Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dua Skenario Energi Dunia 2050

2 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darwin Silalahi
*) Presiden Direktur dan Country Chairman PT Shell Indonesia

BUCKMINSTER Fuller, pengarang dan arsitek visioner terkenal, pernah mengatakan, ”There is no energy crisis, only a crisis of ignorance.” Pernyataan itu mungkin terasa terlalu tandas, tapi agaknya layak juga direnungkan. Terutama jika kita lihat betapa sering masyarakat terjebak hanya dalam rantai isu-isu energi keseharian dan mendesak, seperti kelangkaan minyak tanah, subsidi bahan bakar minyak, atau pemadaman listrik. Konteks yang lebih besar dan struktural dari masalah ini lebih sering terabaikan, walaupun konsekuensinya jelas akan mengancam keseimbangan planet bumi dan kehidupan penghuninya.

Belum pernah umat manusia menghadapi tantangan masa depan terkait dengan energi dan lingkungan hidup semendasar seperti sekarang ini. Pertanyaan penting yang harus ada di benak kita, baik sebagai anggota masyarakat, pelaku usaha, maupun pemerintah, adalah bagaimana kita mempersiapkan diri atau malah ikut membentuk, dan juga menyongsong lahirnya sistem energi baru yang bisa menyajikan ”more energy, less CO2” atau ”lebih banyak energi, lebih sedikit karbon dioksida”.

Ada kelembaman besar dalam sistem energi modern, akibat skalanya yang masif dan kompleksitasnya yang rumit. Hal ini membuat berbagai perubahan mendasar yang sedang terjadi dalam sistem energi dunia tidak bisa dengan mudah dipahami. Selain itu, dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa merasakan dampak dari berbagai upaya perbaikan. Namun keadaan kian mendesak, dan dunia tak dapat lagi mengabaikan tiga hal serius terkait dengan pasokan dan permintaan energi.

Pertama, meningkatnya pemakaian energi. Negara-negara padat penduduk, seperti Cina, India, dan Indonesia, sedang memasuki fase pertumbuhan ekonomi yang paling membutuhkan energi karena industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan penggunaan transportasi. Kenaikan permintaan sudah pasti akan menstimulasi pasokan alternatif dan peningkatan efisiensi energi, tapi hal itu tidak cukup untuk mengimbangi tekanan permintaan energi secara total. Sementara itu, memperlambat laju ekonomi dan mengabaikan harapan perbaikan hidup miliaran manusia dengan menjalankan kebijakan pengurangan penggunaan energi bukan jawaban yang tepat atau mudah secara politik.

Kedua, pasokan energi akan tertatih-tatih mengejar permintaan yang terus menanjak. Setelah 2015, peningkatan produksi easy oil and gas atau minyak dan gas dari lapangan yang diproduksi dengan relatif mudah tidak akan bisa memenuhi kebutuhan minyak dan gas dunia. Batu bara memang melimpah di sejumlah negara, termasuk Indonesia, tapi pasokan akan terhadang oleh keterbatasan infrastruktur transportasi dan degradasi lingkungan. Sumber-sumber energi alternatif seperti biofuel akan menjadi sumber energi penting, tapi ini juga tak bisa menyelesaikan secara tuntas ketakseimbangan pasokan dan permintaan.

Ketiga, tekanan lingkungan makin berat. Andaikan pola konsumsi bahan bakar fosil tak berubah dan pasokan bisa dipacu untuk menjawab permintaan yang terus menanjak, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akan mengarah pada kondisi yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia. Sekalipun terjadi pengurangan pemakaian bahan bakar fosil dibarengi dengan pengelolaan CO2 yang lebih efektif, hal ini sama sekali belum juga menghilangkan berbagai tantangan terkait dengan perubahan iklim. Upaya mempertahankan kadar karbon dioksida sesuai dengan yang diinginkan di atmosfer akan makin sulit.

Jika tiga penggerak utama sistem energi dunia kita saat ini—permintaan, pasokan, dan efek lingkungan—secara serentak mengalami perubahan besar, kita sedang menghadapi transisi yang revolusioner dan bergejolak. Karena itu, kita perlu mengenali perubahan ini untuk bisa menghadapinya dengan baik. Skenario adalah alat yang bisa membantu mengenali pergeseran-pergeseran struktural, dan menimbang interaksi yang mungkin antarberbagai perspektif dan kemungkinan. Skenario membantu kita menyiapkan diri, membentuk, dan bahkan menjadi pemenang di masa depan yang tak terelakkan. Untuk membantu berpikir tentang masa depan energi, Shell menyusun dua skenario energi dunia 2050—scramble dan blueprints.

Skenario scramble mencerminkan kebijakan dan tindakan yang terpaku pada keamanan energi jangka pendek masing masing negara. Para pembuat kebijakan nasional lebih tergerak oleh tuntutan langsung yang terlihat nyata seperti pasokan energi saat ini dan mendesak bagi negara serta sekutu mereka. Perhatian dengan sendirinya tertuju pada sisi pasokan yang harus selalu siap, termasuk negosiasi perjanjian bilateral dan insentif bagi pengembangan sumber-sumber lokal. Eksploitasi sumber-sumber batu bara dan biofuel menjadi penting.

Dalam skenario ini, meski seruan efisiensi energi dan perbaikan lingkungan tak pernah kendur, upaya untuk mewujudkannya tak benar-benar dikerjakan, bahkan ditunda menjadi urusan generasi mendatang. Kebijakan penggunaan energi yang lebih efisien dan dari sumber terdiversifikasi tak betul-betul diperjuangkan. Lingkungan yang tak tertangani serius membawa perubahan iklim yang memaksa tanggapan yang sifatnya politis. Rangkaian tindakan yang telat terhadap tekanan permintaan yang terus memberat akhirnya memicu ketidakstabilan dan lonjakan harga energi. Hal ini mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, walaupun dalam jangka panjang ekonomi bertumbuh cukup tinggi.

Skenario blueprints menggambarkan dinamika yang awalnya tumbuh dari berbagai koalisi kepentingan. Skenario ini tak harus mencerminkan keseragaman tujuan, tapi terbangun di atas paduan berbagai kepedulian. Ia dibentuk dengan keprihatinan atas prospek ekonomi, gaya hidup dan hari depan bumi yang lebih baik, memekarkan aliansi baru yang mendorong rangkaian tindakan, baik di negara-negara maju maupun sedang berkembang. Tanggapan yang muncul pun relatif lebih tepat waktu.

Skenario blueprints memang tak digerakkan melulu oleh altruisme global. Prakarsa-prakarsa yang muncul berakar dari kota-kota dan daerah-daerah tertentu yang bergerak untuk mengubah keadaan. Upaya-upaya ini kemudian menguat karena pemerintah nasional menyesuaikan diri dan menilai kembali kebijakan tambal-sulam yang selama ini dikerjakan. Dunia bisnis pun merespons, diawali dengan lobi untuk mendapatkan kejelasan aturan.

Semua ini mendorong berbagai usaha efisiensi energi, berkembangnya energi terbarukan, dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Pasar carbon-trading akan lebih efisien, sehingga efek rumah kaca kian terkendali. Pengembangan efisiensi energi dan produksi kendaraan bertenaga listrik yang hemat energi akan menggejala luas di sektor transportasi. Konsumsi energi yang lebih efisien dan berkembangnya energi terbarukan membuat harga minyak bumi makin stabil dan terjangkau, juga oleh negara-negara miskin energi.

Skenario blueprints menunjukkan pembangkit energi angin dan surya tumbuh pesat setelah 2030. Penggunaan batu bara memang tetap menanjak, tapi teknologi carbon capture and storage (CCS) akan meluas sejak 2020 dan memungkinkan instalasi energi batu bara lebih bersih dari emisi CO2. Jumlah kendaraan biofuel yang melepaskan sedikit karbon dioksida akan terus meningkat, dan setelah 2030, berkembang kendaraan listrik yang sangat efisien, yang akan mengurangi permintaan bahan bakar cair.

Pemakaian energi memang tetap meningkat pesat, kendati lebih cepat pada skenario scramble. Tapi tak satu pun sumber energi atau teknologi yang bisa memenuhi permintaan energi sekaligus mengurangi emisi CO2. Karena itu, semua sumber dan teknologi energi diperlukan perannya. Bahan bakar fosil memang tetap memasok lebih dari separuh energi global dalam beberapa dekade mendatang, meski porsinya kian mengecil dibanding sekarang yang masih 80 persen. Karena itu, kita perlu mempertahankan pasokan energi fosil hingga teknologi energi terbarukan berkembang ke skala komersial dan terjangkau luas, sekaligus mendesak pengurangan emisi karbon dioksida.

Skenario blueprints tentu lebih baik, tapi mewujudkannya jelas tak mudah. Namun kita harus berusaha melaksanakan berbagai hal untuk mewujudkannya. Kita memang tak lagi bisa memakai energi seperti cara-cara kemarin. ”Business as usual” akan membawa dunia pada bencana ekonomi dan lingkungan. Pemerintah, dunia usaha, masyarakat, ataupun perorangan seyogianya bekerja sama menggerakkan perubahan menuju masa depan energi yang lebih berkesinambungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus