Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUBURNYA peminat layanan video on demand (VoD) di Indonesia adalah magnet baru bagi pebisnis digital. Potensi pertumbuhan pasar ini menjanjikan kue ekonomi yang sangat besar bagi pelaku usaha yang berkecimpung di industri itu. Apalagi, selama pandemi, tayangan berbasis digital justru makin diminati masyarakat yang membutuhkan hiburan. Tak hanya menggiurkan untuk raksasa global, ini juga kesempatan emas untuk pemain lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan Media Partners Asia berjudul “Southeast Asia Online Video Consumer Insights & Analytics: A Definitive Study” pada September 2020 mengkonfirmasi tren ini. Riset itu menunjukkan kenaikan fantastis konsumsi siaran video melalui telepon seluler di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Rata-rata konsumsi mingguan pelanggan konten tumbuh 60 persen antara 20 Januari dan 11 April 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pengguna Internet sebanyak 174,5 juta orang, Indonesia memang pasar penting bagi para penyedia platform digital. Portal data Statista memperkirakan pengguna layanan siaran video on demand di Indonesia tumbuh 24,2 persen tahun ini. Kenaikan jumlah pelanggan itu mendongkrak pendapatan bisnis VoD, yang diperkirakan mencapai US$ 327 juta. Dalam lima tahun ke depan, pendapatan bisnis dari segmen ini bisa naik dua kali lipat. Ini tentu kabar baik untuk penerimaan pajak pemerintah.
Meski penyedia layanan ini masih didominasi perusahaan asing seperti Netflix dan Viu, masih ada peluang untuk pemain lokal seperti Mola TV, Vidio, Genflix, Go-Play, dan MaxStream. Mereka punya kesempatan yang sama untuk memperebutkan kue tersebut. Apalagi jumlah pelanggan konten over the top diperkirakan baru 10-15 persen dari total penduduk Indonesia.
Besarnya potensi pertumbuhan ini turut membuka peluang bagi penyedia konten lokal asli Indonesia. Hubungan mutualisme terbangun karena layanan VoD dari luar negeri, semisal POPS Worldwide asal Vietnam, pasti tetap berusaha menjaring selera penonton yang lebih sreg dengan tayangan lokal. Karena itu, platform lokal tak boleh ketinggalan menghadirkan konten premium dengan menggaet rumah-rumah produksi di Tanah Air. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru sepatutnya mendukung model kerja sama ini.
Bukan cuma itu. Kehadiran konten lokal di perusahaan over the top dalam negeri bakal mengurangi devisa yang harus melayang akibat pemakaian jaringan pita lebar (bandwidth) tontonan video melalui platform asing. Selama ini, konsumen harus merogoh kocek cukup dalam sebagai kompensasi untuk membayar akses pita lebar dari Indonesia ke domain luar negeri. Total nilainya di atas Rp 1 triliun per tahun.
Kehadiran beragam platform VoD jelas menguntungkan konsumen. Para pelaku industri penyiaran yang selama ini begitu dominan kini dipaksa menyajikan variasi tontonan yang lebih berkualitas. Industri hiburan konvensional lain, seperti bioskop, juga dipaksa berubah. Kehadiran platform digital membuat medium distribusi konten bergeser ke layar telepon para konsumen.
Agar tidak gulung tikar, pemain lama harus segera berbenah mengubah model bisnisnya. Salah satu caranya adalah terjun dan ikut bertarung dalam bisnis berbasis online. Perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen mengharuskan perusahaan konvensional menyerap model bisnis baru ini.
Ke depan, pemerintah tidak boleh mencampuri isi konten layanan digital. Keinginan sejumlah kalangan di Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyensor tayangan digital harus dibuang jauh-jauh. Setiap netizen berhak memutuskan apa yang ingin ditonton tanpa ada intervensi negara. Tugas pemerintah cukup menjaga agar industri ini terus tumbuh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo