Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sabang, kilometer 0 indonesia

Tentang keadaan kota sabang dan sekitarnya. statusnya sebagai pelabuhan bebas tak jelas, malah membuat walikotanya tergelincir. (pan)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA dimulai dari Sabang. Mungkin karena itu, wali kota Sabang, Yusuf Walad, yang sejak Kamis pekan lalu dihadapkan ke pengadilan, pernah mendirikan "Tugu Km 0 Indonesia". Sayang, tugu yang terletak 23 km di selatan Kota Sabang itu sampai sekarang belum diresmikan. Wilayah Indonesia paling barat itu secara administratif sejak 1965 berstatus kotamadya. Tapi berbeda dengan kotamadya umumnya, Kotamadya Sabang mewilayahkan seluruh Pulau Weh, berikut tiga pulau kecil di sekitarnya: Seulakee, Rubia, dan Klah. Wilayah yang disebut kota hanya sebaian kecil, yaitu berupa dataran rendah sekitar 12 km2 dari luas seluruhnya 154 km2. Karena itu, di Sabang yang seluruhnya berpenduduk 24.000 jiwa itu tak mungkin ada becak. Kendaraan umum satu-satunya adalah taksi dengan tarif Rp 1.000 per penumpang untuk jarak jauh-dekat. Jalan-jalan yang tidak seluruhnya beraspal dilalui kuran dari 500 mobil dan sekitar 1.300 sepeda motor. Kotamadya Sabang dengan empat pulau itu termasuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Predikat Sabang sebagai pelabuhan bebas sebenarnya dimulai ketika Belanda membangun dermaga besar-besaran tahun 1896. Saat itu, Sabang merupakan pelabuhan internasional yang cukup sibuk, lebih dari 20 kapal asing mendarat setiap hari. Di abad ke-19 itu, Sabang merupakan pela-buhan penting di Asia. Riwayat pelabuhan bebas itu lenyap ketika Jepang masuk, 1942. Pelabuhan telantar. Ketika Jepang takluk, Belanda menyatakan daerah itu tetap sebagai pelabuhan bebas tanpa membenahinya. Statusnya di pelayaran internasional menjadi tak jelas, sampai Belanda ankat kaki. Gagasan perlunya pelabuhan bebas muncul lagi tahun 1963, diawali survei oleh Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Meletusnya konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan gagasan itu langsung mendapat dukungan. Melalui Penpres No. 10 tahun 1963, secara resmi Sabang meraih kembali predikat yang telah lama hilang: pelabuhan bebas. Ketetapan ini dikukuhkan dengan lahirnya UU No. 3 & 4 tahun 1970. Undan-undang ini tak hanya menyebut Sabang sebagai pelabuhan bebas yang berperan sebagai kota transito ekspor dan impor. Juga dinyatakan, Sabang (dalam pengertian seluruh wilayah kotamadya) sebagai kota industri, pariwisata, dan pusat perbelanjaan. Pokoknya, Sabang akan dijadikan Singapuranya Indonesia. Untuk menangani itu, dibentuk Dewan Daerah Perdaganan dan Pelabuhan Bebas Sabang (disingkat Dewan Daerah). Sebagai peraksana Dewan Daerah, dibentuk Badan Pengusahaan Daerah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPDPPBS) yang dipimpin seorang administrator sebagai pengelola. Ternyata, peraturan pelaksanaan UU No. 3 & 4 tahun 1970 belum ada sampai sekarang. Walhasil, para investor ragu menanamkan modal. Yan sudah diatur hanyalah arus impor ke daerah pabean di Indonesia, SK Dewan Daerah No. 71 tahun 1982. Berdasarkan dua undang-undang tadi, pemerintah daerah Sabang ingin menjadikan kawasan Sabang sebagai pusat wisata di ujung barat Indonesia. "Sabang 'kan lebih moderat," kata Yusuf Walad, wali kota Sabang waktu itu. Tamasya laut berupa taman laut dibenahi Yusuf Walad. Termasuk usaha Yusuf Walad mendirikan tugu tadi. Tapi belum semua hasilnya dapat dinikmati, Yusuf walad sudah tergelincir - justru karena beberapa proyeknya itu. Banyak orang di Sabang menilai, tergelincirnya Yusuf Walad akibat belum adanya peraturan pelaksanaan UU No. 3 & 4 tahun 1970 itu. Terutama menyankut penetapan pembagian pajak negara akibat berlakunya pelabuhan bebas di Sabang. Pajak itu banyak juga, sampai Rp 100 juta setahun, antara lain lewat retribusi arus barang ke pabean Indonesia yang pungutannya 50% dari bea masuk. Karena peraturan pelaksana belum ada, tak jelas berapa besar jatah pemerintah daerah, sementara pemungut pajak dan pemegang uangnya adalah pemerintah daerah. Dan Yusuf Walad memakai uang itu. "Nanti 'kan bisa diperhitungkan, masakan kita harus ibarat ayam yang mati di lumbung padi," kata Yusuf Walad awal Agustus, saat ia dicopot dari jabatannya. Barangkali memang Sabang sejak dulu bernasib malang. Pada zaman Kerajaan Aceh, orang-orang hukuman "dipindahkan" ke pulau tanpa penghuni di seberang Aceh. Memindahkan dalam bahasa Aceh adalah geupeu-weh. Pulau itu pun disebut Pulau Weh. Sedang tempat orang hukuman tinggal berasal dari kata saban, yang berarti keterikatan karena persamaan nasib. Lama-lama jadilah sabang. Pulau Klah, yang terletak di Teluk Sabang yang indah, tahun 1968 dijadikan sarang kasino dan dilengkapi dengan "tempat bercinta". Ini sejalan dengan ide menjadikan Singapura-nya Indonesia. Namun, baru berjalan beberapa bulan, masyarakat Aceh memprotesnya. Kasino bubar. Gagasan yang cukup fantastis adalah mengekspor air ke Arab Saudi dari Sabang. Pemerintah daerah dan BPDPPBS menyambut baik gagasan ini. Adalah Danau Aneuek Laot yang hanya 4 km dari Kota Sabang akan dijadikan sumber air. Luas danau itu 5 km kali 0,5 km dengan kedalaman sekitar 40 meter. Air danau ini tak pernah susut walau di musim kering. Tapi rencana ini pun kandas tanpa sebab-sebab yang jelas. Yang pasti, "kebutuhan air bersih lokal saja gawat, jangankan mau ekspor," kata kepala Perusahaan Air Bersih Sabang. Nafsu besar menjadikan Sabang sebagai "Singapura kedua", menelantarkan masalah perkebunan. Pohon kelapa seluas lebih dari 1.000 hektar menghasilkan 850 ton kopra setahun. Cengkih yang sudah populer sejak tahun 1950-an, kini menghasilkan 800 ton setahun dari areal seluas 1.500 hektar - meskipun di sana tak ada Dinas Perkebunan. Petani di Sabang dianggap "masyarakat kelas dua". Yang paling terhormat sekaligus cepat kaya walaupun penuh risiko adalah pedagang cangkingan dengan menyelundup. Istilah di sini: jengek, singkatan dari jenggo ekonomi. Mereka ini berusaha meloloskan barang eks luar negeri dari Sabang ke daratan Aceh dengan seribu akal. Ulah jengek cukup berani. Melewati pintu Bea Cukai, mereka misalnya melilitkan permadani atau selimut luks eks luar negeri di tubuhnya, lalu ditutupi dengan sarung lusuh. Atau dijinjing dengan tas plastik besar. Walau jengek ini mudah dicurigai, dengan berbagai permainan bisa lolos. "Setiap kresek (tas plastik) yang lolos, oknum di sana menerima Rp 3.500," tutur seorang sumber TEMPO. Tentu saja, selain jengek, penyelundup kelas kakap juga beroperasi, terutama menggunakan kapal penangkap ikan. Sedangkan jengek menyeberang ke Aceh dengan empat kapal yang beroperasi dari pelabuhan Balohan, 29 km dari Sabang. Pengawasan oknum di pelabuhan yang kurang ketat dan berbagai gagasan yang kandas di Sabang menimbulkan banyak suara tak puas. "Sabang cuma besar dalam rasa tetapi kecil dalam fakta," kata Safrudin, 23 jebolan APDN Banda Aceh yang bekerja di kantor wali kota Sabang. Dia mengaku, satu-satunya kebanggaan jadi penduduk Sabang hanya ketika lagu perjuangan dari Barat sampai ke Timur diubah menjadi Dari Sabang sampai Merauke. Selebihnya tak ada apa-apa. Siaran TVRI tak mudah diterima di Sabang dan sekitarnya. Dengan antena tinggi, layar pesawat sering dimasuki bahasa Urdu dan Thailand, entah dari pemancar yang mana. Karena itu, video kaset menjadi laris apalagi gedung bioskop yan dua buah itu kini cuma sebuah yang lebih banyak memutar film India. Hubungan ke Sumatera, selain dengan empat kapal motor dari Pelabuhan Sabang dan Balohan, juga bisa lewat udara. Lapangan Cot Bak U terletak 2 km dari pusat Kota Sabang, milik TNI-AU, setiap hari disinggahi pesawat Dakota dan Twin Otter menghubungkan Pelabuhan Blang Bintang di Banda Aceh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus