Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Pembantaian Terakhir

Akhir pekan ini, pemerintah mengumumkan bank-bank yang akan ditutup. Sejumlah bank selamat dengan cara yang dramatis. Upaya habis-habisan ini tak menjamin kesehatan bank di masa datang. Akan ada likuidasi lanjutan.

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sangkakala kematian bank tengah disiapkan. Sepekan lagi, pemerintah akan menjatuhkan vonis: bank-bank yang tak layak hidup akan ditutup selama-lamanya. Menurut Presiden B.J. Habibie, jumlah bank yang akan dibredel mencapai 40-an atau 25 persen dari jumlah bank yang kini beroperasi. Jumlah ini memang bukan angka pasti. Proses pemilihan bank yang bakal ditebas dan dibiarkan hidup, hingga saat ini, masih berlangsung. Pada prinsipnya, setiap bank akan dilihat tingkat kecukupan modalnya atau capital adequacy ratio (CAR)-nya. Indikator ini diukur dari perbandingan modal dengan aset yang ditimbang menurut bobot risikonya. Bank akan selamat jika mereka memiliki tingkat CAR 4 persen. Artinya, aset (ditimbang menurut risikonya) tak lebih dari 25 kali modal. Bank-bank ini dikelompokkan dalam kategori A. Sedangkan bank kategori B (CAR antara minus 25 persen dan 4 persen) akan diuji apakah mampu memenuhi syarat-syarat untuk disuntik modal (lihat: Mereka yang Tersungkur). Jika tidak, mereka bakal dilibas. Daftar bank yang dibredel akan diperpanjang dengan bank-bank kategori C (dengan CAR di bawah minus 25 persen). Jika hingga akhir Februari bank-bank ini tak juga menambah modal, mereka dipastikan bakal masuk kotak. Berdasarkan hasil uji tuntas (due diligence) yang dilakukan auditor internasional, akhir tahun lalu, ada 41 bank yang kini masuk kategori C. Tapi dari jumlah itu, hingga 17 Februari lalu, tinggal 16 bank yang berada dalam posisi bahaya. Selebihnya, konon, sudah berbondong-bondong masuk ke kelompok B, dengan pelbagai cara yang dramatis. Salah satu bank yang bakal lolos vonis maut dengan cara dramatis adalah Bank Nusa Nasional (BNN). Berdasarkan hasil uji tuntas, bank milik konglomerasi Bakrie ini sebenarnya nongkrong di kategori C, dengan CAR minus 210 persen. Artinya, modal BNN sudah bolong menjadi lubang menganga superbesar. Jika aset-tertimbang-menurut risiko BNN senilai Rp 2,4 triliun, itu berarti modal BNN sudah minus Rp 4,9 triliun. Menurut para analis, untuk mendongkrak BNN agar menjadi bank dengan tingkat modal yang cukup, para pemiliknya harus menambahkan modal Rp 5 triliun lebih. Untuk bank yang cuma menyerap dana masyarakat sebanyak Rp 2,9 triliun, suntikan modal sebesar itu merupakan tugas mahaberat. Jika pertimbangannya sekadar bisnis murni, sebenarnya akan lebih gampang bagi Bakrie untuk merelakan BNN ditutup pemerintah. Tapi beberapa pekan menjelang pengumuman likuidasi bank, BNN tiba-tiba menyelonong masuk kategori B. Catatan CAR-nya sudah berubah dengan amat fantastis: 24,5 persen. Bagaimana caranya? Tak ada jalan lain, lompatan setinggi itu hanya bisa dicapai dengan suntikan modal. Untuk melenting setinggi itu, para analis menaksir, BNN telah disuntik modal baru lebih dari Rp 4 triliun. La, dari mana duitnya? Apakah kelompok Bakrie sebagai penguasa BNN punya dana sebesar itu? Bagi orang Timur, pertanyaan seperti ini sebenarnya terdengar kurang pantas. Tapi apa boleh buat. Bukannya mau meremehkan, menurut kalangan pasar uang, bulan-bulan ini Bakrie tak cukup likuid, tak punya cukup doku, untuk menyuntik modal sebanyak itu. Jual kekayaan? Memang betul, belum lama ini Bakrie menjual sahamnya di proyek satelit global Iridum. Tapi uangnya sudah terpakai untuk menomboki utang di Bakrie & Brothers. Utang lagi? Kalau dari sumber-sumber komersial, mestinya sulit diperoleh. Untuk pinjaman yang ada saja, Bakrie tak bisa bayar. Akhir Januari lalu, Bakrie mengajukan permohonan keringanan pembayaran pinjaman kepada para krediturnya di luar negeri. Bakrie ingin utangnya yang berjumlah US$ 1,15 miliar bisa dibayar dengan saham mereka di anak-anak perusahaan Bakrie & Brothers. Kendati sudah disetujui konsultan keuangan Bakrie, sampai saat ini, usulan itu belum disetujui semua kreditur. Lalu? Isu pun merebak. Dari internet terbetik kabar, Bakrie mendapat kasbon dari Menteri Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil/Menengah, Adi Sasono. Bagaimana bentuk dana talangan ini, apakah utang atau jual beli saham, memang tak jelas. Tapi, disebutkan, Adi memasok dana sampai Rp 1,5 triliun. Uang ini, kabarnya, berasal dari dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Bahkan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Faisal Basri, seperti dikutip Padang Ekspres, mengatakan bahwa ia mendengar Presiden Habibie sendiri yang membuat memo agar Menteri Adi mengedrop dana triliunan ke BNN. Benarkah? Pengurus Bank BNN membantah berita suntikan JPS itu. "Saya tak tahu dari mana munculnya cerita itu," kata Direktur Keuangan dan Perencanaan BNN, Rinaldi Buchari. Yang ia tahu, Bakrie cuma membutuhkan dana Rp 400 miliar agar bisa ikut program rekapitalisasi. Kalau ada dana Rp 2 triliun yang masuk ke BNN, "Bank kami sudah masuk kategori A," katanya. Menurut Buchari, dana penambahan modal BNN disediakan sendiri oleh Keluarga Bakrie melalui penjualan sejumlah aset real estate. Senada dengan Buchari, Menteri Adi serta-merta membantah. "Enggak ada," katanya, "Saya enggak terlibat soal begituan." Sebagai Menteri Koperasi, ia mengaku mengurusi soal yang kecil-kecil. Yang besar-besar seperti itu, "Urusan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia." Harus diakui, menarik hubungan tegas antara Menteri Adi yang bersemangat ekonomi rakyat dan bank yang punya cap konglomerat memang tidak mudah. Tapi, sulit juga dibantah, Kantor Departemen Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil/Menengah dengan BNN bukan tak ada hubungan. Dalam silaturahmi akbar Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) di Stadion Utama Senayan, Sabtu, 27 Februari lalu, ikut pula diteken prasasti kerja sama antara Menteri Adi dan BKMT untuk mengembangkan perekonomian rakyat kecil. Direktur Utama BNN, Odang K., aktif terlibat dalam acara itu. Juga jangan lupa, menurut pengakuan Odang, selama ini BNN merupakan bank yang aktif mengelola simpanan anggota majelis taklim, dan sebaliknya juga banyak menyalurkan kredit kepada mereka. Apakah injeksi Menteri Adi bukan tersalur lewat kredit kecil seperti ini? Tak ada jawaban yang meyakinkan. Tapi, yang pasti, BNN tak sendiri. Ada juga bank lain yang melakukan lompatan sejarah, sehingga modalnya tiba-tiba melonjak dahsyat. Salah satunya adalah Bank Bira. Bank yang getol menggelar sindikasi kredit internasional itu, menurut hasil audit, semula terpatok dalam kategori C, dengan CAR minus 123 persen. Untuk mendongkraknya menjadi bank dengan modal yang cukup (CAR 4 persen), para analis memperkirakan, Bira membutuhkan suntikan modal hampir Rp 4,4 triliun. Tapi, sejak Januari lalu, pengurus Bank Bira gencar mempromosikan kesehatan banknya lewat iklan di koran-koran. Katanya, bank papan tengah ini sudah masuk kelompok B, dengan tingkat CAR 24 persen. Menurut para analis perbankan, untuk mencapai tingkat modal setinggi itu, para pemegang saham Bank Bira harusnya sudah menyuntikkan dana segar sekitar Rp 2,5 triliun. Lalu kapan? Dari mana duitnya? Tak jelas benar. Pengurus Bank Bira memang mengakui ada sejumlah investor asing yang siap menambah modal ke bank ini. Tapi injeksi modal asing itu agaknya belum terjadi. Sebagai bank publik, Bira mestinya menerbitkan penawaran saham terbatas alias rights issue jika ingin menambah modal. Dan sampai hari ini, acara penambahan modal itu belum kedengaran. Lalu, bagaimana bisa modal Bira tiba-tiba membaik? Lagi-lagi tak ada jawaban yang meyakinkan. Cerita seperti ini masih bisa diperpanjang. Selain BNN dan Bira, bank papan tengah seperti Aspac dan Unibank juga memerlukan suntikan dana sampai ratusan miliar lebih dulu, sebelum bisa bergabung dalam bank-bank yang ikut rekapitalisasi. Kedua bank yang semula hidup dengan tingkat CAR di bawah minus 100 persen itu kini tiba-tiba berhasil masuk kelompok B. Orang pun bertanya-tanya: lalu bagaimana caranya bank-bank ini tiba-tiba memiliki modal yang cukup? Tak pernah jelas. Benarkah ada permainan uang sogok dalam proses likuidasi bank saat ini? Gubernur Bank Indonesia Sjahril Sabirin mengakui ada "pendekatan" yang dilakukan para pemilik bank untuk memperbaiki peringkatnya. "Lobi seperti itu wajar saja," katanya. Tapi ia menegaskan, rayuan pemilik bank itu tak akan menggoyahkan keputusan pemerintah dalam melikuidasi bank. Direktur BI, Subarjo Joyosumarto, orang yang paling bertanggung jawab dalam soal rekapitalisasi bank, dengan tegas membantah adanya kemungkinan permainan uang sogok. Menurut Subarjo, keputusan untuk merekapitalisasi atau melikuidasi bank melibatkan banyak instansi. Setidaknya ada tiga lembaga yang terlibat, yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selain itu, proses penelitiannya harus melalui jaringan yang panjang dan berjenjang. Sedikitnya ada empat tingkat pemeriksaan yang mereka lakukan, dari tingkat evaluasi (oleh tim yang beranggotakan pejabat eselon III ketiga lembaga itu) hingga konsultasi Menteri Keuangan dan Gubernur BI dengan Presiden Habibie (lihat: Subarjo Joyosumarto: "Jangan Khawatir?"). Kalau memang dijamin bebas korupsi, lalu bagaimana bisa para pemilik bank menambah modal triliunan rupiah dalam tempo sekejap? Mungkin saja gertakan likuidasi bank ini mendorong para pemilik bank habis-habisan mencairkan simpanan "tersembunyi" yang mereka miliki. Termasuk jika mereka punya tabungan tersembunyi di luar negeri. Tapi seorang analis perbankan tak yakin para bankir mau berkorban seperti itu?kecuali jika banknya begitu berharga. Ia cenderung yakin para bankir ini tak punya uang. Bahwa kemudian bank-bank ini modalnya melonjak, itu berkaitan dengan perubahan tata cara audit. Semula, jumlah dana pencadangan untuk penghapusan kredit macet (disebut dana provisi) dikalkulasi berdasarkan tingkat kegawatan kemacetan kredit, tanpa menghitung nilai agunan (kecuali jika jaminan itu berbentuk tunai alias cash collateral). Dengan perhitungan seperti ini, biaya yang diperlukan untuk pencadangan meledak. Modal bank tersedot habis untuk menambal provisi kredit. Akibatnya, CAR merosot hingga minus ratusan persen. Data ini sudah tersebar kepada publik. Padahal, belakangan, BI mengubah tata cara audit dengan memperhitungkan nilai agunan?apa pun bentuknya. Akibatnya, dana provisi yang wajib disediakan bank mengecil. Tekanan terhadap modal bank, otomatis, juga agak melonggar. Bank-bank kelihatan lebih "sehat" dari yang sebenarnya. Selain melalui perubahan tata cara audit, tambahan modal, menurut seorang pengamat pasar uang, bisa dilakukan dengan akrobat keuangan. Bagaimana caranya? Ada banyak jalan. Misalnya dengan menempatkan dana talangan yang bersifat amat sementara. Dana seperti ini bisa diperoleh dari pasar uang antarbank alias interbank-call-money. Pinjaman supersingkat (sering hanya semalam) ini bisa diperpanjang dengan kompensasi suku bunganya yang makin tinggi. Dan memang benar, dalam dua pekan terakhir ini, suku bunga pinjaman antarbank?terutama pinjaman kepada calon bank terlikuidasi?terus menanjak, dari 35 persen menjadi 60 persen. Dengan suku bunga setinggi itu pun, "Jarang ada bank yang mau meminjami mereka," kata seorang bankir swasta. Dana jangka pendek juga bisa diakali dari simpanan deposito raksasa yang digaet dari transaksi "di bawah meja". Deposito semacam ini biasanya disertai iming-iming suku bunga selangit. Agar tak masuk teropong bank sentral, dana pihak ketiga ini tak dicatatkan dalam pos kewajiban bank dalam neraca, tapi masuk sebagai pinjaman pemegang saham. Oleh pemilik bank, deposito ini untuk sementara bisa dipakai dulu. Tentu saja dana temporer ini berumur singkat. Dan karena itu, daya tahan bank-bank yang disuntik dengannya menjadi sangat ringkih. Apalagi bank-bank ini tak cukup hanya masuk kategori B. Mereka masih diwajibkan ikut program rekapitalisasi agar memenuhi tingkat minimum kecukupan modal (CAR 4 persen). Untuk itu, para pemilik harus menyetor lagi tambahan modal paling sedikit 20 persen dari kapital yang diperlukan. Kalau sumber duitnya tak benar-benar deras, kantong para pemilik bank bisa jebol menghadapi saringan kedua ini. Jadi, percuma saja mereka setengah mati mendongkrak banknya ke kategori B kalau tak punya cukup dana untuk melalui program rekapitalisasi. Celakanya, kalaupun mereka akhirnya berhasil masuk program rekapitalisasi, ikut disuntik modal pemerintah sebanyak 80 persen dari kebutuhan kapital, belum tentu mereka tetap survive. Upaya habis-habisan seperti itu pun akhirnya bakal kandas jika kondisi makroekonomi tak juga membaik. Seorang bankir asing mengingatkan, masa-masa setelah rekapitalisasi justru merupakan tantangan terberat bisnis perbankan. Dalam dua atau tiga tahun ke depan, menurut hitungannya, sektor rill tak juga siuman. Akibatnya, walaupun suku bunga sudah turun, bank tetap saja tak bisa menyalurkan kredit. Pilar bisnis bank sebagai perantara keuangan tak juga tumbuh. Ujung-ujungnya, pendapatan bank hanya akan bergantung pada bunga surat-surat berharga, yang?ironisnya?didominasi oleh obligasi pemerintah. Jika kupon obligasi ini tak bisa menyaingi suku bunga pasar, bank akan tetap beroperasi dengan merugi (negative spread). Ini akan merongrong modal bank dan, pada saatnya nanti, bank perlu rekapitalisasi ulang. Begitu selamanya. Karena itu, Lin Che Wei berpendapat, kalau mau lurus, tak ada bank yang layak dipertahankan. Semua harus disapu bersih. Tapi, karena harus ada yang mesti survive, pilihan mestinya tak didasarkan melulu pada pertimbangan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah, tapi lebih pada kemampuan pemilik bank mempertahankan bisnis banknya dalam jangka panjang. Ini berarti pilihan likuidasi atau rekapitalisasi bukan hanya didasarkan pada kecukupan modal, tapi juga pada isi perut bank: potensi pencairan kredit macet, kemampuan manajemen menjalankan bisnis bank, keterkaitan bank dengan grup, reputasi tingkat pertumbuhan aset bank, dan sebagainya. Dengan CAR sebagai satu-satunya ukuran, rentetan likuidasi tak akan tertahankan?. Dwi Setyo, Agus S. Riyanto, Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus