USMAR ISMAIL MENGUPAS FILM
Oleh: H. Usmar Ismail
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 232 halaman
INDUSTRI film nasional Indonesia, seperti diisyaratkan buku ini,
bermula pada sebuah oplet rongsokan yang bertolak dari Jakarta
ke Purwakarta. Penumpangnya Usmar Ismail dengan sejumlah crew
dan sebungkah besar semangat. Tidak ketinggalan Akeley, sebuah
kamera tua. Kalender waktu itu menunjukkan tanggal 30 Maret
1950, hari shooting pertama film Darah dan Doa, yang kemudian
ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Menyaksikan cara kerja Usmardi Purwakarta, banyak rekannya
geleng-geleng kepala. Tidak seorang percaya locatton macam
begitu akan membuahkan hasil. Sutradara perintis itu pun
menakui, meski dialah majikan, bukan berarti dapat berbuat
sekehendaknya. Lebih dulu harus diatasi banyak hambatan yang
timbul akibat keterbatasan modal tenaga ahli, dan peralatan.
Diceritakan bagaimana Usmar terpaksa memborong beberapa
pekerJaan: produser, sutradara, penuhs skenario, sopir, kuli,
penata rias, dan pencatat skrip. Dalam kedaaan semrawut itulah
dasar industri film nasional diletakkan.
Dan buku ini, dalam garis besarnya, berusaha memaparkan apa film
nasional itu khususnya perkembangan selama 20 tahun: 1950-1970.
Terbagi dalam lima bagian, yang dikelompokkan secara tematis,
kumpulan tulisan Usmar Ismail ini mencakup 24 topik: artikel,
naskah pidato, atau laoran perjalanan. Lancar dan mudah
dipahami, bentuk tulisan yang berbeda tidak menghalangi penulis
untuk menanalisa masalah apa saja yang singgah dalam
pemikirannya. Singkat kata, sesuai dengan Judul buku - Usmar
mengupas seluk-beluk perfilman. Dan ia melakukannya dengan
tangkas, dan acap kali cermat.
Kupasan Usmar jadi menarik karena mewakili sudut pandang seorang
profesional, dan bebas dari nafsu menggurui. Dengan kata lain,
ia, untuk tiap masalah, menggunakan pendekatan orang lapangan
yang tidak terkotak oleh teori dan tidak tercemar ilusi. Karena
itu, ia bisa menguraikan lika-liku pemasaran film (halaman
67-71) selancar membahas masalah seni peran (halaman 185- 191).
Di mata Usmar, aspek bisnis dan aspek kreativitas dari film
terlihat sama penting atau sama menentukan. Pengalamannya
membawa ia pada kesimpulan bahwa "produksi film adalah usaha
yang rajin banyak risikonya di antara semua usaha" - fakta
yang kebenarannya sampai kini belum terbantah. Sineas di Mesir
bahkan berani berkata bahwa usaha film, pertama-tama, harus
dilihat sebagai usaha yang merugi (halaman 212).
Apa kata Usmar tentang selera penonton? Jika kalangan kritisi
film berkampanye tentang perlunya "peningkatan selera penonton",
ia justru melihat selera itu sebagai diktator. "Melawan selera
penonton dengan membabi-buta niscaya akan mengakibatkan
kebangkrutan bagi si produser. Diktatoriat dari pihak penonton
inilah yang membikin produser jadi ubanan. Tambah lagi
diktatoriat itu adalah diktatoriat dari golongan makhluk yang
belum dewasa alam pikirannya" (halaman 65). Sekaligus terkesan
di sini bagaimana Usmar menghayati risiko finansial yang
mengancam kelangsungan produksi film, dan risiko artistik yang
mengancam kreativitas seniman film. Bisa dikatakan, kedua
ancaman itu lebih kongkret dirasakan Usmar ketimbang Teguh Karya
atau Sjumandjaja yang belakangan lebih leluasa mensgunakan pita
celluloid. Juga lebih "berkuasa" menentukan honorarium mereka.
Perihal sensor sulit bagi Usmar untuk tidak bicara sinis. Ia
sayangkan mengapa sensor bersikap lebih lunak terhadap film
impor - satu kebijaksanaan yang masih berlaku sekarang. Dan ia
protes terhadap tuntutan sensor yang terasa mencekik, itu.
Sutradara itu bertanya. "Genius mana yang dapat menciptakan film
bernilai, sedangkan tubuh diikat jiwanya? Saya belum pernah
beroleh kehormatan berkenalan dengan orang ajaib yang demikian."
Akibat sensor yang kelewat tajam menggunting filmnya (Darah dan
Doa dan Embun), sutradara itu bertukar haluan ke film hiburan.
Lahirlah box-office Perfini: Tiga Dara dan Krisis, - dua film
yang mendobrak bioskop kelas satu di Jakarta waktu itu. Dan
tiba-tiba saja Perfini, perusahaan milik Usmar, diperhitungkan
oleh booker dan pemilik bioskop. Sejak itu, sosok industri film
Indonesia mulai nyata, sesuatu yang tidak digembar-gemborkan
penulis dalam buku ini.
Sebagai Ferintis, Usmar tak luput dan tantangan politis
orang-orang Lekra, organ Partai Komunis Indonesia, dalam
Papfias. Terkesan bagaimana ia berapi-api menghadapi intimidasi
Lekra, sesuatu yang bisa dialami siapa saja di zaman itu. Tidak
heran bila buku ini menjadi lebih berwarna karena juga
mencerminkan gejolak perjuangan insan film dan pasang surut
politik di tanah air. Terasa pula romantika peruangan yang
sesewaktu mengeluh tentang "tubuh perfilman nasional yang
sakit-sakitan" tapi kemudian berkata, "revolusi jua harus
dicetuskan dan dikobarkan dalam perfilman.
Buku ini seakan peta perfilman Indonesia di masa awal yang berat
dan pahit. Dari isinya bisa diukur sudah berapa jauh industri
film negeri ini bergerak maju, atau mundur. Dalam mutu, film
Indonesia ternyata belum bergeser jauh dari karya-karya Usmar -
sebagian malah bisa dikategorikan sebagai film komersial
murahan.
Belum lagi segi pemasaran yang kian rumit, dan persaingan dengan
video yang semakin tajam. Dan industri film Indonesia kini belum
bisa menjawab apakah produksinya sanggup menjadi tuan rumah di
negerinya sendiri, sesuatu yang dicita-citakan Usmar sejak lama.
Di akhir hayatnya, terkesan bagaimana bapak film Indonesia itu
melihat titik cerah, satu masa depan yang mesti ditaklukkan.
Optimismenya memang mengharukan. Di samping kaya informasi dan
pengalaman, kumpulan tulisan ini masih memantulkan sesuatu yang
tidak tampak oleh mata. Sesuatu itu tak lain dari semangat
perintis yang pantang menyerah, yang makin sukar kita temukan
dalam diri insan film Indonesia dewasa ini.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini