SEORANG Muslim di mana saja mengatakan bahwa agamanya adalah
yang paling lengkap dan sempurna. Iman ini sering mendapatkan
dukungan dari hasil pengamatan pihak yang lebih netral. Sosiolog
E. Gellner misalnya mengatakan bahwa Islam lebih menyerupai
suatu cetak biru sosial (dari Tuhan) dari pada lainnya. Sifatnya
yang menyeluruh sebagai gerakan sosial secara amat penting
membedakan Islam dari agama-agama lain. Karena itu, kata
Cellner, adalah sangat menarik memperhatikan keberhasilan dan
kegagalan implementasi cetak biru itu untuk menguji teori-teori
tentang hubungan antara kepercayaan dan kenyataan sosial.
Sebagai cetak biru sosial, apakah Islam berhasil? Seorang yang
beriman pasti menjawab dengan positif. Bukti keberhasilannya
ialah sejarah Nabi Muhammad sendiri dan para khalifah
sesudahnya. Sebagai pembangun agama, Nabi Muhammad adalah yang
paling sukses dibanding dengan pembangun agama lain manapun
juga.
Cerita sukses Rasulullah dan para khalifahnya itu meninggalkan
bekas yang mendalam dalam cara berpikir kaum Muslimin. Para
failasuf Islam seperti Ibn Sina, al-Farabi, Ibl Rushd dan
lain-lain menetapkan doktrin bahwa ajaran yang benar harus
sukses dalam implementasinya. Sebab mereka dalam berfilsafat
selalu membayangkan ketokohan Nabi Muhammad sebagai lambang
kesuksesan dan contoh ideal atau uswah. Menurut Prof. Fazlur
Rahman tekanan kepada faktor sukses itu merupakan ciri utama
filsafat Islam dan membedakannya dari filsafat Yunani yang
berkembang saat itu.
Tetapi berpegang kepada doktrin sukses mungkin lebih mudah bagi
kaum muslimin abad-abad pertama itu daripada abad-abad
terakhir ini. Jika masa permulaan itu Islam ditandai oleh
kemenang demi kemenangan, saat-saat terakhir ini justru
menunjkan gejala sebaliknya: bangsa-bangsa Muslim dikalahkan
dan dijajah oleh bangsa-bangsa non-Muslim.
Maka timbul pertanyaan ya? sangat mengusik hati: Mengapa Tuhan
membiarkan para pendukung cetak birunya kalah? Atau apakah cetak
biru sendiri sudah kehabisan masa-berlakunya?
Pertanyaan itu secara pasti dijawab ummat Islam dengan negatif.
Tuhan tidak membiarkan recanaNya terbengkalai. Dan rencana
Ilahi itu tetap mempuyai validitas. Tidak ada sesuatu yang
salah pada Tuhan dan agamaNya. Yang salah ialah ummat Islam,
yaitu komunitas dari orang-orang yang mengaku memeluk agama itu.
Dan lagi, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada
suatu bangsa sehingga mereka itu mengubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri," (Q. III, 11). Berdasarkan itu maka disimpulkan
dengan pasti bahwa ummat Islam telah mengalami perubahan dan
penyimpangan dari jalan yang benar.
Karena komunitas yang disebut ummat Islam itu terbentuk oleh
adanya konfigurasi kultural dan institusi sosial yang tumbuh
bersama tradisi, dan karena berbagai unsur radisi itu terbentuk
oleh berbagai penafsiran dan pemahaman orang-orang Islam sendiri
tentang agamanya, maka yang diperlukan ialah mengkaji dan
menilai kembali penafsiran dan pemahaman masyarakat itu. Inilah
yang dilakukan oleh mereka yang disebut para mujaddid atau
pembaharu.
Paling terkenal di antaranya ialah Ibn Taimiyya (wafat
728H/1328M) dari Suriah, yang kemudian berpengaruh kepada dan
diteruskan oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab (wafat 1206H/1791M)
dari Jazirah Arabia. Mereka ini mewakili gerakan pembaharuan
yang lahir dari dalam dinamika masyarakat Islam sendiri, tanpa
sesuatu stimulan dari luar.
Tapi ide mereka juga berpengaruh besar kepada para mujaddid
lainnya yang bergerak sebagian karena distimulir oleh adanya
kontak antara Islam dengan Barat dalam satu dan lain bentuk.
Termasuk para pembaharu kelompok kedua ini ialah Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Ridla, Sayid Ahmad Khan, Zia
Gokalp, Agus Salim, dan lin-lain. Pikiran merekalah yang
sebegitu jauh banyak memberi perkembangan masyarakat Islam di
zaman modern, sejak dari Marokko sampai Indonesia.
Kemudian pada penghujung abad keempat belas Hijriyah ini,
seperti kita ketahui, muncul berbagai gejala spektakuler
kebangkitan kembali Islam, dengan Revolusi Iran sebagai
puncaknya: Banyak ahli yang mencoba menerangkan hakikat Revolusi
Iran itu, tetapi agaknya banyak pula yang tidak dapat
menerangkannya sama sekali, dan menolak berbagai keterangan yang
ada. Salah satu yang menarik tentang Revolusiitu ialah bahwa ia
didukung dan dipelopori para mahasiswa dan kaum intelektual
modern.
Peranan Khumaini memang sangat penting. Tetapi daA satu
pandangan teori sosial, ia sebenarnya tidak lebih dari tokoh
simbul dan penyederhana persoalan masyarakat yang terjadi. Tokoh
serupa itu, menurut Karl Deutsch, memang selalu diperlukan dan
muncul dalam situasi kritis dan perubahan sosial yang besar.
Maka yang sesungguhnya teramat penting dalam gejala Islam modern
ialah berkembangnya pengaruh kaum intelektual Muslim hasil
pendidikan Barat modern, khususnya dalam dekade terakhir ini.
Seperti tercermin dalam dukungan kaum intelektual Iran kepada
Revolusinya, perkembangan kaum intelektual Muslim itu tidak
hanya terbentuk di dalam negeri-negeri Muslim sendiri, tapi juga
di luarnya, khususnya Eropah dan Amerika. Pendidikan dan ilmu
pengetahuan modern itu menjadi bahan bagi adanya keyakinan baru
pada kaum Muslimin, dan meneguhkan kesadaran identitas mereka.
Maka seringkali timbul fenomen bahwa kelompok intelektual Muslim
itu membentuk gerakan-gerakan yang militan.
Kalangan non-Muslim senantiasa mempunyai kesan bahwa ummat Islam
cenderung untuk militan dan fanatik. Banyak keterangan diberikan
untuk gejala ini. Antara lain dikatakan bahwa hal itu terjadi
karena orang-orang Muslim umumnya mempunyai perasaan lebih
terhadap ummat lain.
Ini pun bukannya tanpa alasan. Islam termasuk satu rumpun dengan
Yahudi dan Kristen. Tetapi, menurut Max Weber, monotheisme yang
keras merupakan sifat utama Yahudi dan Islam. Sedangkan dalam
Kristen terdapat doktrin-doktrin yang menghalanginya dari
monotheisme yang murni (strict). Kristen dan Islam memiliki segi
persamaan dalam hal universalismenya, sedangkan Yahudi adalah
agama yang nasionalistik. Maka Islam adalah yang memiliki
sekaligus monotheisme murni dan universalisme. Kedua prinsip itu
merupakan sumber energi Islam yang sangat kuat.
Satu lagi sumber kekuatan Islam, yaitu keyakinan tak tergoyahkan
kaum Muslimin tentang keotentikan kitab suci mereka. Seorang
orientalis mengatakan bahwa sebagai agama termuda, Islam
"beruntung" muncul ketika peradaban tulis menulis telah mencapai
tingkat yang mantap, dandi masa perkembangan bahasa Arab
mencapai taraf yang sangat tinggi. Kesemuanya itu memungkinkan
pendokumentasian al-Qur'an secara rapi dan otentik sejak masa
hidup Rasulullah sendiri.
Dengan latar belakang itu semua, Islam berkembang terus dengan
penuh vitalitas. Dan saat ini perkembangan itu nampak sedang
mencapai titik yang tak lagi bisa dikembalikan.
Sudah tentu ini adalah sesuatu yang sangat memberi harapan
kepada Dunia Islam. Walaupun begitu, masih saja terdapat celah
untuk mempertanyakan keabsahan dan ketepatan berbagai segi
implementasi kongkrit yang dipilih oleh para proponen
politiknya. Misalnya, nampak bahwa kebanyakan mereka itu belum
mampu memandang ke seberang halhal yang sesungguhnya kurang
strategis dan bukan essensi utama Islam -- seperti hukum-hukum
potong tangan, rajam dan cambuk, persoalan-persoalan bunga bank,
cadar dan pakaian wanita, serta lagu-lagu dan musik Barat.
Nampak pula kebanyakan mereka masih juga mengalami kesulitan
menangkap dan meresapi prinsip-prinsip Islam yang lebih utama,
khususnya Keadilan Sosial, Demokrasi, dan Kemanusiaan. Padahal
prinsip-prinsip itu berulang kali diekspresikan dalam al-Qur'an
dengan bahasa yang keras dan tegas, khususnya dalam Surat-surat
pendek terakhir (Juz 'Amma) tapi juga dalam banyak Surat-Surat
yang lain. Agaknya masih diperlukan tingkat sofistikasi berpikir
yang lebih tinggi lagi untuk dapat menangkap prinsip-prinsip itu
dan merumuskan kembali kerangka intelektualnya secara up to
date.
Kemampuan kaum Muslimin dalarn hal tersebut itu akan merupakan
sumbangan amat berharga kepada dunia dan ummat manusia saat ini.
Sebab, seperti dinyatakan oleh banyak pemikir, ummat manusia
sekarang sedang menghadapi krisis yang bisa sangat dahsyat
impaknya kepada peradaban.
Sebagai blue print sosial pemberian Tuhan, Islam pasti mempunyai
jawab dan mampu memberi penyelesaian atas persoalan ummat
manusia sejagad ini. Tetapi, bukankah wahana dan perwujudan
nyata Islam itu di muka bumi ini ialah ummat Islam sendiri? Ini
berarti bahwa pertanyaan tentang kemampuan menjawab tantangan
zaman itu tidak seharusnya ditujukan kepada Islam qua Islam,
melainkan kepada ummat Islam, yaitu manusia nyata para pemeluk
agama Allah itu.
Untuk memperoleh penyelesaian atas persoalan itu semua di
hadapan kaum Muslimin tersedia lembaran-lembaran Mushaf. Tetapi
agar dapat menggali khazanah yang terkandung dalam Kitab Suci
itu orang-orang Muslim nampaknya masih memerlukan peralatan yang
agaknya sampai saat ini masih belum sepenuhnya dimiliki, yaitu
ilmu-pengetahuan. Setelah iman, ilmu-pengetahuan adalah kunci
pokok bagi adanya sukses dan kejayaan. "Allah mengangkat mereka
yang beriman di antara kamu dan mereka yang berilmu-pengetahuan
ke tingkat yang setinggi-tingginya " (Q. XLVIII, 11).
Dan berkenaan dengan doktrin sukses dalam filsafat Islam
tersebut di atas tadi, baik sekali direnungkan kembali sebuah
tamsil-ibarat dalam al-Qur'an: "Adapun buih, maka akan sirna
tanpa arti dan adapun yang bermanfaat untuk manusia maka akan
tetap berada di bumi" (Q. XIII, 17). Dalam konteks firman Ilahy
itu, buih adalah tamsil kepalsuan yang pasti gagal (zahuq), dan
hanya Kebenaran yang akan bermanfaat untuk manusia dan pasti
sukses (zhahir).
Chicago, 10 November 1979
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini