Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2019, gombal belum punah. Politik boleh membara dan mendebarkan, tapi belum sanggup mengusir gombal dari lakon Indonesia mutakhir. Gombal mengingatkan kita pada Dilan dan Milea, dua tokoh dalam film berjudul Dilan 1990 dan Dilan 1991. Penonton mengingat Dilan, yang diperankan Iqbaal Ramadhan, sebagai lelaki yang mahir mengumbar kata-kata yang melenakan perasaan Milea. Sekian ucapan Dilan dikutip para lelaki untuk mendapatkan kekasih. Di pihak kaum perempuan, ucapan-ucapan Dilan mungkin dianggap sebagai rayuan gombal.
Dalam film Dilan 1990, rayuan gombal Dilan membuat penonton tertawa dan kagum. Tanggapan penonton bakal berbeda saat menonton film Dilan 1991. Dilan tak lagi seperti dalam film terdahulu. Kita mengutip resensi film di Media Indonesia, 3 Maret 2019: “Berbeda dari suasana film pertama yang lebih bertabur gombal karena pedekate Iqbaal ke Milea, film sekuel ini berbumbu konflik yang lebih serius.” Kita tak menemukan penulisan rayuan gombal. Pada 2019, gombal dibiarkan sendirian.
Orang yang berbahasa Jawa mungkin kaget membaca gombal tanpa dipasangkan dengan rayuan. Pengertian gombal di Jawa masih jauh dari asmara. Gombal itu berupa kain dan kondisi kemiskinan. Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939) memberi pengertian gombal sebagai sandangan sing lawas (busana yang sudah lama). Nggombal berarti mlarat banget (miskin sekali). Gombal belum ada urusan dengan asmara. Di Jawa, orang miskin biasa mengenakan gombal amoh—baju atau celana lama yang sudah sobek dan mendapat tambalan.
Pada 1950-an, gombal dari bahasa Jawa itu belum masuk Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1952) dan kamus-kamus bahasa Indonesia. Gombal cuma menghuni kamus bahasa Jawa. Tahun demi tahun berlalu, gombal mulai masuk kamus bahasa Indonesia dan memiliki arti tambahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), ada dua pengertian gombal: “kain yang sudah tua (sobek-sobek)” dan “bohong atau omong kosong”. Pengertian kedua dipasangkan dengan “rayuan”. Orang biasa menyebut rayuan gombal, bukan gombal saja, terhadap ucapan yang mengandung kebohongan atau omong kosong.
Pasangan itu mulai hilang. Resensi di Media Indonesia tak perlu menulis rayuan gombal, tapi cukup gombal. Pembaca diharapkan sudah mengetahui arti gombal di lakon asmara. Barangkali pilihan menulis gombal saja itu karena ingin irit. Ditinggalkan atau ditiadakannya rayuan belum dianggap mengacaukan makna.
Kita mampir dulu ke Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994) susunan Sutan Mohammad Zain dan J.S. Badudu. Rayuan gombal diartikan sebagai “rayuan (misalnya jejaka terhadap gadis) yang tidak bersungguh-sungguh, tidak bernilai, hanya untuk menipu”. Contoh penggunaannya dalam kalimat: “Rayuanmu itu rayuan gombal, tidak berpengaruh dan berarti bagiku.” Penulisan gombal saja harus dikembalikan ke arti “kain yang sudah tua, usang, dan robek-robek”. Orang mungkin malas menulis lengkap.
Kita telanjur mengetahui ada rayuan gombal dan rayuan maut. Rayuan diinginkan ada agar pengertiannya tak berantakan. Orang sudah mulai menulis gombal tanpa rayuan. Tapi sulit diterima jika rayuan maut ditulis maut saja.
Pada saat kita sibuk mengurusi gombal, rayuan gombal, dan rayuan maut, ada susulan ungkapan nggombalin. Kita menemukan nggombalin dalam Tempo edisi 4-10 Maret 2019, dengan berita utama mengenai rebutan suara dari kaum sarungan. Majalah ini memuat pula berita kecil bertokoh Haidar Bagir. Penulis buku-buku filsafat dan tasawuf itu diberitakan dalam perkara asmara, bukan perbukuan atau demokrasi.
Pegawai di perusahaan Haidar Bagir girang gara-gara buku dan perempuan. Pada suatu hari, ia meminta Haidar mencantumkan kata-kata di buku mengenai Jalaluddin Rumi karangan Haidar. Permintaan itu dipenuhi. Haidar pun menulis dengan referensi Rumi: “Aku memilih mencintaimu dalam diam, karena dalam diam tak ada penolakan.” Buku yang memuat kata-kata merayu yang bersumber dari puisi gubahan Jalaluddin Rumi itu diberikan si pegawai kepada perempuan idamannya.
Kalimat di buku itu terbukti manjur. Si pegawai berhasil melamar perempuan pujaannya. Mereka menikah pada 17 Februari 2019. Haidar Bagir mengatakan, “Saya diminta memberikan nasihat pernikahan untuk laki-laki itu, yang berhasil nggombalin memakai puisi Rumi.” Kita mendapat nggombalin, bukan cuma rayuan gombal atau gombal. Orang mudah mengartikan nggombalin sebagai rayuan yang tak harus mengandung kebohongan atau omong kosong. Lelaki itu merayu dengan kutipan dari puisi gubahan Rumi. Kita sungkan menuduh si lelaki itu berkata bohong atau omong kosong. Kita pun mengerti kalimat Rumi itu religius, mengarah ke Tuhan, bukan kalimat sembarangan demi asmara lelaki dan perempuan.
*) Kuncen Bilik Literasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo