Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
S
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATU hal yang patut kita syukuri dari pertempuran politik setelah Pemilihan Umum 2024 adalah kemungkinan terbongkarnya kasus-kasus lama yang selama ini ditutup rapat-rapat. Perseteruan antara politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Presiden Joko Widodo berpeluang membuka tabir gelap itu. Salah satunya kasus Harun Masiku, tersangka suap pergantian antarwaktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2019-2024 kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disebut-sebut mendapat intervensi dari Istana Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut kembali keterlibatan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam perkara korupsi Harun. Komisi antirasuah membidiknya dengan tuduhan merintangi penyidikan atau obstruction of justice. Apa pun motifnya, pengusutan KPK itu patut kita dukung, termasuk menyelidiki peran Hasto.
Pemeriksaan Hasto sejatinya bisa mengungkap keberadaan Harun, yang sudah empat tahun dibiarkan bebas. Penyidik KPK meyakini Hasto kerap berkomunikasi dengannya, lewat salah satu pembantunya. Karena itu, KPK menyita telepon seluler Hasto dan stafnya, Kusnadi.
Hanya, pemeriksaan dan penyitaan ponsel seyogianya tidak menabrak aturan, antara lain harus ada surat panggilan pemeriksaan serta memperoleh izin pengadilan untuk menyita paksa barang pribadi. Jangan sampai gara-gara urusan administrasi, ikhtiar penyidik KPK melacak Harun Masiku jadi bumerang.
Harun adalah kunci kasus penyuapan mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Politikus PDIP ini menyuap Wahyu agar bisa duduk di DPR untuk menggantikan Nazarudin Kiemas, yang meninggal tiga pekan sebelum pemungutan suara. Suap itu diduga untuk mempermulus pelengseran Riezky Aprilia, yang dilantik melalui mekanisme pergantian antarwaktu di KPU. Sebagian duit yang diberikan kepada Wahyu diduga berasal dari Hasto.
KPK meringkus Wahyu pada 8 Januari 2020 bersama sejumlah orang. Dua di antaranya dikenal sebagai orang dekat Hasto. Namun operasi senyap untuk menciduk Hasto dan Harun itu gagal. Polisi menghalang-halangi KPK yang mencoba masuk ke kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, yang diduga menjadi tempat persembunyian Hasto dan Harun waktu itu.
Alih-alih mendukung anak buahnya, pimpinan KPK menolak menetapkan Hasto sebagai tersangka, meski ada dua bukti permulaan yang cukup. Mereka malah menyalahkan tim penindakan KPK yang mencoba menyegel ruang kerja Hasto di kantor PDI Perjuangan. Dari situ kita tahu, KPK tunduk kepada partai penguasa. Sejak itu, Harun seperti ditelan hantu.
Skandal memalukan ini buah pelemahan KPK secara terstruktur dan sistematis. Sabotase operasi terjadi tak sampai satu bulan setelah Jokowi melantik pimpinan baru KPK di Istana Negara pada 20 Desember 2019. Revisi Undang-Undang KPK membuat komisi antirasuah tak berkutik menangani kasus suap komisioner KPU.
Setelah menjadi bagian dari rumpun eksekutif, KPK mudah menjadi alat politik penguasa. Mereka sigap mengusut dugaan korupsi yang menyeret lawan politik, tapi tak berdaya saat berhadapan dengan perkara korupsi pemerintah dan koalisinya.
Lalu angin politik berubah. Sejak menyodorkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden Prabowo Subianto, Jokowi tak lagi satu sekoci dengan PDIP. Keduanya bersimpang dukungan dalam pemilihan presiden lalu.
Istana bahkan menganggap Hasto sebagai penghalang komunikasi politik antara Jokowi dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Hasto juga kerap mengkritik pemerintahan Jokowi. Pemeriksaannya oleh KPK buntut pertempuran politik tersebut.
Hasto sebenarnya bisa memanfaatkan perseteruan ini untuk membuka kasus-kasus yang berhubungan dengan kekuasaan. Sepanjang memiliki bukti sahih, ia tak perlu ragu mengungkapnya ke publik. Syaratnya: tidak ada gimik atau negosiasi politik di balik buka-bukaan tersebut.
Korupsi terbukti merusak demokrasi dan tata kelola pemerintahan serta meningkatkan biaya karena raibnya efisiensi. Pengungkapan kasus yang selama ini sulit terungkap bisa menjadi modal untuk memutus mata rantai persekongkolan jahat di lingkaran elite kekuasaan.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perkara Masiku Setelah Pemilu"