DI panggung, kalau Tarzan Srimulat menembak Gepeng, yang
terakhir ini tak segera ambruk. "Lho! Kamu mati dong!" tegur
Tarzan. "Mati ya mati, tapi sabar deh ...." Ia mencopot baju
penatuannya, membersihkan lantai, baru berbaring pelan-pelan.
Mati bisa dikomedikan. Ciptakan berapa pun tokoh untuk dibunuh:
rileks dan ringan.
Alkisah, seorang kiai ingin memberantas takhayul. Sudah lama di
kampung sebelah orang mengeramatkan pohon keningar itu: jangan
ganggu ia, apalagi berani-berani menebangnya, nanti sang
mbahureksa marah dan kamu mampus!
Tapi sang kiai mengutus seorang santri yang sudah cukup 'ngelmu'
untuk menumbangkannya. "Insyaallah beres!" - dan santri pun maju
dengan agak emetar. Disaksikan banyak orang yapg takut dan
setengah mengutuk, pohon pun KO. Dan Mas Santri terjerembab.
Lenyap nyawanya. Orang ribut, santri-santri lain lapor ke Kiai.
Yang dilapori hanya manggut-manggut. Ia bertandang, memandangi
jenazah, dan berkata, "Ia mati cuma sejenak, setimpal dengan
sisa ketidak yakinannya akan kuasa Allah." Kemudian komat-kamit
mulutnya membaca ayat Kitab Suci. Ia merogoh kantungnya,
mengambil nyawa Mas Santri - yang dititipkan malaikat kepadanya
kemudian mengembalikannya kepada yan berhak. Dan Mas Santri
menggeliat, bangkit perlahan-lahan. Ini komedi yang agak lebih
serius.
Yang pasti, orang bisa rileks dan ringan hanya terhadap kematian
orang lain tidak kematiannya sendiri. Dalam kasus lain lagi,
orang membunuh orang lain barangkali karena kematian besar
manfaatnya bagi kehidupan. Bayangkan, kalau sejak Adam orang tak
mati. Maka distribusi kematian layak kita syukuri. Tapi,
sesungguhnya, kapankah kita sah menjadi agen distributor
kematian?
Abad ke-20 bersikap sopan kepada Tuhan dengan pembatasan
kelahiran, sehingga tak perlu kita selenggarakan pembunuhan
besar-besaran. Tetapi saham kita dalam distribusi kematian,
akhir-akhir ini, meningkat pesat. Apa legalitas kita
sesunguhnya? Rakyat sendiri menjadi rileks dan ringan. Kematian
menjadi makin populer. Ia toh diperlukan demi kehidupan bersama.
Orang toh harus mati - meskipun kalau bisa jangan kita,
keluarga, atau sahabat kita.
Pun, alhamdulillah, sekarang ada kemajuan: sahabat-sahabat kita
yang tahu persis akan mati, juga bisa rileks. Malam itu, ia
berkata "Pak, saya dibunuh di sini saja - supaya istri saya tak
terlalu repot ngurus dan cari biaya." Itu usaha ekonomis
terakhir dalam hidupnya.
Di desa saya, juga kebanyakan desa lain, tiap malam orang
berjaga-jaga sambil ngobrol atau main gaple: jangan sampai
ketiban sampur. Artinya: mayat itu jangan dibuang di desa kami
nanti repot, butuh biaya. Lantas ada kompromi: glangsing yang
libuang itu, dikasih uang saku di kantungnya. Tapi honorarium
itu bisa hilang juga, sebab setiap orang rileks dan ringan.
Penduduk di pucuk Tenger takut setengah modar pada situasi
yang mereka tak paham alif bengkong-nya ini: cari kayu jangan
jauh-jauh masuk hutan, nanti ketemu malaikat kontemporer.
Sementara pemilik toko di kota malah bisa order glangsing -
dengan rileks dan ringan.
Doa kita tak lain hanyalah, semoga para calon glansing bisa
seperti Gepeng di panggung: mempersiapkan matinya baik-baik
dengan rileks dan ringan. Kiai-kiai di daerah saya berpolemik
soal Jumatan itu pengganti lohor atau bukan. Yang satu bilang
sehabis Jumatan tetap wajib salat lohor, lainnya setengah
main-main bilang, "Ini arek kok macem-macem. Minta diglangsing
apa gimana!" dengan rileks dan ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini