Kekuasaan yang lucu bukanlah kekuasaan. Sang raja tak bisa merangkap sebagai si badut. Tapi, pada saat yang sama, kita butuh komedi. Sebab itulah para pangeran Pandawa punya Semar-Gareng-Petruk.
Si jenaka, sebagai satu kutub lain dari si kuasa, agaknya merupakan fenomena politik yang punya sejarah yang begitu panjang, hingga saya berpikir jangan-jangan keduanya tak terpisahkan: ada yang menggelikan pada kekuasaan, dan ada kekuasaan yang muncul dari mulut badut-badut.
Tahun 1969 seorang aktor dan dramawan Italia, Dario Fo—kemudian ia mendapatkan Hadiah Nobel untuk kesusastraan tahun 1997—berkeliling Italia membawakan karya-karya pendek, mistero buffo (misteri jenaka), semacam adaptasi atas teks Zaman Pertengahan, lakon-lakon yang beratus-ratus tahun yang lalu diperankan oleh para giullari. Antara abad ke-4 dan ke-15 itu seorang giullare biasa muncul di jalan-jalan kota dan berkisah kepada penduduk tentang keadaan buruk hidup mereka, meneruskan tradisi teater rakyat lama yang tampil ganjil dan lucu, membawakan "misteri": sebuah lakon, sebuah kisah agama, sebuah pertunjukan.
Dalam Mistero Buffo yang dibawa oleh Dario Fo, kisah keagamaan Kristen dihidangkan lagi, tetapi Fo adalah seorang komunis (sampai ia meninggalkan partai ini tahun 1970) dan tentu saja tafsirnya sama sekali berbeda.
Konon, demikian Fo bercerita, di Zaman Pertengahan itu, setiap Desember orang menyelenggarakan keramaian selama 8 sampai 11 hari. Di akhir karnaval itu penduduk yang jelata ramai-ramai memasuki gereja. Di transeptum sang uskup berdiri. Ia akan melepaskan pakaian kebesarannya dan memberikannya kepada si giullare utama. Pelawak ini kemudian naik ke mimbar dan menirukan gaya sang uskup berkhotbah. Bukan hanya gerak khas pembesar gereja itu yang ditirukan, tapi juga isi wejangannya. Mistifikasi kekuasaan pun dicopot. Apa yang angker dan anggun menjadi lumrah dan akrab. Barangkali pada saat itu semacam pertalian kembali terjadi antara yang memegang kuasa dan orang jalanan yang kumuh.
Tapi dari teks Dario Fo kita tak tahu, seberapa jauh ada perkenan yang suka rela dari Gereja terhadap satire yang dibuat dalam karnaval itu. Yang disebutkan ialah bahwa tahun 1466, Gereja mengeluarkan sebuah larangan: jemaah tak boleh lagi ikut serta dalam mistero buffo. Penjelasannya tak sulit dicari. Tahun 1465 di Kota Antwerp, Belgia, ada sebuah mistero yang menyajikan adegan penyaliban. Di sebelah sini ada seorang aktor yang memerankan Yesus. Di sebelah sana ada dua penjahat. Ke tengah kerumunan penonton itu seorang juru seru berteriak: "Siapa di antara ketiga orang ini yang kalian ingin salibkan?" Jawab penonton, menderu: "Jean Gloughert!" Nama itu adalah nama Pak Wali Kota.
Di Paris lain lagi. Sebuah adegan penyaliban dipanggungkan di Place du Louvre. Di sebelah sini ada pemeran Yesus. Ada juga Ponsius Pilatus, konsul Romawi yang menguasai tanah Palestina itu, yang siap dengan botol air untuk mencuci tangannya. Di sebelah sana ada aktor yang memerankan dua uskup. Ya, uskup Katolik, bukan para pembesar agama Yahudi. Mereka inilah yang meminta agar Kristus disalibkan. Bagi Fo, ini sebuah sindiran yang paling kentara terhadap hierarki Gereja waktu itu, dan dari dia kita mendengar bahwa kisah mistero buffo memang sering berisikan protes sosial yang mendekati "murtad".
Ada sebuah cerita yang menghadirkan Daud, yang setelah minum-minum memperolok-olok siapa saja. Di sini Tuhan seakan-akan digambarkan sebagai sosok yang memilih dengan sesuka hati orang yang akan diberinya kekuasaan atau tanah, atau sebaliknya, diberi nasib buruk dan nista. "Kalau kalian mengeluh!" demikian ancaman Tuhan sebagaimana dikutip oleh pemeran Daud, "aku akan lempar kalian masuk Neraka!".
Itulah sebabnya, kata Fo, Paus akhirnya melarang mistero buffo. Ketika seorang giullare asal Jerman, Hans Holden, mencoba untuk terus, ia ditangkap. Peradilan Gereja memerintahkan membakarnya sampai mati.
Dalam pemaparan Dario Fo, para pembesar Gereja—seperti halnya Tuhan Bapa—mewakili kekuasaan yang harus ditentang (dan ditertawakan, tentu saja dengan ketawa yang getir). Sementara itu, seperti dalam tradisi rakyat dari abad ke abad, Yesus adalah sang pembebas yang diunggulkan. Ia ditampilkan sebagai yang berdiri di pihak yang miskin, yang berdosa, bahkan yang pemabuk. Dario Fo menyamakan Yesus dengan Dionysus, dewa Yunani 15 abad sebelum Masehi. "Dikisahkan bahwa ia begitu mencintai umat manusia," demikian Fo bercerita, "sehingga ketika ada setan yang hendak mencuri musim semi dan membawanya ke neraka agar bisa ia nikmati sendiri, Dionysius memutuskan untuk mengorbankan diri untuk manusia: ia naik seekor keledai, turun ke neraka, dan membayar dengan nyawanya sendiri agar manusia tetap kembali memiliki musim semi." Bagi Fo, Yesus seperti itu: ia berkorban. Dan seperti dalam cerita tentang pernikahan di Kota Kana, Yesus menciptakan anggur yang berlimpah dari air. Ada padanya jejak Bacchus, kata Fo, dewa yang riang dan bisa riuh.
Mungkin itulah oposisinya: kekuasaan di satu pihak dan sikap riang dan riuh di lain pihak. Dalam lakonnya yang sudah diterjemahkan lengkap ke dalam bahasa Indonesia dalam Majalah Kalam, (Edisi 12, 1998), Anarkis Itu Mati Kebetulan, para perwira polisi dipermainkan oleh seorang gila yang dengan cepat pandai menyamar menjadi hakim dan menjadi uskup. Dan di sini kita melihat bagaimana kekuasaan menjadi lucu, gila, dan sial, sementara yang sinting—yang riuh dan riang—menjadi berkuasa.
Kekuasaan memang lucu, gila, dan bisa sial, terutama ketika ia tak tahu lagi bahwa tidak semua orang dapat dikuasai dan dibuat percaya kepadanya. Tetapi sebaliknya yang jenaka hilang kejenakaannya ketika ia menjadi sadar bahwa ia bisa punya efek untuk mengubah perilaku. Ketika Dario Fo mengira komedi dan satire bisa dipakai sebagai sebuah instrumen yang ampuh untuk mengubah dunia, ia pun kehilangan yang lucu dalam ceritanya. Sang komedi pun jadi serius, dan jadi lucu justru dalam ketidaklucuannya—seperti para Presiden dan Raja yang pongah dan pada saat itu menjadi menggelikan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini