Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Diktatoriat yang bikin ubanan

Pengarang: usmar ismail. jakarta: sinar harapan, 1983. resensi oleh: isma sawitri. (bk)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USMAR ISMAIL MENGUPAS FILM Oleh: H. Usmar Ismail Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 232 halaman INDUSTRI film nasional Indonesia, seperti diisyaratkan buku ini, bermula pada sebuah oplet rongsokan yang bertolak dari Jakarta ke Purwakarta. Penumpangnya Usmar Ismail dengan sejumlah crew dan sebungkah besar semangat. Tidak ketinggalan Akeley, sebuah kamera tua. Kalender waktu itu menunjukkan tanggal 30 Maret 1950, hari shooting pertama film Darah dan Doa, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Menyaksikan cara kerja Usmardi Purwakarta, banyak rekannya geleng-geleng kepala. Tidak seorang percaya locatton macam begitu akan membuahkan hasil. Sutradara perintis itu pun menakui, meski dialah majikan, bukan berarti dapat berbuat sekehendaknya. Lebih dulu harus diatasi banyak hambatan yang timbul akibat keterbatasan modal tenaga ahli, dan peralatan. Diceritakan bagaimana Usmar terpaksa memborong beberapa pekerJaan: produser, sutradara, penuhs skenario, sopir, kuli, penata rias, dan pencatat skrip. Dalam kedaaan semrawut itulah dasar industri film nasional diletakkan. Dan buku ini, dalam garis besarnya, berusaha memaparkan apa film nasional itu khususnya perkembangan selama 20 tahun: 1950-1970. Terbagi dalam lima bagian, yang dikelompokkan secara tematis, kumpulan tulisan Usmar Ismail ini mencakup 24 topik: artikel, naskah pidato, atau laoran perjalanan. Lancar dan mudah dipahami, bentuk tulisan yang berbeda tidak menghalangi penulis untuk menanalisa masalah apa saja yang singgah dalam pemikirannya. Singkat kata, sesuai dengan Judul buku - Usmar mengupas seluk-beluk perfilman. Dan ia melakukannya dengan tangkas, dan acap kali cermat. Kupasan Usmar jadi menarik karena mewakili sudut pandang seorang profesional, dan bebas dari nafsu menggurui. Dengan kata lain, ia, untuk tiap masalah, menggunakan pendekatan orang lapangan yang tidak terkotak oleh teori dan tidak tercemar ilusi. Karena itu, ia bisa menguraikan lika-liku pemasaran film (halaman 67-71) selancar membahas masalah seni peran (halaman 185- 191). Di mata Usmar, aspek bisnis dan aspek kreativitas dari film terlihat sama penting atau sama menentukan. Pengalamannya membawa ia pada kesimpulan bahwa "produksi film adalah usaha yang rajin banyak risikonya di antara semua usaha" - fakta yang kebenarannya sampai kini belum terbantah. Sineas di Mesir bahkan berani berkata bahwa usaha film, pertama-tama, harus dilihat sebagai usaha yang merugi (halaman 212). Apa kata Usmar tentang selera penonton? Jika kalangan kritisi film berkampanye tentang perlunya "peningkatan selera penonton", ia justru melihat selera itu sebagai diktator. "Melawan selera penonton dengan membabi-buta niscaya akan mengakibatkan kebangkrutan bagi si produser. Diktatoriat dari pihak penonton inilah yang membikin produser jadi ubanan. Tambah lagi diktatoriat itu adalah diktatoriat dari golongan makhluk yang belum dewasa alam pikirannya" (halaman 65). Sekaligus terkesan di sini bagaimana Usmar menghayati risiko finansial yang mengancam kelangsungan produksi film, dan risiko artistik yang mengancam kreativitas seniman film. Bisa dikatakan, kedua ancaman itu lebih kongkret dirasakan Usmar ketimbang Teguh Karya atau Sjumandjaja yang belakangan lebih leluasa mensgunakan pita celluloid. Juga lebih "berkuasa" menentukan honorarium mereka. Perihal sensor sulit bagi Usmar untuk tidak bicara sinis. Ia sayangkan mengapa sensor bersikap lebih lunak terhadap film impor - satu kebijaksanaan yang masih berlaku sekarang. Dan ia protes terhadap tuntutan sensor yang terasa mencekik, itu. Sutradara itu bertanya. "Genius mana yang dapat menciptakan film bernilai, sedangkan tubuh diikat jiwanya? Saya belum pernah beroleh kehormatan berkenalan dengan orang ajaib yang demikian." Akibat sensor yang kelewat tajam menggunting filmnya (Darah dan Doa dan Embun), sutradara itu bertukar haluan ke film hiburan. Lahirlah box-office Perfini: Tiga Dara dan Krisis, - dua film yang mendobrak bioskop kelas satu di Jakarta waktu itu. Dan tiba-tiba saja Perfini, perusahaan milik Usmar, diperhitungkan oleh booker dan pemilik bioskop. Sejak itu, sosok industri film Indonesia mulai nyata, sesuatu yang tidak digembar-gemborkan penulis dalam buku ini. Sebagai Ferintis, Usmar tak luput dan tantangan politis orang-orang Lekra, organ Partai Komunis Indonesia, dalam Papfias. Terkesan bagaimana ia berapi-api menghadapi intimidasi Lekra, sesuatu yang bisa dialami siapa saja di zaman itu. Tidak heran bila buku ini menjadi lebih berwarna karena juga mencerminkan gejolak perjuangan insan film dan pasang surut politik di tanah air. Terasa pula romantika peruangan yang sesewaktu mengeluh tentang "tubuh perfilman nasional yang sakit-sakitan" tapi kemudian berkata, "revolusi jua harus dicetuskan dan dikobarkan dalam perfilman. Buku ini seakan peta perfilman Indonesia di masa awal yang berat dan pahit. Dari isinya bisa diukur sudah berapa jauh industri film negeri ini bergerak maju, atau mundur. Dalam mutu, film Indonesia ternyata belum bergeser jauh dari karya-karya Usmar - sebagian malah bisa dikategorikan sebagai film komersial murahan. Belum lagi segi pemasaran yang kian rumit, dan persaingan dengan video yang semakin tajam. Dan industri film Indonesia kini belum bisa menjawab apakah produksinya sanggup menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, sesuatu yang dicita-citakan Usmar sejak lama. Di akhir hayatnya, terkesan bagaimana bapak film Indonesia itu melihat titik cerah, satu masa depan yang mesti ditaklukkan. Optimismenya memang mengharukan. Di samping kaya informasi dan pengalaman, kumpulan tulisan ini masih memantulkan sesuatu yang tidak tampak oleh mata. Sesuatu itu tak lain dari semangat perintis yang pantang menyerah, yang makin sukar kita temukan dalam diri insan film Indonesia dewasa ini. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus