Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Harymurti
*) Wartawan
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menjelaskan sikapnya soal kasus Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat pekan lalu. Pada prinsipnya Presiden menegaskan konsistensi sikapnya untuk tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum yang berlaku dan, secara pribadi, berharap aparat hukum tak melakukan penahanan bila memang tidak amat diperlukan. Konferensi pers di Istana itu dilakukan setelah kepala berita berbagai media memberitakan dengan kritis penahanan anggota KPK non-aktif Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto oleh polisi.
Dalam keadaan normal, sikap non-intervensi Presiden Yudhoyono sebenarnya merupakan sikap yang tepat. Namun bencana kebuntuan hukum yang mencuat akibat gesekan antara polisi dan KPK telah memunculkan sebuah keadaan darurat keadilan. Dalam keadaan darurat, adalah kewajiban Kepala Negara untuk selekasnya melakukan intervensi.
Intervensi diperlukan karena para penyidik polisi, termasuk para atasan mereka, memasuki kawasan yang sarat dengan benturan kepentingan begitu melakukan penahanan. Karena menurut Undang-Undang Kepolisian Negara polisi adalah pegawai negeri, para penyidik itu kini berada dalam posisi tak mungkin menghentikan penyidikan—kendati tanpa menemukan bukti hukum. Soalnya, jika penghentian dilakukan, mereka dengan mudah akan didakwa melanggar Pasal 427 KUHP, yaitu menyalahgunakan wewenang, dengan ancaman hukuman maksimum empat tahun penjara. Wajar kalau muncul kesan penyidik polisi akan melakukan apa pun untuk memberkas Bibit dan Chandra.
Dalam posisi seperti ini, kemungkinan polisi merekayasa sangkaan pun jadi amat besar. Hal ini terlihat dari sangkaan yang selalu berubah sejak awal dan akhirnya terfokus pada ”penyalahgunaan wewenang”. Karena kedua petinggi KPK itu pernah memberikan perintah pencekalan tanpa melalui rapat pimpinan KPK, polisi menduga mereka melanggar Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang KPK, yang menyatakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja secara kolektif. Kedua tersangka menolak tudingan ini karena secara kolektif pimpinan KPK telah memberikan wewenang kepada mereka untuk melakukan pencekalan dan pencabutan pencekalan. Prosedur baku ini bahkan sudah dilakukan sejak pimpinan KPK periode sebelumnya.
Perbedaan KPK dan polisi dalam menafsirkan UU Nomor 30 Tahun 2002 ini sah-sah saja, tapi keduanya sebenarnya tak memiliki kewenangan menetapkan siapa yang benar. Perbedaan penafsiran kewenangan ini bukan tindak pidana dan merupakan wilayah pengadilan tata usaha negara untuk memutuskannya. Soalnya, jika polisi dibiarkan berwenang menetapkan penafsiran atas setiap aturan tertulis lembaga negara lainnya, telah terjadi proses kriminalisasi pada kewenangan lembaga itu. Hari ini mungkin KPK yang jadi korban. Pada masa mendatang hal ini dapat dikenakan pada lembaga mana pun yang diatur oleh undang-undang. Wajar jika KPK sebagai institusi dan banyak pegiat demokrasi maupun praktisi hukum langsung bereaksi menolak upaya ”kriminalisasi wewenang KPK” ini. Bukan untuk membela Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, tapi untuk menolak penyalahgunaan wewenang oleh polisi.
Dalam konteks inilah konflik antara institusi polisi dan KPK telah mencapai kebuntuan hukum. Keduanya tak mungkin mundur karena penyidik polisi tentu tak bersedia dikriminalkan karena telah melanggar Pasal 427 KUHP, dan KPK tak mungkin membiarkan aturan internal tentang kewenangannya dikriminalkan karena berarti aparat KPK tak dapat lagi menjalankan amanat undang-undangnya. Ibarat memakan buah simalakama, jika diteruskan KPK mati, kalau dihentikan para penyidik polisi yang akan masuk bui.
Karena polisi dan KPK adalah alat negara, Kepala Negara tentu berkewajiban menyelamatkan keduanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang kini mempunyai posisi ibarat Raja Ajisaka dalam kisah honocoroko. Ini kisah tentang dua utusan raja yang bertemu di sebuah tempat dan bertempur habis-habisan mempertahankan keyakinan masing-masing sebagai pelaksana amanat raja hingga keduanya tewas. Tragedi yang diceritakan melalui pelafalan aksara Jawa ini tentu tak boleh dibiarkan terulang di Indonesia. Apalagi Presiden Yudhoyono memang memerlukan polisi dan KPK yang kuat untuk menjalankan janjinya kepada rakyat dalam membersihkan Indonesia dari penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Agar KPK dan polisi menjadi dua institusi yang dapat diandalkan melawan para koruptor, Presiden Yudhoyono tentu tak dapat membiarkan keduanya bertempur habis-habisan seperti dalam tragedi honocoroko. Sikap tidak melakukan intervensi hukum yang terpujikan pada saat normal tak dapat dipertahankan pada saat darurat keadilan seperti yang terjadi sekarang ini. Sebagai kepala negara, sudah saatnya Susilo Bambang Yudhoyono melakukan terobosan dengan membentuk tim independen untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan hukum ini. Tim yang beranggotakan tokoh-tokoh kredibel, independen, kompeten, berintegritas, dan mempunyai komitmen untuk membangun bangsa pasti akan mampu menemukan formula yang tepat dalam waktu singkat. Yaitu solusi yang cerdas, sesuai dengan konstitusi dan justru akan membuat KPK bersama polisi semakin ditakuti para koruptor sekaligus semakin dipercaya rakyat.
Keadaan ideal ini bukan tak mungkin dicapai. Presiden Yudhoyono terbukti telah mampu meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan menjanjikan terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Jika pesan ”Bersama Kita Bisa” ternyata manjur meyakinkan puluhan juta pemilih, seharusnya tak sulit bagi SBY untuk mengajak KPK dan polisi bekerja sama memberantas korupsi di negeri ini. Maka, soalnya bukan lagi mampu atau tidak, tapi mau atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo