Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INVESTIGASI majalah Tempo edisi 18-24 Maret 2019 mengungkap dampak proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru terhadap orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Para ahli menyebut orang utan ini sebagai spesies baru karena memiliki DNA dan morfologi yang berbeda dengan orang utan Sumatera yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser ataupun Suaka Margasatwa Siranggas. Di luar soal perdebatan tentang spesies baru orang utan Batang Toru karena kesimpulannya hanya didasari tiga sampel, hal yang lebih penting dibahas adalah program konservasi karena orang utan di ekosistem ini berada di ambang kepunahan.
Secara administratif, ekosistem Batang Toru berada di tiga kabupaten: Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara. Kawasan Batang Toru meliputi berbagai status hutan, yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi, dan area penggunaan lain. Sebagai peneliti di sini, saya merekomendasikan pendekatan lanskap untuk menentukan luas ekosistem ini karena secara definitif belum ada angka pasti. Jika dihitung dari batas jalan bagian barat (Padangsidempuan-Sibolga dan Tarutung) dan timur (Padangsidempuan-Sipirok-Sipagimbar-Sipahuran-Tarutung), luas ekosistem ini sekitar 275 ribu hektare. Area yang masih memiliki tutupan hutan alam baik diperkirakan 140 ribu hektare.
Tidak semua lanskap Batang Toru merupakan habitat orang utan. Sebaran habitat orang utan Tapanuli saat ini diperkirakan hanya tersisa di area seluas 134.431 hektare. Populasi tersebut telah terpisah menjadi tiga blok besar: blok I (timur) dengan luas sekitar 44.912 hektare, blok II (barat) 73.256 hektare, dan blok III (selatan) 20.267 hektare.
Habitat orang utan yang tersisa itu tidak lepas dari berbagai aktivitas manusia yang berdampak pada berkurangnya luas kawasan dan fragmentasi hutan serta mengisolasi habitat orang utan menjadi lebih kecil, terutama di area penggunaan lain. Proyek PLTA Batang Toru adalah salah satu aktivitas pembangunan di kawasan ekosistem ini, seperti ditulis majalah Tempo pada edisi tersebut. PLTA ini dibangun PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE).
Untuk membangun beragam fasilitas pembangkit, PT NSHE membuka lahan seluas 122 hektare, yakni untuk bendungan 60 hektare, pembukaan jalan tahap konstruksi 26,91 kilometer, base camp, lokasi quarry, dan lainnya. Benarkah aktivitas tersebut berdampak terhadap orang utan?
Pada dasarnya, aktivitas pembangunan, terutama melalui pembukaan lahan untuk berbagai prasarana ataupun operasi perusahaan, akan berdampak terhadap kehidupan satwa liar. Sejauh mana dampak tersebut merugikan satwa liar harus ditelaah secara menyeluruh. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memandang bahwa area untuk PLTA merupakan bagian dari lanskap Batang Toru.
Dari beberapa kajian ilmiah yang telah saya lakukan di ekosistem ini, saya menyimpulkan beberapa hal terkait dengan PLTA dan hubungannya dengan habitat orang utan.
1. Dari penelitian pada area yang akan dibuka PT NSHE dan sekitarnya pada 2017 (musim hujan) diperoleh dugaan kepadatan orang utan 0,41 individu per kilometer persegi dan pada 2018 (dominan kering) 0,35 individu per kilometer persegi. Data ini menunjukkan dalam 250-260 hektare ditemukan rata-rata satu-dua individu orang utan. Namun area tersebut bisa saja menjadi lintasan beberapa orang utan karena wilayah jelajah mereka biasanya tumpang-tindih.
2. Kepadatan populasi orang utan di sekitar area PT NSHE lebih rendah dibanding di hutan dataran tinggi, seperti di cagar alam Dolok Sibual-buali, yang rata-rata kepadatannya 0,53 individu per kilometer persegi; cagar alam Dolok Sipirok (0,47 individu per kilometer persegi); dan lokasi lain pada hutan primer di ketinggian 600-900 meter dari permukaan laut (1,02 individu per kilometer persegi).
3. Tumbuhan pakan pada tingkat tiang dan pohon di area PT NSHE hanya 46-49 persen yang sebagian besar merupakan jenis tanaman masyarakat, seperti durian, petai, aren, kemenyan, dan jengkol. Tumbuhan alami yang mendominasi umumnya jenis pionir seperti Macaranga sp.
4. Tinggi pohon sarang orang utan 8-17 meter. Hal ini mengindikasikan bahwa pohon-pohon yang menjadi sarang berada pada strata menengah. Sudah jarang ditemukan pohon yang termasuk strata A dengan ketinggian di atas 20 meter. Banyaknya sarang di bawah 10 meter merupakan strategi orang utan untuk memantau kehadiran predator, terutama manusia. Sebab, Sungai Batang Toru merupakan lokasi pengambilan ikan dan lahan pertanian bagi masyarakat Tapanuli sejak ratusan tahun lalu.
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa area pembangunan PLTA berada di habitat orang utan sehingga proyek ini akan berdampak terhadap habitat mereka meskipun dalam skala kecil. Setidaknya orang utan yang biasa mencari makan dan bersarang di area proyek tidak bisa lagi membuat sarang sehingga mereka akan berpindah ke lokasi lain. Kondisi ini akan meningkatkan persaingan ruang (daerah jelajah) dan pakan karena di lokasi baru yang akan dituju mungkin sudah ada orang utan lain. Dampak lain adalah terpotongnya jalur jelajah orang utan oleh jalan atau bangunan permanen di lokasi PLTA sehingga pergerakan makin terbatas.
Dampak tersebut masih bisa dihindari jika perusahaan menerapkan dan memperhatikan kaidah konservasi selama pembangunan dan setelah PLTA beroperasi, sehingga tidak ada pengaruh negatif terhadap perilaku dan kehidupan orang utan serta satwa liar lain. Saya coba urai beberapa solusi dalam konservasi orang utan Tapanuli agar proyek pembangkit yang akan beroperasi pada 2022 itu tak berpengaruh terlalu besar terhadap satwa liar di Batang Toru.
1. PT NSHE sesegera mungkin memperbaiki atau merevisi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan untuk lebih meningkatkan kajian dampak dan rencana mitigasi terkait dengan keberadaan orang utan di sekitar area perusahaan.
2. Lokasi jalan perusahaan serta lahan yang terbuka atau tidak digunakan lagi seusai tahap konstruksi harus segera ditanami kembali, terutama dengan tumbuhan pakan orang utan dan satwa langka lain.
3. Merencanakan pengganti lahan untuk habitat tambahan orang utan atau koridor pada lokasi-lokasi sub-populasi orang utan yang secara alami sudah terpisah dari permukiman, sungai, dan jalan raya. Salah satu lokasi prioritas untuk dijadikan habitat tambahan atau koridor adalah area yang berbatasan dengan cagar alam Dolok Sibual-buali menuju area konsesi di bagian timur Sungai Batang Toru (termasuk blok selatan). Program yang bisa dikembangkan adalah pengayaan habitat pada lahan masyarakat yang sudah terdegradasi atau perkebunan karet monokultur. Pembangunan demplot pengayaan habitat orang utan yang sudah dibuat seluas 2 hektare perlu segera kembali dilanjutkan pada hutan desa atau lahan masyarakat yang lebih luas.
4. Kapasitas tim pemantauan satwa perlu lebih ditingkatkan selama proses pembukaan lahan, pembangunan prasarana, sampai operasi perusahaan. Hal ini sangat penting untuk mengurangi dampak langsung terhadap satwa liar, terutama kelompok primata yang banyak ditemukan di sekitar area perusahaan.
5. Mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan untuk konservasi orang utan dan satwa lain di tengah makin terbatasnya anggaran pemerintah dan meningkatnya kompleksitas tantangan di bidang pelestarian lingkungan. Sebab, konservasi membutuhkan waktu yang panjang dan dana yang besar, apalagi terkait dengan perlindungan satwa liar.
6. Memfasilitasi berbagai riset bio-ekologi keragaman hayati dan pengelolaan lingkungan secara luas karena ekosistem Batang Toru masih menyimpan berbagai potensi sumber daya alam, satwa, dan tumbuhan yang belum diketahui ilmu pengetahuan. Perusahaan bisa memfasilitasi pembangunan stasiun penelitian Batang Toru bagi para peneliti atau mahasiswa nasional dan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Solusi Menangani Orang Utan Tapanuli"