisa dimengerti, tapi alasan BI menaikkannya (dan mungkin bisa menaikkannya lagi ke angka 8 persen pada semester I) juga sangat kuat. Alasan utamanya bukan tingginya inflasi, melainkan pelemahan rupiah-yang kalau dibiarkan akan memicu kenaikan harga barang impor dan inflasi. Tekanan inflatoir di sektor energi, misalnya, sudah terasa. Keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji pada awal 2014 dipicu oleh pelemahan rupiah. Pelemahan rupiah juga telah menggelembungkan subsidi BBM walau pemerintah sudah menaikkan harga BBM pada Juni 2013. Siapa pun Presiden Indonesia nanti, kemungkinan besar ia harus menaikkan harga BBM pada 2015. Ini semua terjadi sewaktu harga energi global dalam dolar telah turun dua tahun terakhir.

Penyebab utama rupiah melemah adalah defisit neraca transaksi berjalan yang besar. Pada 2010-2012, Indonesia diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas-yang mencakup 60 persen ekspor Indonesia. Dengan kenaikan harga energi, termasuk batu bara dan kelapa sawit, neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (neraca dagang ditambah neraca jasa) surplus, yang membantu penguatan kurs rupiah pada 2010-2011. Namun keberuntungan ini berbalik pada 2012, saat harga energi turun tajam, karena revolusi shale gas di Amerika. Akibatnya, ekspor Indonesia turun tajam dan surplus neraca transaksi berjalan pada 2011 sebesar US$ 1,7 miliar berubah menjadi defisit US$ 24,4 miliar pada 2012 dan diperkirakan US$ 32,2 miliar pada 2013.

Sebetulnya defisit ini tidak mengkhawatirkan jika bisa dibiayai dengan arus modal asing melalui surplus neraca modal dan finansial, baik secara langsung (foreign direct investment) maupun investasi finansial di pasar modal. Pada 2012, arus investasi finansial asing deras masuk ke Indonesia karena lemahnya ekonomi Amerika, yang mendorong bank sentral Amerika tidak hanya memangkas suku bunga Fed Funds Rate ke level 0,25 persen (terendah dalam sejarah), tapi juga menempuh kebijakan moneter ekstra longgar melalui program quantitative easing.

Melalui pelonggaran moneter, Federal Reserve membeli surat utang negara dan obligasi korporasi Amerika sebesar US$ 85 miliar sebulan untuk memastikan imbal hasil surat utang negara (SUN) dan obligasi korporasi Amerika tetap rendah-dan memastikan pinjaman jangka panjang bagi sektor riil di Amerika tetap murah. Kebijakan ini sifatnya darurat dan tidak bisa dilakukan dalam keadaan normal. Maka dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Amerika-naik dari 1,6 persen pada 2013 menjadi 2,5 persen pada tahun ini-The Fed memperkecil skala kebijakan (tapering) dengan menurunkan pembeliannya ke level US$ 75 miliar.

Pelonggaran moneter akan diakhiri tahun ini. Implikasinya, imbal hasil SUN Amerika naik dan memicu aliran modal dari negara berkembang, seperti Indonesia, kembali ke Amerika yang memperkuat dolar secara global. Dan Indonesia akan terpukul dua kali. Pertama, pesta ekspor komoditas usai sudah, yang mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan. Kedua, pesta aliran deras dana murah asing juga berakhir, yang mempersulit pembiayaan defisit transaksi berjalan. Karena defisitnya terus membengkak dan pembiayaannya oleh investor asing makin sulit, kurs rupiah akan terus terpuruk.

Tanpa prospek penurunan defisit neraca transaksi berjalan, tekanan terhadap rupiah akan tetap besar. Karena harga komoditas diperkirakan tak akan naik tajam, sulit mengharapkan ekspor Indonesia pulih-keadaan yang diperburuk oleh larangan ekspor mineral mentah pada awal 2014. Menggenjot ekspor nonkomoditas juga tak mudah karena sektor manufaktur tak kompetitif akibat infrastruktur. Pilihannya adalah memangkas impor, yang hanya bisa dilakukan dengan mengerem pertumbuhan ekonomi.

Perlambatan ekonomi bisa dilakukan melalui dua cara: kontraksi kebijakan fiskal (misalnya dengan menaikkan harga BBM) dan kontraksi moneter (dengan menaikkan suku bunga, giro wajib minimum perbankan, dan kebijakan prudensial perbankan lainnya, seperti maksimum loan-to-value dalam pemberian kredit). Karena kontraksi fiskal sulit dilaksanakan pada tahun Pemilu 2014, beban memperlambat pertumbuhan ekonomi bergeser ke BI sepenuhnya melalui kenaikan suku bunga.

Para pengkritik menilai kebijakan itu menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal tujuannya memang untuk memangkas pertumbuhan produk domestik bruto dan impor-PDB akan turun dari 6,2 persen pada 2012 menjadi 5,6 persen pada 2013. Mereka juga menilai kenaikan BI Rate tidak efektif dalam menstabilkan kurs: rupiah tetap terpuruk walau BI telah menaikkan BI Rate dan intervensi di pasar valas. Namun sesungguhnya rupiah dipastikan lebih terpuruk jika BI tidak menaikkan BI Rate.

Semua investor portofolio global (yang berperan membiayai defisit neraca transaksi berjalan Indonesia) yang saya temui menyatakan kenaikan BI Rate telah secara perlahan memulihkan kepercayaan mereka terhadap rupiah, walau mereka tetap melihat defisit itu sebagai ancaman bagi stabilitas rupiah, selain pemilu pada semester pertama 2014 dan kebijakan tapering di Amerika. Defisit transaksi berjalan tahun ini diperkirakan US$ 28,9 miliar.

Apa yang dilakukan BI sama dengan yang dilakukan bank sentral yang negaranya menghadapi masalah yang sama. Pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia sebesar 3,6 persen PDB, Brasil 3,1 persen, dan India 2,4 persen. Banco Central do Brazil menaikkan suku bunga kebijakannya ke level 10 persen (dan diperkirakan naik terus ke angka 10,5 persen), sementara Reserve Bank of India menaikkannya ke level 7,75 persen (diperkirakan naik ke angka 8 persen). Bank sentral Brasil dan India berani menaikkan suku bunga walau pada 2013 pertumbuhan PDB Brasil hanya 2,3 persen dan India 4,7 persen-di bawah Indonesia.

Seperti di Indonesia, resistensi terhadap kenaikan suku bunga di Brasil dan India besar, tapi pimpinan bank sentralnya tetap tegas dan berani tidak populer secara politik. Kenaikan suku bunga di Brasil dan India juga tidak bisa sepenuhnya meredam pelemahan real dan rupee. Pada 2013, dolar menguat 13 persen terhadap real, 11 persen terhadap rupee, dibanding 21 persen terhadap rupiah. Contoh yang menarik adalah Turki. Ketika defisit transaksi berjalannya mencapai 8 persen, bank sentralnya justru memangkas suku bunga kebijakannya dari 5,5 persen ke 4,5 persen pada 2013. Akibatnya, dolar menguat terhadap lira sebesar 17 persen. Bank sentral Turki mungkin akan menaikkan suku bunga kebijakannya ke level 5 persen pada Mei 2014.

Sama seperti perusahaan yang berutang, negara yang memiliki defisit neraca transaksi berjalan harus menutupnya dengan pinjaman luar negeri. Makin besar defisitnya, makin besar kebutuhan utangnya dan otomatis biayanya dalam bentuk bunga mesti lebih tinggi. Ini adalah proses koreksi makroekonomi biasa dan bank sentral harus dibiarkan melakukan tugasnya dalam memastikan proses ini, yang walau pahit diperlukan untuk kesehatan ekonomi jangka panjang. Pahitnya obat-kenaikan suku bunga-dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan defisit neraca transaksi berjalan di bawah 1 persen PDB serta rupiah kembali ke angka 10 ribu per dolar bukan berarti obat ini tak manjur. Jika BI terus menaikkan BI Rate, kita patut mendukung langkahnya.

*) Managing Director Standard Chartered Bank

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus