Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORIENTASI BARU ISLAM-BARAT
Judul: The Future of Islam
Penulis: John L. Esposito
Penerbit: Oxford: Oxford University Press
Tahun: 2013 (soft cover)
Tebal: 256 halaman
PADA Juni 2009, Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yang waktu itu baru terpilih, menyampaikan pidato penting di Universitas al-Azhar, Mesir. Dia menjanjikan "awal baru" hubungan Amerika dan dunia Islam berdasarkan "kepentingan bersama dan rasa saling menghormati".
Lama mendambakan hal itu, John L. Esposito menyambut baik pidato di atas (halaman 194). Ditulis sebelum serangan 11 September 2001, dan tertunda karena proyek-proyek lain, The Future of Islam menjelaskan mengapa serangan itu terjadi. Buku ini bahkan memperoleh momen lebih pas sekarang. Ia bisa menjadi salah satu diktat tentang bagaimana hubungan baru di atas dijalankan.
Bagi Esposito, jantung hubungan baru itu adalah penoÂlakan tegas terhadap posisi-posisi ekstrem dalam hubungan Islam dan Barat, seperti diwakili tesis Samuel Huntington, "Benturan Peradaban".Suara-suara ekstrem ini sering dinyatakan baik oleh kalangan Barat tertentu yang mengidap sikap anti-Islam (Islamofobia) maupun kalangan Islamis yang mengumbar jihad dan pro-kekerasan.
Esposito cocok dengan misi baru itu-dan Obama perlu mendengarnya lebih sering. Dia salah satu sarjana Barat paling menonjol mengenai Islam modern, sudah menulis lebih dari 35 judul buku mengenai tema itu, dan kini memimpin Centre for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University, yang salah satu misinya mempererat hubungan Islam dan Barat.Esposito sudah lama mempelajari Islam, termasuk di bawah bimbingan Ismail al-Faruqi (almarhum).
Dalam kariernya yang panjang, dia sudah berkenalan dengan banyak sarjana dan pemimpin muslim, termasuk Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (almarhum). Semua itu membentuk pandangannya yang simpatik terhadap muslim. Esposito yakin muslim tidak berbeda dibanding umat agama lain dan tegas menolak asumsi tentang "pengecualian Islam".
Semuanya tecermin dalam buku ini. Dibuka dengan pengantar umum soal Islam bagi kalangan awam di Barat, kekhasan Esposito mulai tampak pada bab 2, ketika dia memereteli sejumlah pandangan keliru tentang Islam di Barat. Dia, misalnya, menunjukkan bahwa sebagian besar dari 1,3 miliar muslim kini hidup sebagai mayoritas di 57 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Sebaran geografis Islam ini pasti mensyaratkan keberagaman Islam dari berbagai segi: bukan satu, melainkan banyak Islam.
Esposito lalu mendiskusikan kaum muslim sebagai kelompok minoritas di berbagai tempat. Pada abad ke-20, kata dia, komunitas muslim mulai berkembang di Eropa Barat dan Amerika, tempat jumlah total mereka meningkat dari 12 juta ke 20 juta dalam dekade terakhir. Ini mempersulit bertahannya pemisahan geografis lama dunia "Barat" dan dunia "muslim".
Sayangnya, meningkatnya populasi muslim tak banyak membantu tumbuhnya pemahaman atas Islam yang lebih baik. Itu sebabnya, pada 1997, Runnymede Trust, tangki pemikir di Inggris, mengajukan terma baru, "Islamophobia", untuk menangkap gejala tumbuhnya sikap permusuhan terhadap muslim. Kata Esposito, bagi peradaban Barat, ini sama berbahayanya dengan anti-Semitisme dan harus diperangi sampai ke akar-akarnya.
Esposito lalu beralih ke tema Islam dan politik, yang bentuknya juga beragam. Selain Revolusi Iran pada 1979, ada Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang satu dekade terakhir berkuasa di Turki, dan sejumlah organisasi yang membolehkan teror. Dia menyebutkan bagaimana inkonsistensi Amerika dalam mempromosikan demokrasi, ketergantungannya pada Arab Saudi, dan dukungannya kepada Israel telah mendorong tumbuhnya anti-Amerikanisme, yang pada gilirannya hanya menguntungkan muslim radikal.
Esposito lalu membahas pandangan di Barat bahwa Islam tidak cocok dengan modernitas dan membutuhkan reformasi. Mereka bertanya, kata Esposito, siapa di antara muslim kini yang bisa menjadi Martin Luther?
Baginya, ini pertanyaan konyol-seakan-akan semua agama dikutuk untuk mengikuti pengalaman Kristen di Eropa. Itu juga didorong asumsi bahwa Islam statis. Menurut dia, pembaruan Islam punya sejarah sangat panjang dan penuh warna-dan proses itu terus berjalan: "Saya sendiri berharap yang ada sekarang jumlahnya lebih sedikit. Sebab, jika begitu, saya tak mendapat banyak kesulitan dalam memilih siapa saja wakilnya yang cocok" (halaman 94).
Butir inilah yang kemudian dipaparkan Esposito di sisa bukunya. Beberapa contohnya sangat menarik. Pada 2005, misalnya, Amina Wadud, muslimah mualaf di New York, mematahkan tabu berusia 14 abad dengan tampil sebagai imam yang memimpin jemaah laki-laki dan perempuan dalam salat Jumat. Sebagai muslimah taat dan feminis, dia menyebutkan perjuangannya membela hak-hak kaum perempuan muslim sebagai "jihad gender".
Esposito juga membahas Tariq Ramadan dan sejumlah pemikir muslim di Barat lainnya yang memberi identitas baru bagi muslim di Eropa. Dalam hal ini, Barat memberi sumbangan khusus kepada gerakan pembaruan Islam global (halaman 112).
Contoh lain adalah Amr Khaled, televangelis Mesir, yang jumlah pengunjung situsnya lebih banyak daripada pengunjung situs milik Oprah Winfrey. Menurut Esposito, "Khaled menggabungkan keyakinan Islam konservatif dengan kepribadian dan gaya bicara yang karismatis, self-help ala Barat, jargon-jargon training management, serta penampilan yang menguras emosi dan disukai hadirin, penuh cerita, tawa, dan air mata" (halaman 132).
Dari Indonesia, ia tidak hanya mendiskusikan gagasan Cak Nur dan Gus Dur soal kecocokan Islam dan demokrasi serta dukungan Islam bagi pluralisme, tapi memaparkan fenomena Aa Gym dengan "manajemen kalbu"-nya-dia membandingkannya dengan fenomena Amr Khaled di Mesir.
Atas dasar itu semua, kata Esposito, Islam tak memerlukan reformasi. Yang lebih perlu berubah adalah Barat sendiri. Jika pengakuan akan adanya warisan bersama Yahudi dan Kristen menjadi kunci memerangi anti-Semitisme sesudah Perang Dunia II, perang melawan Islamofobia hanya bisa dilakukan jika Barat mengakui bahwa "anak-anak Ibrahim adalah bagian dari sejarah dan tradisi Yahudi-Kristen-Islam yang kaya".
Saya setuju dengan Karen Armstrong yang dalam pengantarnya menyebutkan ini buku penting. Tapi ini jelas bukan tentang the future of Islam seperti dikesankan judulnya, melainkan tentang model hubungan baru Barat dan Islam. Bahwa keduanya terkait, rasanya tak ada yang dapat membantah.
Saya hanya merasa bahwa Esposito kadang berlebihan dalam pembelaannya kepada politik Islam dan kritiknya kepada kebijakan luar negeri Barat. Lihatlah kelanjutan Musim Semi Arab yang kini memprihatinkan banyak peneliti dan pegiat demokrasi. Naiknya kembali militer di Mesir, misalnya, menunjukkan bahwa terhambatnya demokrasi di dunia Islam juga terjadi karena ulah dan kebodohan para elite muslim sendiri.
Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, dan dosen Paramadina Graduate School, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo