Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mereka Pernah Menyerbu Bait Itu

Ka"bah, dalam islam, merupakan tempat suci. tentara abessinia pernah berusaha menghancurkannya pada abad ke-6 masehi. kemudian pada awal abad ke-7 ka'bah pecah tiga digempur pasukan umaiyah. (ag)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABRAHAM, penguasa Kerajaan Abessinia atas Yaman, datang dengan pasukannya ke Mekah dengan maksud meruntuhkan "candi persegi". Yang dimaksudkannya: ha'bah. Ia hendak membalas dendam, sctelah gerejanya yang luar biasa hebat yang baru didirikannya di Sana, dipakai oleh seorang Arab dusun buat tempat buang hajat. Itu tahun 570 Masehi. Abdul Muthalib, yang turun-temurun mendapat kehormatan sebagai penanggung jawab (istilahnya pelayan) Ka'bah, mendapat laporan. Juga tentang 200 kambing-gembalanya yang ditangkap para prajurit hitam yang berkemah di seberang bukit-bukit yang melindungi Mekah itu. Ia bergegas ke Ka'bah, mengelilinginya tujuh kali, lalu "menyerahkan" Ka'bah kepada Sang Pemilik dalam satu syairnya, lalu menangis. Sudah itu datang utusan Abrahah yang membawa orang tua ini ke perkemahan. Di sana, ditanya bagaimana tanggapannya terhadap kedatangan para penguasa itu, ia menjawab ia hanya menuntut miliknya, 200 kambing. Sang penguasa terkejut: "Anda pelindung candi itu, dan anda hanya memikirkan 200 kambing? Sadarkah anda pada kemuliaan anda?" Jawab Abdul Muthalib: "Soal Ka'bah, itu sudah ada pemiliknya. Terserah Yang Empunya, mau memeliharanya atau membiarkannya. Tapi hambing itu milik saya." Abrahah, kira-kira, mengangguk-angguk. Lalu menyuruh orang mengembahkan harta pemimpin Mekah itu. Sang Pemilik, syahdan, tak tinggal diam. Tuhan mengirim kepada bala penyerbu itu "burung-burung neraka", yang menghujani mereka dengan batuan api atau kuman penyakit sampar seperti dituturkan sebagian penulis tarikh. Abrahah dan tentaranya pulang cerai-berai ke Yaman. Dan hari itu bagi orang Arabpun menjadi titik perhitungan 'Tahun Gajah'. Soalnya Abrahah datang di punggung gajah, dan orang Mekah beruntung bisa melihat binatang luar biasa itu. Itu juga merupakan "Hari Kesaktian Ka'bah". Dan itulah tahun kelahiran Muhammad s.a.w., cucu Abdul Muthalib. Peristiwa itu terekam. Juga peristiwa yang terjadi lebih 1.400 tahun kemudian, 1 Muharram yang baru lalu. Benar perbuatan yang kemarin ini bukan perlawanan langsung terhadap Ka'bah -- tapi seperti dikutuk umat lslam sedunia, bukankah penodaan tempat suci juga namanya? Mekah disebut sebagai 'Tanah Suci' Persisnya sebuah lingkungan dengan radius beberapa kilometer, yang antara lain mengandung Ka'bah dan masjid suci (Masjidil Haram). Di sini, pembunuhan ataupun teror tak diizinkan. Sedang binatang pun tak boleh diburu, pohon buah-buahan tak boleh dipotong -- seperti disebut Qur'an. "Bahkan anjing," kata pengarang Tafsir Khazin, "tidak akan berkelahi di Tanah Haram." Apalagi di dalam masjid, di hadapan Ka'bah. Bangunan ini dahulu didirikan kembali oleh Ibrahim, seperti yang bekasnya masih bisa dilihat pada Hajat Aswad (Batu Hitam) -- yang konon pula berasal tidak lain dari zaman Adam sendiri, diulurkan oleh tangan malaikat kepadanya. JIBRIL pulalah yang, disebut dalam umumnya tafsir tradisional menjadi "arsitek" bait Allah tertua itu. Kalangan mistik Islam meyakininya sebagai "gambaran dalam bentuk wadag dari Bait Allah di alam azali yang dikelilingi malaikat dengan puji-pujian. " "Bahkan burung, " kata Tafsir Khazin lagi, "tak akan melintas di atas Ka'bah. Ia akan menghindar ke kiri atau ke kanan. Ia akan minta kesembuhan di Bait ini pabila dirundung sakit." Tak heran bila Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, penegak mazhab hukum Hanbali, menyimpulkan bahwa tak ada hukuman boleh dijatuhkan di Tanah Suci. Pembunuh pun harus dibawa ke luar -- atau ditunggu munculnya, bila sembunyi di dalam masjid. Maka aliran kepercayaan yang bagaimanakah kiranya yang membolehkan orang bikin ribut di masjid seperti ini, di mana segala pemerintah yang pernah berkuasa tidak pernah menyediakan polisi bersenjata sekalipun, di mana segala bangsa bertemu dalam damai -- di setumpak tanah yang ditetapkan sebagai 'milik Allah' dan bukan milik sesuatu negara? Tetapi, anehnya, kedurjanaan kepada Ka'bah -- begitulah tentu istilahnya -- bukan baru kali ini. Juga musibah yang menimpanya. Pada usia Muhammad s.a.w. yang ke-35, sebelum kerasulan, banjir terjadi -- dan Batu Hitam, yang merupakan satu-satunya warisan Ibrahim yang masih tinggal pada Ka'bah, tanggal dari tempatnya. Muhammad sendiri yang akhirnya mendapat kepercayaan untuk memasangnya setelah sebuah undian oleh para kepala marga yang bertengkar. Muhammad ditunjuk karena dia terkenal adil sifatnya. Dan benar: ia tak mengambil kehormatan itu untuk diri sendiri. Ia membeberkan selendang, meletakkan batu di tengah-tengah, dan tiap wakil kabilah memegang ujung selendang. Lalu Muhammad yang akhirnya memasang. TETAPI kedurjanaan yang sehina-hinanya adalah yang terjadi pada periode awal Dinasti Umaiyah. Yazid bin Mu'awiyah (60-63 Hijrah, begitu menggantikan ayahandanya yang merupakan raja pertama dalam Islam, menghadapi dua pihak sekaligus. Pertama adalah kaum Ali bin Abi Thalib almarhum, menantu Nabi, yang dipimpin oleh Husain bin Ali. Kedua kaum Abdullah bin Zubair yang meneruskan perlawanan para tetuanya: 'Aisyah (istri Nabi), Thollah, dan Zubair bin Awwam, ayah Abdullah dan suami kakak 'Aisyah. Kedua kalangan itu tak bisa menerima prosedur pengangkatan diri Mu'awiyah yang zalim. Husain berhasil ditipu untuk datang ke Irak -- dan di sana dibantai, kepalanya diceraikan dari badan dan dikirimkan kepada Khalifah Yazid di Damaskus. Peristiwa inilah yang ditangisi umat Syi'ah (berasal dari golongan Ali, ayah Husain) sampai sekarang. Bahkan Dinasti Umaiyah itu (dan kemudian Abbasiah) dikenal sebagai penindas Syi'ah yang paling kejam dari abad ke abad -- dan menjadikan Syi'ah sebagai organisasi gelap yang akhirnya berobah menjadi sekte agama tersendiri. Ali, "imam pertama", berobah menjadi 'tokoh langit': gambarnya dilukis dengan aureole, dan tumbuhlah ikonisme dalam Islam. Adapun untuk menhadapi Abdullah bin Zubair, bala tentara dikirim ke Madinah. Mereka berhasil memukul pertahanan, lalu dibiarkan merampas, membunuh dan memperkosa -- dalam kota di mana dikubur jasad Nabi yang mulia itu -- tiga hari lamanya. Sudah itu mereka ke pusat kekuatan Abdullah: Mekah. Dari bukit-bukit yang melindungi Mekah, kota ini diserang: meriam-meriam memuntahkan batu -- dan menggempur Ka'bah. Sebelah dinding pecah, Batu Hitam pecah tiga (sampai sekarang), dan bahkan menurut Ensiclopedia Britannica sebuah dinding terbakar. Itulah lembaran yang sehitam-hitamnya dalam sejarah Islam. Tetapi, apakah sebenarnya yang ternoda oleh perbuatan seperti itu? KONSEP kesucian dalam Islam agak berbeda dari yang mung~kin digambarkan orang. Orang Islam yang dari segala penjuru bersujud ke arah Ka'bah misalnya, tidak pernah sedikit pun merasa sedang menyembah -- atau bahkan sekedar memuliakan -- bangunan dari granit biru berukuran pukul rata 11 mÿFD dengan tinggi 15 m itu. Ka'bah sendiri secara harfiah hanya berarti bangunan segi empat. Ia hanyalah tanda, meskipun tanda yang ditunjuk Tuhan sendiri. Dengan kata lain: kesucian di sini bukanlah kesucian benda -- semacam kesucian keris bagi yang percaya, atau kesucian benda sembahyangan dalam agama lain. Memang ada masanya ketika -- di zaman jahiliah -- kabilah-kabilah Arab yang jauh pada mengambil cuwilan batu dari Ka'bah atau tanah sekitar situ untuk dibawa pulang -- lalu jadi bahan pokok bagi berhala di kalangan masing-masing. Tapi kenyataan bahwa Ka'bah sendiri kemudian jadi tempat dikumpulkannya segala patung sembahan (konon sampai 360 banyaknya, di dalam), menunjukkan bahwa bahkan sejak sebelum Islam, bangunan yang bahannya diperkirahan dari bukit-bukit Mekah zaman dulu itu lebih merupakan sebuah tempat daripada subyek. Apalagi Ka'bah juga dipakai buat menggantungkan syair-syair Arab yang menang festival tahunan. Dan, di zaman Islam, seperti ditunjukkan dalam film The Message misalnya, juga dinaiki Bilal bin Rabah, si bekas budak itu, untuk menyerukan azan (di situ ia bertelanjang-dada) di waktu pembebasan Mekah oleh Nabi dan umatnya dari Madinah. Bangunan Ka'bah sendiri mengalami berkali-kali perubahan. Setidak-tidaknya di zaman Nabi, ukurannya sudah berbeda dengan yang bisa diperkirakan di masa Ibrahim -- sudah jauh lebih tinggi. BEGITU pun masjid. Sekarang bangunan ini mampu memuat 300.000 jamaah sekaligus di pelataran dalam. Di zaman Nabi ia hanyalah sebatas jajaran lampu melingkar yang sekarang dikenal sebagai tempat berputar (mathaf). Juga tak punya dinding: sekedar semacam rumbai yang menempel pada bangunan hitam yang perkasa itu. Rehabilitasi Ka'bah atau setidak-tidaknya peluasan mesjid yang terus-menerus, itu pun dilakukan tanpa sesuatu kesadaran akan --misalnya -- perlunya upacara "menyelamati". Malahan membasuh Ka'bah di bagian dalam bisa dilakukan siapa saja -- hanya untuk kehormatan saja diberikan kepada Raja atau para tamu -- dengan cara yang bahkan lebih sederhana dari misalnya membasuh kutang peninggalan Sunan Kalijogo di Demak. Ka'bah hanyalah arah, hanyalah tempat. Yang suci bukanlah benda-benda. Alamat apa, gerangan, yang ditunjukkan oleh "penyerbuan" kaum perusuh ke Masjidil Haram yang lalu itu, tepat di hari pertama abad XV? Andaikata, Ka'bah dihancurkan orang. Lalu dibangun di tempat lain. Bagaimana? Orang akan tetap saja sembahyang ke arah semula, tentunya. Sebab apakah arti batu? "Wahai batu," kata Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam Islam. "Kalau saja tidak kulihat Nabi dulu mencium engkau, takkan mau aku mencium engkau."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus