ABRAHAM, penguasa Kerajaan Abessinia atas Yaman, datang dengan
pasukannya ke Mekah dengan maksud meruntuhkan "candi persegi".
Yang dimaksudkannya: ha'bah. Ia hendak membalas dendam, sctelah
gerejanya yang luar biasa hebat yang baru didirikannya di Sana,
dipakai oleh seorang Arab dusun buat tempat buang hajat. Itu
tahun 570 Masehi.
Abdul Muthalib, yang turun-temurun mendapat kehormatan sebagai
penanggung jawab (istilahnya pelayan) Ka'bah, mendapat laporan.
Juga tentang 200 kambing-gembalanya yang ditangkap para prajurit
hitam yang berkemah di seberang bukit-bukit yang melindungi
Mekah itu. Ia bergegas ke Ka'bah, mengelilinginya tujuh kali,
lalu "menyerahkan" Ka'bah kepada Sang Pemilik dalam satu
syairnya, lalu menangis.
Sudah itu datang utusan Abrahah yang membawa orang tua ini ke
perkemahan. Di sana, ditanya bagaimana tanggapannya terhadap
kedatangan para penguasa itu, ia menjawab ia hanya menuntut
miliknya, 200 kambing. Sang penguasa terkejut: "Anda pelindung
candi itu, dan anda hanya memikirkan 200 kambing? Sadarkah anda
pada kemuliaan anda?" Jawab Abdul Muthalib: "Soal Ka'bah, itu
sudah ada pemiliknya. Terserah Yang Empunya, mau memeliharanya
atau membiarkannya. Tapi hambing itu milik saya." Abrahah,
kira-kira, mengangguk-angguk. Lalu menyuruh orang mengembahkan
harta pemimpin Mekah itu.
Sang Pemilik, syahdan, tak tinggal diam. Tuhan mengirim kepada
bala penyerbu itu "burung-burung neraka", yang menghujani mereka
dengan batuan api atau kuman penyakit sampar seperti dituturkan
sebagian penulis tarikh. Abrahah dan tentaranya pulang
cerai-berai ke Yaman. Dan hari itu bagi orang Arabpun menjadi
titik perhitungan 'Tahun Gajah'. Soalnya Abrahah datang di
punggung gajah, dan orang Mekah beruntung bisa melihat binatang
luar biasa itu. Itu juga merupakan "Hari Kesaktian Ka'bah". Dan
itulah tahun kelahiran Muhammad s.a.w., cucu Abdul Muthalib.
Peristiwa itu terekam. Juga peristiwa yang terjadi lebih 1.400
tahun kemudian, 1 Muharram yang baru lalu. Benar perbuatan yang
kemarin ini bukan perlawanan langsung terhadap Ka'bah -- tapi
seperti dikutuk umat lslam sedunia, bukankah penodaan tempat
suci juga namanya?
Mekah disebut sebagai 'Tanah Suci' Persisnya sebuah lingkungan
dengan radius beberapa kilometer, yang antara lain mengandung
Ka'bah dan masjid suci (Masjidil Haram). Di sini, pembunuhan
ataupun teror tak diizinkan. Sedang binatang pun tak boleh
diburu, pohon buah-buahan tak boleh dipotong -- seperti disebut
Qur'an. "Bahkan anjing," kata pengarang Tafsir Khazin, "tidak
akan berkelahi di Tanah Haram."
Apalagi di dalam masjid, di hadapan Ka'bah. Bangunan ini dahulu
didirikan kembali oleh Ibrahim, seperti yang bekasnya masih bisa
dilihat pada Hajat Aswad (Batu Hitam) -- yang konon pula berasal
tidak lain dari zaman Adam sendiri, diulurkan oleh tangan
malaikat kepadanya.
JIBRIL pulalah yang, disebut dalam umumnya tafsir tradisional
menjadi "arsitek" bait Allah tertua itu. Kalangan mistik Islam
meyakininya sebagai "gambaran dalam bentuk wadag dari Bait Allah
di alam azali yang dikelilingi malaikat dengan puji-pujian. "
"Bahkan burung, " kata Tafsir Khazin lagi, "tak akan melintas
di atas Ka'bah. Ia akan menghindar ke kiri atau ke kanan. Ia
akan minta kesembuhan di Bait ini pabila dirundung sakit."
Tak heran bila Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, penegak mazhab
hukum Hanbali, menyimpulkan bahwa tak ada hukuman boleh
dijatuhkan di Tanah Suci. Pembunuh pun harus dibawa ke luar --
atau ditunggu munculnya, bila sembunyi di dalam masjid. Maka
aliran kepercayaan yang bagaimanakah kiranya yang membolehkan
orang bikin ribut di masjid seperti ini, di mana segala
pemerintah yang pernah berkuasa tidak pernah menyediakan polisi
bersenjata sekalipun, di mana segala bangsa bertemu dalam damai
-- di setumpak tanah yang ditetapkan sebagai 'milik Allah' dan
bukan milik sesuatu negara?
Tetapi, anehnya, kedurjanaan kepada Ka'bah -- begitulah tentu
istilahnya -- bukan baru kali ini. Juga musibah yang menimpanya.
Pada usia Muhammad s.a.w. yang ke-35, sebelum kerasulan, banjir
terjadi -- dan Batu Hitam, yang merupakan satu-satunya warisan
Ibrahim yang masih tinggal pada Ka'bah, tanggal dari tempatnya.
Muhammad sendiri yang akhirnya mendapat kepercayaan untuk
memasangnya setelah sebuah undian oleh para kepala marga yang
bertengkar. Muhammad ditunjuk karena dia terkenal adil sifatnya.
Dan benar: ia tak mengambil kehormatan itu untuk diri sendiri.
Ia membeberkan selendang, meletakkan batu di tengah-tengah, dan
tiap wakil kabilah memegang ujung selendang. Lalu Muhammad yang
akhirnya memasang.
TETAPI kedurjanaan yang sehina-hinanya adalah yang terjadi pada
periode awal Dinasti Umaiyah. Yazid bin Mu'awiyah (60-63
Hijrah, begitu menggantikan ayahandanya yang merupakan raja
pertama dalam Islam, menghadapi dua pihak sekaligus. Pertama
adalah kaum Ali bin Abi Thalib almarhum, menantu Nabi, yang
dipimpin oleh Husain bin Ali. Kedua kaum Abdullah bin Zubair
yang meneruskan perlawanan para tetuanya: 'Aisyah (istri Nabi),
Thollah, dan Zubair bin Awwam, ayah Abdullah dan suami kakak
'Aisyah. Kedua kalangan itu tak bisa menerima prosedur
pengangkatan diri Mu'awiyah yang zalim.
Husain berhasil ditipu untuk datang ke Irak -- dan di sana
dibantai, kepalanya diceraikan dari badan dan dikirimkan kepada
Khalifah Yazid di Damaskus. Peristiwa inilah yang ditangisi umat
Syi'ah (berasal dari golongan Ali, ayah Husain) sampai sekarang.
Bahkan Dinasti Umaiyah itu (dan kemudian Abbasiah) dikenal
sebagai penindas Syi'ah yang paling kejam dari abad ke abad --
dan menjadikan Syi'ah sebagai organisasi gelap yang akhirnya
berobah menjadi sekte agama tersendiri. Ali, "imam pertama",
berobah menjadi 'tokoh langit': gambarnya dilukis dengan
aureole, dan tumbuhlah ikonisme dalam Islam.
Adapun untuk menhadapi Abdullah bin Zubair, bala tentara
dikirim ke Madinah. Mereka berhasil memukul pertahanan, lalu
dibiarkan merampas, membunuh dan memperkosa -- dalam kota di
mana dikubur jasad Nabi yang mulia itu -- tiga hari lamanya.
Sudah itu mereka ke pusat kekuatan Abdullah: Mekah.
Dari bukit-bukit yang melindungi Mekah, kota ini diserang:
meriam-meriam memuntahkan batu -- dan menggempur Ka'bah. Sebelah
dinding pecah, Batu Hitam pecah tiga (sampai sekarang), dan
bahkan menurut Ensiclopedia Britannica sebuah dinding
terbakar. Itulah lembaran yang sehitam-hitamnya dalam sejarah
Islam.
Tetapi, apakah sebenarnya yang ternoda oleh perbuatan seperti
itu?
KONSEP kesucian dalam Islam agak berbeda dari yang mung~kin
digambarkan orang. Orang Islam yang dari segala penjuru
bersujud ke arah Ka'bah misalnya, tidak pernah sedikit pun merasa
sedang menyembah -- atau bahkan sekedar memuliakan -- bangunan
dari granit biru berukuran pukul rata 11 mÿFD dengan tinggi 15 m
itu. Ka'bah sendiri secara harfiah hanya berarti bangunan segi
empat. Ia hanyalah tanda, meskipun tanda yang ditunjuk Tuhan
sendiri.
Dengan kata lain: kesucian di sini bukanlah kesucian benda --
semacam kesucian keris bagi yang percaya, atau kesucian benda
sembahyangan dalam agama lain. Memang ada masanya ketika -- di
zaman jahiliah -- kabilah-kabilah Arab yang jauh pada mengambil
cuwilan batu dari Ka'bah atau tanah sekitar situ untuk dibawa
pulang -- lalu jadi bahan pokok bagi berhala di kalangan
masing-masing.
Tapi kenyataan bahwa Ka'bah sendiri kemudian jadi tempat
dikumpulkannya segala patung sembahan (konon sampai 360
banyaknya, di dalam), menunjukkan bahwa bahkan sejak sebelum
Islam, bangunan yang bahannya diperkirahan dari bukit-bukit
Mekah zaman dulu itu lebih merupakan sebuah tempat daripada
subyek. Apalagi Ka'bah juga dipakai buat menggantungkan
syair-syair Arab yang menang festival tahunan. Dan, di zaman
Islam, seperti ditunjukkan dalam film The Message misalnya, juga
dinaiki Bilal bin Rabah, si bekas budak itu, untuk menyerukan
azan (di situ ia bertelanjang-dada) di waktu pembebasan Mekah
oleh Nabi dan umatnya dari Madinah.
Bangunan Ka'bah sendiri mengalami berkali-kali perubahan.
Setidak-tidaknya di zaman Nabi, ukurannya sudah berbeda dengan
yang bisa diperkirakan di masa Ibrahim -- sudah jauh lebih
tinggi.
BEGITU pun masjid. Sekarang bangunan ini mampu memuat 300.000
jamaah sekaligus di pelataran dalam. Di zaman Nabi ia hanyalah
sebatas jajaran lampu melingkar yang sekarang dikenal sebagai
tempat berputar (mathaf). Juga tak punya dinding: sekedar
semacam rumbai yang menempel pada bangunan hitam yang perkasa
itu.
Rehabilitasi Ka'bah atau setidak-tidaknya peluasan mesjid yang
terus-menerus, itu pun dilakukan tanpa sesuatu kesadaran akan
--misalnya -- perlunya upacara "menyelamati". Malahan membasuh
Ka'bah di bagian dalam bisa dilakukan siapa saja -- hanya untuk
kehormatan saja diberikan kepada Raja atau para tamu -- dengan
cara yang bahkan lebih sederhana dari misalnya membasuh kutang
peninggalan Sunan Kalijogo di Demak. Ka'bah hanyalah arah,
hanyalah tempat. Yang suci bukanlah benda-benda.
Alamat apa, gerangan, yang ditunjukkan oleh "penyerbuan" kaum
perusuh ke Masjidil Haram yang lalu itu, tepat di hari pertama
abad XV?
Andaikata, Ka'bah dihancurkan orang. Lalu dibangun di tempat
lain. Bagaimana? Orang akan tetap saja sembahyang ke arah
semula, tentunya. Sebab apakah arti batu? "Wahai batu," kata
Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam Islam. "Kalau saja tidak
kulihat Nabi dulu mencium engkau, takkan mau aku mencium engkau."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini