Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pemerintah menggabungkan 7 perusahaan yang berbisnis gula karena tak mampu bersaing dengan produsen swasta seperti melihat kondisi serupa di era Orde Baru
Di era Presiden Soeharto, banyak pabrik gula di bawah PTPN gulung tikar karena kekurangan bahan baku
Selain kekurangan pasokan gula, pabrik-pabrik milik pemerintah itu kalah bersaing dengan produsen swasta yang mengandalkan gula impor
INDUK semang PT Perkebunan Nusantara Group, PT Perkebunan Nusantara III (Persero), berencana menyatukan tujuh anak usaha yang bergerak di bisnis gula ke dalam satu perseroan bernama PT SurgarCo. Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani dua pekan lalu mengatakan restrukturisasi bisnis gula diperlukan guna menyaingi produsen lain serta gula impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak era Presiden Soeharto, bisnis PTPN di sektor gula jatuh-bangun. Bahkan banyak pabrik gula milik PTPN gulung tikar karena kekurangan bahan baku serta kalah bersaing dengan produsen swasta yang mengandalkan gula impor. Kegetiran bisnis PTPN di sektor gula itu terangkum dalam artikel majalah Tempo edisi 4 Maret 1989 dengan judul "Pahitnya Gula Pelaihari".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah seperti penyakit turunan saja layaknya. Banyak pabrik gula didera kerugian lantaran sebab yang itu-itu juga. Mulai dari kekurangan tebu hingga kurang canggihnya mesin-mesin pabrik. Dan pekan lalu, terbetik kabar buruk dari Cirebon: pabrik gula yang dikelola PT Perkebunan Nusantara XIV terancam bangkrut.
Sebelumnya, angin kurang baik juga bertiup dari Kalimantan Selatan. Di sini pabrik gula Pelaihari merugi Rp 2 miliar tahun lalu. Berita dari Aceh lebih mengiris: pabrik gula Silih Nara dilikuidasi. Alasannya bak kaset rekaman yang diputar ulang.
Pabrik Pelaihari, misalnya, merugi karena kekurangan tebu. Memang, di sekitar lokasi Pelaihari di Kabupaten Tanah Laut, tak sedikit kebun tebu tergelar. Anehnya, tebu yang masuk ke pabrik “kurus-kurus”. Menurut sumber di Pelaihari, hal ini tak lain karena tanaman tebu “kurang vitamin”. Ini erat kaitannya dengan ulah oknum-oknum pabrik yang rajin menyikat dana pupuk dan pemeliharaan kebun.
Sejak beroperasi pada 1985, pabrik ini belum pernah mengecap keuntungan sekali pun. ”Mana ada proyek begitu berdiri langsung untung?” kata B.S.M. Hutabarat, Direktur Pengembangan PT Perkebunan Nusantara XXIV-XXV. Tapi kelak, menurut dia, kalau sudah sampai pada tahap dewasa, pada 1991 Pelaihari akan meraih laba.
Adapun pabrik Silih Nara langsung gulung tikar. Sejak awal berproduksi (1978) pabrik sudah rugi melulu. Bedanya, Silih Nara merugi karena salah teknologi. Menurut Djarot Djojokusumo, Direktur Utama PT Pupuk Iskandar Muda—badan usaha milik negara yang memodali Silih Nara—kerugian itu terjadi lantaran produksi terlalu rendah dibanding kapasitas pabrik.
Pada 1986, Pupuk Iskandar Muda (PIM) menyuntikkan dana tambahan Rp 2 miliar. Itu pun tak menolong karena Silih Nara tetap merugi Rp 600 juta setahun. Untuk memperkecil kerugian, PIM mengusulkan rehabilitasi mesin-mesin dengan dana Rp 1,5 miliar. Tapi usul itu ditolak pemerintah. Setelah dikalkulasi, Silih Nara pasti tetap merugi kendati direhabilitasi, minimal Rp 200 juta per tahun.
Menurut A.T. Birowo, Sekretaris Jenderal Dewan Gula, pabrik-pabrik gula yang kapasitasnya di bawah 1.700 ton tebu per hari (tth) memang termasuk paling rawan. Biaya operasinya cukup tinggi, apalagi kalau bahan bakunya sampai kurang.
Nasib yang sama juga menimpa pabrik gula Sari Bulan di Sumatera Barat dan pabrik Teluk Keramat di Kalimantan Barat. Sari Bulan, misalnya, kini tinggal besi tua belaka. Begitu juga Teluk Keramat, yang pindah profesi menjadi pembuat gula merah.
Hanya, perlu diingatkan, masih banyak pabrik gula yang untung ketimbang yang rugi. Seorang pejabat di Departemen Pertanian menyebutkan, hanya sepertiga dari 67 pabrik gula di bawah departemen itu yang merugi. Penyebabnya hanya tiga: teknologi yang tak cocok, bahan baku kurang, dan beban investasi yang berat.
Lantas mengapa pabrik gula swasta bisa melaba? Kata sumber ini, karena perbedaan beban. Pabrik Gunung Madu, misalnya, hanya dibebani bunga 12 persen, sedangkan pabrik Cirebon 18 persen. Selain itu, sebagai perusahaan swasta, Gunung Madu tidak dibebani oleh misi pemerintah.
Pabrik gula Kalibagor di Banyumas, Jawa Tengah, yang tak pernah untung sejak sebelum perang tetap dioperasikan dengan tujuan menampung tebu petani. Begitu pula beberapa pabrik gula lain. Tapi tidak semua terus merugi. Kenapa yang rugi tidak ditutup saja? Ini seperti buah simalakama. Jika diteruskan akan merugi, tapi kalau pabrik gula ditutup Indonesia harus impor gula lebih banyak.
https://majalah.tempo.co/edisi/1361/1989-03-04
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo