INDONESIA dimulai dari Sabang. Mungkin karena itu, wali kota
Sabang, Yusuf Walad, yang sejak Kamis pekan lalu dihadapkan ke
pengadilan, pernah mendirikan "Tugu Km 0 Indonesia". Sayang,
tugu yang terletak 23 km di selatan Kota Sabang itu sampai
sekarang belum diresmikan.
Wilayah Indonesia paling barat itu secara administratif sejak
1965 berstatus kotamadya. Tapi berbeda dengan kotamadya umumnya,
Kotamadya Sabang mewilayahkan seluruh Pulau Weh, berikut tiga
pulau kecil di sekitarnya: Seulakee, Rubia, dan Klah. Wilayah
yang disebut kota hanya sebaian kecil, yaitu berupa dataran
rendah sekitar 12 km2 dari luas seluruhnya 154 km2.
Karena itu, di Sabang yang seluruhnya berpenduduk 24.000 jiwa
itu tak mungkin ada becak. Kendaraan umum satu-satunya adalah
taksi dengan tarif Rp 1.000 per penumpang untuk jarak
jauh-dekat. Jalan-jalan yang tidak seluruhnya beraspal dilalui
kuran dari 500 mobil dan sekitar 1.300 sepeda motor.
Kotamadya Sabang dengan empat pulau itu termasuk Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Predikat Sabang sebagai pelabuhan bebas
sebenarnya dimulai ketika Belanda membangun dermaga
besar-besaran tahun 1896. Saat itu, Sabang merupakan pelabuhan
internasional yang cukup sibuk, lebih dari 20 kapal asing
mendarat setiap hari.
Di abad ke-19 itu, Sabang merupakan pela-buhan penting di Asia.
Riwayat pelabuhan bebas itu lenyap ketika Jepang masuk, 1942.
Pelabuhan telantar. Ketika Jepang takluk, Belanda menyatakan
daerah itu tetap sebagai pelabuhan bebas tanpa membenahinya.
Statusnya di pelayaran internasional menjadi tak jelas, sampai
Belanda ankat kaki.
Gagasan perlunya pelabuhan bebas muncul lagi tahun 1963, diawali
survei oleh Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh. Meletusnya konfrontasi dengan Malaysia
menyebabkan gagasan itu langsung mendapat dukungan. Melalui
Penpres No. 10 tahun 1963, secara resmi Sabang meraih kembali
predikat yang telah lama hilang: pelabuhan bebas. Ketetapan ini
dikukuhkan dengan lahirnya UU No. 3 & 4 tahun 1970.
Undan-undang ini tak hanya menyebut Sabang sebagai pelabuhan
bebas yang berperan sebagai kota transito ekspor dan impor. Juga
dinyatakan, Sabang (dalam pengertian seluruh wilayah kotamadya)
sebagai kota industri, pariwisata, dan pusat perbelanjaan.
Pokoknya, Sabang akan dijadikan Singapuranya Indonesia. Untuk
menangani itu, dibentuk Dewan Daerah Perdaganan dan Pelabuhan
Bebas Sabang (disingkat Dewan Daerah). Sebagai peraksana Dewan
Daerah, dibentuk Badan Pengusahaan Daerah Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas Sabang (BPDPPBS) yang dipimpin seorang
administrator sebagai pengelola.
Ternyata, peraturan pelaksanaan UU No. 3 & 4 tahun 1970 belum
ada sampai sekarang. Walhasil, para investor ragu menanamkan
modal. Yan sudah diatur hanyalah arus impor ke daerah pabean di
Indonesia, SK Dewan Daerah No. 71 tahun 1982.
Berdasarkan dua undang-undang tadi, pemerintah daerah Sabang
ingin menjadikan kawasan Sabang sebagai pusat wisata di ujung
barat Indonesia. "Sabang 'kan lebih moderat," kata Yusuf Walad,
wali kota Sabang waktu itu.
Tamasya laut berupa taman laut dibenahi Yusuf Walad. Termasuk
usaha Yusuf Walad mendirikan tugu tadi. Tapi belum semua
hasilnya dapat dinikmati, Yusuf walad sudah tergelincir - justru
karena beberapa proyeknya itu.
Banyak orang di Sabang menilai, tergelincirnya Yusuf Walad
akibat belum adanya peraturan pelaksanaan UU No. 3 & 4 tahun
1970 itu. Terutama menyankut penetapan pembagian pajak negara
akibat berlakunya pelabuhan bebas di Sabang. Pajak itu banyak
juga, sampai Rp 100 juta setahun, antara lain lewat retribusi
arus barang ke pabean Indonesia yang pungutannya 50% dari bea
masuk. Karena peraturan pelaksana belum ada, tak jelas berapa
besar jatah pemerintah daerah, sementara pemungut pajak dan
pemegang uangnya adalah pemerintah daerah.
Dan Yusuf Walad memakai uang itu. "Nanti 'kan bisa
diperhitungkan, masakan kita harus ibarat ayam yang mati di
lumbung padi," kata Yusuf Walad awal Agustus, saat ia dicopot
dari jabatannya.
Barangkali memang Sabang sejak dulu bernasib malang. Pada zaman
Kerajaan Aceh, orang-orang hukuman "dipindahkan" ke pulau tanpa
penghuni di seberang Aceh. Memindahkan dalam bahasa Aceh adalah
geupeu-weh. Pulau itu pun disebut Pulau Weh. Sedang tempat orang
hukuman tinggal berasal dari kata saban, yang berarti
keterikatan karena persamaan nasib. Lama-lama jadilah sabang.
Pulau Klah, yang terletak di Teluk Sabang yang indah, tahun 1968
dijadikan sarang kasino dan dilengkapi dengan "tempat bercinta".
Ini sejalan dengan ide menjadikan Singapura-nya Indonesia.
Namun, baru berjalan beberapa bulan, masyarakat Aceh
memprotesnya. Kasino bubar.
Gagasan yang cukup fantastis adalah mengekspor air ke Arab Saudi
dari Sabang. Pemerintah daerah dan BPDPPBS menyambut baik
gagasan ini. Adalah Danau Aneuek Laot yang hanya 4 km dari Kota
Sabang akan dijadikan sumber air. Luas danau itu 5 km kali 0,5
km dengan kedalaman sekitar 40 meter. Air danau ini tak pernah
susut walau di musim kering. Tapi rencana ini pun kandas tanpa
sebab-sebab yang jelas. Yang pasti, "kebutuhan air bersih lokal
saja gawat, jangankan mau ekspor," kata kepala Perusahaan Air
Bersih Sabang.
Nafsu besar menjadikan Sabang sebagai "Singapura kedua",
menelantarkan masalah perkebunan. Pohon kelapa seluas lebih dari
1.000 hektar menghasilkan 850 ton kopra setahun. Cengkih yang
sudah populer sejak tahun 1950-an, kini menghasilkan 800 ton
setahun dari areal seluas 1.500 hektar - meskipun di sana tak
ada Dinas Perkebunan.
Petani di Sabang dianggap "masyarakat kelas dua". Yang paling
terhormat sekaligus cepat kaya walaupun penuh risiko adalah
pedagang cangkingan dengan menyelundup. Istilah di sini: jengek,
singkatan dari jenggo ekonomi. Mereka ini berusaha meloloskan
barang eks luar negeri dari Sabang ke daratan Aceh dengan seribu
akal.
Ulah jengek cukup berani. Melewati pintu Bea Cukai, mereka
misalnya melilitkan permadani atau selimut luks eks luar negeri
di tubuhnya, lalu ditutupi dengan sarung lusuh. Atau dijinjing
dengan tas plastik besar. Walau jengek ini mudah dicurigai,
dengan berbagai permainan bisa lolos. "Setiap kresek (tas
plastik) yang lolos, oknum di sana menerima Rp 3.500," tutur
seorang sumber TEMPO. Tentu saja, selain jengek, penyelundup
kelas kakap juga beroperasi, terutama menggunakan kapal
penangkap ikan. Sedangkan jengek menyeberang ke Aceh dengan
empat kapal yang beroperasi dari pelabuhan Balohan, 29 km dari
Sabang.
Pengawasan oknum di pelabuhan yang kurang ketat dan berbagai
gagasan yang kandas di Sabang menimbulkan banyak suara tak puas.
"Sabang cuma besar dalam rasa tetapi kecil dalam fakta," kata
Safrudin, 23 jebolan APDN Banda Aceh yang bekerja di kantor wali
kota Sabang. Dia mengaku, satu-satunya kebanggaan jadi penduduk
Sabang hanya ketika lagu perjuangan dari Barat sampai ke Timur
diubah menjadi Dari Sabang sampai Merauke. Selebihnya tak ada
apa-apa.
Siaran TVRI tak mudah diterima di Sabang dan sekitarnya. Dengan
antena tinggi, layar pesawat sering dimasuki bahasa Urdu dan
Thailand, entah dari pemancar yang mana. Karena itu, video kaset
menjadi laris apalagi gedung bioskop yan dua buah itu kini cuma
sebuah yang lebih banyak memutar film India.
Hubungan ke Sumatera, selain dengan empat kapal motor dari
Pelabuhan Sabang dan Balohan, juga bisa lewat udara. Lapangan
Cot Bak U terletak 2 km dari pusat Kota Sabang, milik TNI-AU,
setiap hari disinggahi pesawat Dakota dan Twin Otter
menghubungkan Pelabuhan Blang Bintang di Banda Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini