Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERILAKU dua anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat merecoki penyelidikan kejaksaan sungguh bikin malu. Alih-alih mendukung kerja kejaksaan yang membeslah puluhan kontainer dengan dokumen bodong, mereka malah meminta pengusutan kasus itu disetop. Dalih perlunya pemerintah memelihara keberlangsungan bisnis dan masa depan pekerja sungguh tidak bisa diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang Juni-Juli lalu, kejaksaan bekerja sama dengan kantor Bea dan Cukai Jawa Timur menyegel 69 kontainer tekstil bermasalah di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kuat diduga ada pemalsuan dokumen: asal barang yang semestinya dari Cina disebut dari Malaysia. Barang impor yang seharusnya disebutkan untuk dijual ke konsumen itu tertulis di dalam dokumen sebagai bahan baku produksi. Di dalam dokumen disebutkan pemilik peti-peti kemas itu adalah PT Anugerah Citra Perdana dan PT Karya Sukses Sejahtera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejaksaan kemudian memeriksa pengusaha pengimpor barang, petugas lapangan, petinggi Bea-Cukai Tanjung Perak, dan pejabat Kementerian Perdagangan yang memberikan izin impor. Di tengah penyelidikan, dua anggota Komisi Hukum DPR meminta petinggi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menghentikan kasus dan mengembalikan kontainer ke pemiliknya. Ditekan anggota DPR, kejaksaan memerintahkan Bea dan Cukai melepas tujuh kontainer. Alasan dua legislator bahwa penyegelan akan mengakibatkan pabrik tutup dan karyawan kehilangan pekerjaan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Menurut jaksa, di lokasi, mereka tidak menemukan pabrik, tapi hanya rumah tinggal.
Permintaan penghentian perkara juga sarat kejanggalan. Anggota Komisi Hukum DPR sama sekali tidak berwenang meminta penghentian kasus dan pembebasan kontainer. Selain bertugas membuat undang-undang, DPR memang diberi wewenang mengawasi pemerintah. Tapi mekanismenya dengan mengundang pemimpin lembaga dalam rapat dengar pendapat—bukan main perintah di lapangan. Dalam kasus ini, Komisi Hukum bisa bertanya ke Jaksa Agung dan Menteri Keuangan, kementerian yang membawahkan Bea dan Cukai.
Apa yang dilakukan dua anggota Komisi Hukum tak hanya mencederai dan mengaburkan tugas Dewan yang sesungguhnya, tapi juga membuat posisi mereka “turun kelas”. Mitra kerja mereka adalah para menteri, bukan anak buah. Bersama anggota Komisi Hukum lainnya, kedua politikus hendaknya berfokus pada tugas utama mereka: menyelesaikan sejumlah rancangan undang-undang, termasuk RUU Pemasyarakatan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang hingga kini belum disahkan. Patut pula disayangkan mengapa kejaksaan menuruti permintaan kedua anggota DPR membebaskan sebagian kontainer.
Dugaan campur tangan harus ditelisik. Bukan tidak mungkin ada kongkalikong di balik permintaan penghentian kasus tersebut. Apalagi ini bukan cerita baru. Pada 2011, sejumlah legislator juga ramai disebut membekingi penyelundup telepon seluler BlackBerry. Sembilan tahun setelah kejadian itu, tak ada satu pun anggota DPR yang ditindak.
Polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi mesti menelisik motif di balik kasus ini. Mahkamah Kehormatan Dewan juga tak boleh tinggal diam. Partai politik asal kedua legislator selayaknya mengambil tindakan: memeriksa dan—jika terbukti—menarik mereka dari DPR.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo