TOKO buku itu sekarang sudah jadi arang. Pada masa lalu, di etalase di sebelah kiri pintu masuk, para pengunjung toko itu akan melihat sebuah replika patung The Thinker berukuran tubuh manusia, yang dikelilingi buku-buku beraneka judul yang terserak. Ketika krisis ekonomi menghantam, toko itu tutup. Lalu ketika kerusuhan Mei mengguncang Jakarta, lokasi toko buku itu, gedung Slipi Plaza, hangus dibakar massa. Toko Buku Grafiti, nama toko buku itu, ikut hancur menjadi arang.
Apakah itu gambaran industri buku di Indonesia? Semoga saja tidak. Paling tidak, meski para penerbit yang terhimpun dalam Simposium Buku ''Meningkatkan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia" yang diselenggarakan Yayasan Obor dua pekan silam tampak pesimistis dengan bisnis yang mereka geluti, buku—karena ia sebuah produk intelektual (yang menjadi salah satu bahan kebutuhan pokok rohani)—harus jalan terus. Maka, para penerbit pun membandingkan catatan. Bagaimana dengan kisah bisnis buku tuan rumah, Indonesia?
Industri buku di Indonesia saat ini ibarat kisah orang melarat yang jatuh miskin. Di masa ekonomi prakrisis moneter, industri buku memang bukan bisnis yang menggairahkan seperti perbankan atau manufaktur. Bisnis buku memiliki pasar yang sempit, peminat yang terbatas, dan belum pernah ada istilah boom untuk bisnis yang satu ini—sesuatu yang telah terjadi dalam dunia perbankan, asuransi, atau properti. Kini, setelah ekonomi remuk, industri buku juga ikut-ikutan ambruk: harga kertas naik, daya beli masyarakat anjlok, perusahaan penerbitan gulung tikar, dan buku-buku bermutu harganya selangit.
Fakta rontoknya industri buku di tanah air memang di depan mata. Arselan Harahap, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), memperkirakan dari 600 penerbit yang menjadi anggota asosiasi yang dipimpinnya, hanya 10 persen penerbit yang masih memproduksi buku baru. Sisanya, sebanyak 40 persen, hanya menjual stok lama dan mencetak ulang buku-buku yang memang masih diminati. Lalu, 20 persen lainnya menghentikan usahanya untuk sementara dan 30 persen lagi benar-benar banting setir ke bidang usaha lain. Itu baru penerbit yang terdata. Selebihnya, kondisinya mungkin lebih buruk lagi.
PT Pustaka Utama Grafiti mungkin salah satu contoh penerbitan yang harus menelan pil pahit bernama krisis ekonomi. Perusahaan yang banyak menerbitkan buku-buku bermutu seperti Zaman Bergerak karangan ilmuwan politik asal Jepang Takashi Shiraishi atau novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini mulai tahun lalu harus ''tutup toko," meski secara administratif penerbit ini masih ada. Toko Buku Grafiti, milik perusahaan ini yang dulu masih bisa ditemukan di Slipi, Depok, Kelapagading, atau Pasar Seni Ancol, kini tinggal kenangan. Karyawan terpaksa dirumahkan, kecuali beberapa staf pemasaran yang bertugas menjual stok lama. Padahal kinerja Grafiti sebelumnya lumayan bagus. Setahun, ia menerbitkan 20-24 judul buku dengan tiras 5.000 eksemplar tiap kali cetak. Memang, tidak semua buku laris manis, tapi menerbitkan buku sekualitas karya Shiraishi tentu prestasi tersendiri.
Kalau ada yang ambruk, tentu ada yang selamat. Perusahaan yang mujur ini, misalnya, adalah Gramedia Pustaka Utama, penerbit raksasa di bawah bendera kelompok Kompas Gramedia. Krisis ekonomi hanya menjadikan perusahaan ini menurunkan produksi sebanyak 20-30 persen saja. Namun jumlah buku yang dicetak masih sangat mengagumkan, yakni sekitar 2,5 sampai 3 juta eksemplar buku per tahun.
Apa rahasia Gramedia? Modal yang kuat tentu saja adalah kunci nomor satu. Selain itu, dalam dunia perbukuan, Gramedia memang bukan anak kemarin sore. ''Kami juga menunda proyek-proyek yang idealis," kata Gabriel Sugiyanto, Direktur Gramedia. Maksudnya, penerbit yang memiliki banyak anak perusahaan ini mengganti buku-buku ''berat" dan sulit diterima pasar dengan buku-buku cepat yang ringan dan murah sehingga terjangkau konsumen berkantong cekak, di antaranya buku-buku yang bertema reformasi. Selain itu, Gramedia juga mengembangkan buku-buku terjemahan ringan yang di negeri asalnya sudah terbukti best seller, misalnya buku berisi tips atau pencerahan semacam serial Chicken Soup for the Soul.
Penerbitan buku cepat memang solusi yang ampuh untuk selamat dari jeratan krisis ekonomi. Di Thailand, negeri Asia yang ekonominya juga dikepruk krisis, industri bukunya terbukti bisa selamat. Menurut Phiangduean Paweenawath, seorang penerjemah buku di Negeri Gajah Putih itu, trik yang dipakai penerbit, ya, menjual buku cepat. Padahal kenaikan ongkos produksi mendongkrak harga buku menjadi lebih dari 10 kali lipat. Meski demikian, buku-buku ringan seperti buku tentang kesehatan, agama (terutama Buddha), dan horoskop, tetap laris bak kacang goreng. Sebuah buku karangan Dr. Satis Intarakamhaeng tentang pengalaman pribadinya berperang melawan kanker mampu terjual 200 ribu kopi pada 1998, justru pada saat ekonomi Thailand sedang remuk.
Lalu, betulkah penerbitan buku cepat merupakan satu-satunya solusi? Mungkin tidak juga. Bagi Parakitri Simbolon, Pimpinan Kepustakaan Populer Gramedia—sebuah penerbitan dalam grup Kompas—ketajaman penerbit mengendus buku-buku bagus yang diperkirakan bakal laris juga bisa menjadi solusi lain. Parakitri memberi contoh. Ketika novel Saman karangan Ayu Utami menang dalam lomba penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, ia merupakan penerbit pertama yang dengan serius meminta naskah itu agar diterbitkan perusahaannya. Hasilnya? Laris manis. Kurang dari setahun, Saman sudah dicetak ulang 11 kali. ''Penerbit tidak boleh hanya memilih (buku) yang memuaskan nafsu masyarakat saja," kata pengarang buku Menjadi Indonesia ini.
Tentu saja, tips ala Parakitri ini tidak bisa dijadikan patokan tunggal. Soalnya, seberapa banyak sih buku-buku bermutu dengan bahasa yang gampang dikunyah yang dihasilkan di negeri ini setiap tahun? Belum lagi, buku masih harus bersaing dengan televisi yang bisa menyihir penontonnya nongkrong di depan kotak kaca itu berjam-jam. Kalau sudah begini, alternatif buku cepat mungkin pilihan yang paling realistis. Lumayan, hitung-hitung menunggu badai krisis moneter berlalu.
Arif Zulkifli, Mustafa Ismail, Purwani Dyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini