Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Festival Film dan Strategi Kebudayaan

Saya akan mulai menanggapi tulisan Kemala Atmojo, "Festival Film dan Sistem Hukum Negara" (Koran Tempo, 7 Desember 2018)

10 Desember 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nurman Hakim
Sutradara Film

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya akan mulai menanggapi tulisan Kemala Atmojo, "Festival Film dan Sistem Hukum Negara" (Koran Tempo, 7 Desember 2018), dengan cuplikan dari salah satu paragraf di artikelnya: "Meminjam istilah Thomas S. Kuhn, penjurian Festival Film Indonesia (FFI) sejak tahun 2014 adalah paradigma baru yang menggantikan paradigma lama." Paradigm shift, itu istilah yang dipopulerkan oleh Kuhn.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuhn tidak hanya bicara soal paradigm shift. Ia juga mengemukakan pikirannya tentang Incommensurability, yaitu hal yang tidak dapat dibandingkan dan tidak ada ukuran ataupun landasan umum yang sama-sama bisa digunakan untuk dua elemen yang berbeda. Setiap elemen punya ukuran masing-masing. Film sebagai produk seni budaya dan sistem hukum negara adalah dua hal berbeda.

Atmojo menerangkan, penjurian Oscar yang ditiru oleh FFI setelah 2014 adalah cerminan dari sistem juror di pengadilan Amerika Serikat yang menganut sistem hukum common law. Apakah sama ukuran yang digunakan juror dalam konteks hukum (pengadilan) dengan ukuran yang digunakan para pemilih Oscar dan FFI dalam konteks film? Tentu sangat jauh berbeda. Film punya kaidah ataupun ukurannya sendiri. Begitu pun dengan sistem hukum.

Sistem Oscar tidak becermin pada sistem hukum negara Amerika, melainkan ada dua alasan yang melatarinya. Pertama, Oscar lahir dengan sistem seleksi dan penjurian seperti itu untuk memperkuat kapitalisme industri film. Soal estetika mengikutinya, tapi yang utama adalah kepentingan modal. Strategi kebudayaan Amerika terbentuk oleh industri dan kapitalisme.

Kedua, proses seleksi dan penjurian film Oscar menggunakan tabulasi kompleks yang diaudit oleh akuntan PricewaterhouseCoopers. Ada sistem threshold (ambang batas) layaknya pemilihan umum. Dengan menggunakan surat suara yang dikirim ke anggota Academy Awards yang mengadopsi sistem demokrasi Amerika. Sistem ini pun beberapa kali menyisakan persoalan. Oscar 2016 dianggap mengandung rasisme, terlalu berpihak ke kulit putih. Juga, film-film Orson Welles (Citizen Kane, Touch of Evil, dan lainnya) dan Stanley Kubrick (A Clockwork Orange dan 2001: A Space Odyssey) tak pernah memenangi penghargaan film terbaik Oscar tapi terus dibicarakan hingga kini dan menjadi studi di seluruh sekolah film di dunia.

Film dinilai oleh 7.258 anggota Academy dengan komposisi tertentu (latar belakang pekerja film aktif ataupun tidak). Maka, secara statistik, probabilitas mendapatkan film-film unggulan dan pemenang mendekati "akurat". Hanya Oscar satu-satunya festival film besar di dunia yang menggunakan sistem voting. Film Festival Cannes, Venice, Sundance, Berlin, hingga Busan tak menggunakan sistem ini.

Film (baca: FFI) adalah salah satu instrumen strategi kebudayaan, maka gagasannya harus dirumuskan dan bisa diimplementasikan dengan sistem seleksi serta penjurian yang tepat. Ditentukanlah agenda besar festival dan pada titik mana yang diberatkan: estetika, geopolitik, atau bisnis? (Kenneth Turan, 2002), sebagaimana festival-festival bagus di dunia telah menetapkan arah dan tujuan festivalnya. Oscar berfokus pada aspek bisnis dan geopolitik, Cannes pada aspek estetika dan geopolitik.

Sulit menjaga agenda besar FFI bila seleksi dilakukan dengan sistem voting seperti saat ini. Tahun lalu ada 75 juri dan tahun ini seratusan lebih. Tapi tak ada argumentasi, tak ada wacana dan musyawarah. Yang ada hanya suka atau tidak suka melalui voting. Sungguh aneh, film sebagai produk seni-budaya di-voting dalam penilaian.

Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, yang digelar untuk memajukan kebudayaan, sedang berlangsung. Ada beberapa isu pokok di sana. Salah satunya adalah identitas primordial dan sentimen sektarian. Alangkah baiknya FFI merespons hal itu sebagai agenda besar festival dan mengimplementasikannya dengan baik. Strategi kebudayaan, sebaik apa pun, bila tak direspons dan diimplemantasikan pada semua lini kebudayaan, termasuk FFI, akan menjadi seonggok kertas yang sia-sia. Jika FFI tidak mau ambil bagian dalam pemajuan kebudayaan, monggo jalankan terus sistem penjurian model voting itu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus