Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengapa Pendengung Dipersoalkan

Propaganda digital merusak etika publik dengan kedok kebebasan berekspresi. Penguasa yang berburu justifikasi justru kehilangan legitimasi.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Mengapa Pendengung Dipersoalkan
Perbesar
Mengapa Pendengung Dipersoalkan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TIDAK semua warganet yang secara terbuka mendukung kebijakan pemerintah adalah buzzer atau pendengung. Mendukung Presiden Joko Widodo di media sosial tentu bukan kesalahan atau keburukan yang harus disembunyikan. Justru dukungan—sebagaimana juga kritik—adalah bagian dari partisipasi politik warga di ruang publik yang terbuka.

Buzzer juga bukan influencer atau pemengaruh yang secara terang-terangan menganjurkan pengikutnya di media sosial mendukung ini atau membeli produk itu. Pemengaruh, yang umumnya berasal dari kalangan figur publik, seperti musikus, atlet, akademikus, bahkan politikus, punya reputasi yang harus dijaga. Mereka merawat nama baiknya agar selera mereka senantiasa diikuti jutaan fan-nya di media sosial.

Pendengung yang bikin masalah adalah mereka yang beroperasi dalam kegelapan. Dengan berkedok kebebasan berekspresi, mereka mengumbar informasi tanpa memperlihatkan diri. Bersembunyi di balik akun anonim, mereka mengumbar data dan opini tanpa verifikasi dan konfirmasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pemilik akun media sosial yang menyebarkan informasi dengan imbalan komersial tanpa secara terbuka menandai kontennya sebagai iklan juga bisa dikelompokkan dalam kategori mereka yang memperkeruh ruang publik. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, konten mereka berpotensi mengelabui khalayak ramai.

Kita masih ingat polarisasi yang terjadi di dunia maya menjelang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir tahun lalu. Alih-alih membahas efektivitas kerja KPK dalam pemberantasan korupsi, para pendengung rajin menyebarkan isu soal KPK yang konon menjadi sarang kelompok Islam radikal. Mereka juga menebarkan hoaks tentang integritas penyidik dan pemimpin KPK untuk memberikan kesan bahwa lembaga itu tak kredibel memberantas korupsi tanpa tebang pilih.

Belakangan, ulah para pendengung tampak dalam kampanye mendukung Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Berbagai tanda pagar atau tagar manipulatif dipromosikan diam-diam agar publik tak mempersoalkan rancangan pasal-pasal omnibus law. Kebisingan yang terjadi diharapkan bisa menutup suara kritis yang mempersoalkan posisi tawar buruh atau potensi kerusakan ekologi atas nama pembangunan ekonomi. Manipulasi ruang publik semacam ini tak boleh dibiarkan leluasa terjadi.

Sayangnya, upaya aktivis, akademikus, dan jurnalis untuk menghadang para pendengung justru berhadapan dengan serangan peretasan dan kampanye hitam. SAFEnet—jaringan pembela kebebasan berpendapat di Asia Tenggara—mencatat ada sedikitnya 30 kasus teror digital dan peretasan akun media sosial yang dialami aktivis masyarakat sipil, media, dan akademikus sejak April lalu. Tak ada satu pun yang sudah diungkap polisi.

Kecenderungan itu kian mengkhawatirkan jika benar ada unsur penguasa di balik para pendengung. Pekan lalu, Indonesia Corruption Watch meneliti belanja pemerintah pusat dan menemukan indikasi belanja Rp 1,29 triliun untuk berbagai aktivitas digital pada periode 2017-2020. Penelusuran majalah ini juga menemukan peran orang penting di lingkaran Istana dalam kampanye pendengung beberapa tahun terakhir.

Sudah saatnya kita sadar bahwa keberadaan para pendengung ini merusak demokrasi. Jika kita sepakat bahwa prinsip utama politik adalah kepublikan, di sana ada prinsip keterbukaan atas pengujian publik. Politik yang bisa mendapat legitimasi adalah politik yang lolos pengujian publik dalam bentuk kritik. Ketika para buzzer diorkestrasi untuk menyerang kalangan yang getol mengkritik pemerintah, muncul persoalan etik yang serius.

Makin dekat posisi para pendengung dengan pusat kekuasaan, keberadaan mereka makin berbahaya. Mereka berada di pusat kekuasaan politik, tapi tidak berani muncul di bawah sorotan publik. Khalayak ramai tak tahu siapa mereka, apa saja yang mereka lakukan, atas perintah siapa, dan dari mana anggarannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sekali lagi, para pendengung ini bukanlah warganet biasa yang aktif dan rasional berdiskusi dengan identitas diri yang jelas tentang berbagai kebijakan publik. Kita semua butuh warganet semacam itu. Membela dan mengkritik kekuasaan adalah hak setiap warga negara dan merupakan praktik lazim dalam demokrasi yang aktif. Namun dukungan dan kritik itu hanya bernilai etis apabila diselenggarakan secara terbuka dan penuh tanggung jawab.

Pemerintah yang baik mestilah bekerja di bawah sorot keterbukaan publik. Hanya dengan menerima kritik secara baik, ia memperkuat legitimasinya. Pemerintah yang buruk pasti alergis terhadap sorotan publik. Dengan berbagai cara, ia bakal berusaha membungkam suara berbeda. Barangkali mematikan kritik bisa memberinya justifikasi, tapi pasti tidak akan pernah memberinya legitimasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus