Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBUBUNGNYA jumlah kasus positif Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 belakangan ini menunjukkan kegagalan sistem pengendalian pandemi di Tanah Air. Dalam situasi genting, pemerintah seharusnya tak boleh ragu menentukan arah kebijakan dan prioritas langkah agar keadaan tidak terus memburuk. Sayangnya, arahan Presiden Joko Widodo kepada pejabat pemerintahannya tampak penuh kontradiksi dan setengah hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia mencatat rekor tertinggi penambahan harian jumlah kasus positif Covid-19 sepanjang pekan lalu. Pada 24 Juni 2021, jumlah kasus positif Covid-19 menyentuh angka 20.574 orang. Ini penambahan kasus harian tertinggi sejak 2 Maret 2020, pada saat kasus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di negeri ini. Total jumlah kasus Covid-19 di seluruh Indonesia sekarang sudah mencapai lebih dari 2 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebaran varian delta virus corona membuat angka penularan pada kelompok usia anak-anak (0-18 tahun) juga naik tajam. Kini jumlah anak yang terinfeksi virus ini mencapai 250.610 orang atau 12,6 persen dari total kasus. Kondisi makin mencekam karena ketersediaan kamar perawatan dan fasilitas rumah sakit bagi pasien Covid-19 juga terus menipis.
Pemerintah tampaknya terlambat menyadari bahwa keberhasilan pengendalian pandemi ditentukan oleh kesamaan langkah dalam implementasi protokol kesehatan di semua lini. Ketiadaan komando yang tegas dan konsisten dari pucuk pemimpin tertinggi, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, terbukti membuat pelaksana program di lapangan kocar-kacir. Sinergi antar-kementerian yang seharusnya menjadi kunci keberhasilan melandaikan kurva penularan Covid-19 tak pernah benar-benar dipraktikkan.
Sejak awal pandemi, Presiden Jokowi terus mendengungkan resep rem dan gas. Terdengar indah di telinga, kebijakan yang dirancang untuk mengendalikan laju penyebaran wabah Covid-19 sambil terus menggerakkan roda ekonomi ini tak mudah diterapkan. Ketika angka penularan Covid-19 sedang rendah, menggenjot kegiatan bisnis memang bisa dilakukan. Namun, ketika situasi mendadak berbalik dan angka penularan meroket, nyaris mustahil mengerem mesin ekonomi yang sedang berputar cepat. Padahal waktu adalah faktor krusial di sini. Jeda beberapa saat sebelum pelaku usaha bisa memperketat protokol kesehatan sudah cukup untuk membuat penyebaran virus menjadi-jadi.
Karena itulah kita kini berada dalam kubangan persoalan Covid-19. Jauh sebelum Idul Fitri pada pertengahan Mei lalu, para epidemiolog sudah memperingatkan bahaya ledakan jumlah pasien Covid-19 pasca-Lebaran. Kekhawatiran itu kini terbukti. Meski pemerintah memang melarang mudik, sosialisasi pelarangan mudik tak dilakukan optimal. Jalan tol, bandar udara, stasiun kereta, dan pelabuhan bahkan masih beroperasi. Kini kita tahu, tak kurang dari 1,5 juta kendaraan lolos dari penyekatan di jalan-jalan raya.
Demikian juga soal varian delta virus corona. Para ahli pagi-pagi sudah memperingatkan pemerintah tentang bahaya mematikan varian baru ini. Namun toh kepulangan tenaga kerja Indonesia dari berbagai negara yang terkena varian itu dibiarkan begitu saja. Langkah Menteri Luar Negeri menutup akses kunjungan warga dari negara-negara di zona merah pandemi tak efektif karena Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia gagal mengetatkan pemeriksaan imigrasi dan karantina di bandara dan pelabuhan.
Ke depan, kekisruhan masih terbayang. Serangkaian kebijakan Menteri Kesehatan untuk melacak rantai penularan virus corona lalu mengisolasi sumbernya pasti mentah ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuka opsi buat siswa kembali bersekolah secara tatap muka. Upaya mencegah angka kematian bertambah juga pasti berantakan kalau Menteri Pariwisata terus mendorong warga jalan-jalan ke Bali.
Presiden Jokowi kini dituntut bersikap realistis. Upaya untuk terus mendorong berbagai program prioritas di bidang ekonomi justru bisa membahayakan keselamatan warga di masa pagebluk seperti ini. Pemerintah harus kembali ke logika sederhana: ekonomi baru akan tumbuh jika pandemi terkendali dan masyarakat tetap sehat.
Bila dinilai kurang, anggaran Rp 403,9 triliun untuk penanganan Covid-19 bisa ditambah. Jangan sampai ada keluhan, pemerintah tak bisa menerapkan protokol karantina yang ketat karena keterbatasan dana. Pos belanja yang tidak mendesak, seperti pembangunan ibu kota baru dan pembelian senjata, bisa dikesampingkan.
Terus-menerus menyalahkan warga yang dinilai tak berdisiplin menerapkan protokol kesehatan juga tak menyelesaikan masalah. Kuncinya ada pada kepemimpinan yang tepat. Tanpa itu, kita tak akan bisa keluar dengan selamat dari labirin masalah Covid-19 ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo