Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Abu Cangkang Kapuk Pembunuh Jamur

9 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecamatan Kayen merupakan sentra penghasil kapuk di Pati, Jawa Tengah. Masyarakat menjadikan kapuk sebagai bahan bantal dan kasur. Sementara kulit buah kapuk dimanfaatkan sebagai bahan pembakaran batu bata dan genting, abu sisa pembakaran cangkang kapuk itu dibuang begitu saja.

Aprilliyani Sofa Marwaningtyaz, siswa kelas XII jurusan IPA SMA PGRI 2 Kayen, tak sengaja melihat abu kulit kapuk teronggok di rerumputan dan beberapa hari kemudian rumput mati. Padahal, saat dibuang, abu sudah dingin. Ia penasaran lalu meneliti hubungan antara abu kulit kapuk dan rumput yang mati. Bersama teman sekolahnya, Ika Puji Anggraeni, ia menjadikan abu kapuk sebagai bahan penelitian dengan guru pendamping Muhammad Rouf.

Aprilliyani dan Ika berasumsi, abu kulit kapuk dapat membunuh jamur dan jika digunakan berlebihan menyebabkan tanaman mati. Untuk memudahkan penelitian, abu kulit kapuk diekstraksi. Abu yang sudah diayak dilarutkan dalam air dengan rasio 1 : 2. Larutan dipanaskan hingga 60 derajat Celsius. Setelah larut, cairan disaring dengan kertas saring. Abu yang telah diekstraksi sehingga menjadi kristal itu disebut soda-Q.

Untuk diuji efektivitasnya, soda-Q dioleskan pada empat potong tempe. Sebagai pembanding, disediakan pula empat potong tempe tanpa diolesi soda-Q. Tiga hari kemudian tempe yang diolesi tak berjamur. Sedangkan pada tempe yang tak bersoda-Q, jamur berkembang menyelimuti tempe. "Kesimpulannya, abu kulit kapuk mampu membunuh jamur," kata Aprilliyani ketika ditemui Tempo, 4 Desember lalu.

Aprilliyani dan Ika ingin temuannya dapat diaplikasikan di bidang pertanian. Ia prihatin terhadap nasib petani cabai di Kayen yang sering merugi karena cabainya sering membusuk akibat serangan jamur.

Kedua pelajar ini berpikir bagaimana temuannya itu bisa menjadi pengusir jamur pada tanaman. "Formulanya harus dalam bentuk cair sehingga bisa disemprotkan," kata Aprilliyani.

Agar cairan bisa menempel pada tanaman, air harus mengandung sabun dengan konsentrasi 0,5 persen. Seliter air sabun dengan 10 gram soda-Q dianggap yang paling ideal.

Formula disemprotkan ke tanaman cabai pada usia 7 hari, 15 hari, 30 hari, 45 hari, 60 hari, 75 hari, dan 90 hari menjelang usia panen. Hasilnya, panen cabai pun maksimal, tak membusuk akibat jamur.

Hasil uji di laboratorium Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menunjukkan, larutan pembunuh jamur itu mengandung natrium hidroksida (NaOH) 26,28 persen, natrium karbonat (Na2Co3) 0,9 persen, dan kalium karbonat (K2CO3) 23,11 persen. "Ketiga senyawa itu memiliki sifat basa tinggi sehingga mampu membunuh jamur," kata Muhammad Rouf dari ITS.

Aprilliyani menyatakan formulanya lebih ramah lingkungan, murah, dan mudah diaplikasikan petani. Ramah lingkungan karena bersifat organik tanpa mengandung unsur kimia berbahaya. Berbeda dengan fungisida non-organik, yang bersifat karsinogen—dapat memicu kanker—serta membunuh organisme lain secara berlebihan.

Formula Aprilliyani relatif murah, karena harga abu kulit kapuk per karung di Kayen hanya Rp 2.000. Harga sebotol fungisida non-organik Rp 80 ribu untuk digunakan seperempat hektare tanaman cabai. Dengan formula itu, hanya dibutuhkan dua kilogram soda-Q, yang pembuatannya menghabiskan ongkos Rp 20 ribu.

Pada Oktober 2012, temuan ini diikutkan dalam Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta dengan judul "Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kapuk sebagai Bahan Utama Biopestisida". Penelitian dua siswi ini menjadi juara ketiga. Dewan juri menyarankan kata biopestisida diganti dengan biofungisida.

Pada 23-25 Oktober lalu, penelitian ini diikutkan dalam Mostra International de Ciencia e Tecnologia, Brasil, dengan judul "Utilization of Kapok Pods Waste as Biofungicide" (Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kapuk sebagai Bahan Utama Biofungisida). Penelitian ini meraih gelar juara pertama dan dinobatkan sebagai penelitian terbaik, mengalahkan peserta dari 32 negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus