Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Identitas Kebun Raya

MAJALAH Tempo edisi Agustus 1992 mengulas problem pengelolaan Kebun Raya Bogor.

13 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo Doeloe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Artikel berjudul “Kaya Flora tapi Miskin Dana” itu mengungkap minimnya dukungan pendanaan dari pemerintah yang membuat pengelola harus menjajaki peluang kerja sama dengan sejumlah negara. Strategi itu harus diambil untuk mempertahankan tujuan pendirian kebun raya sebagai pusat penelitian botani di Indonesia.

Persoalan itu terungkap dari pernyataan Kepala Badan Pengembangan Kebun Raya Indonesia, Suhirman, di sela-sela perhelatan konferensi internasional yang digelar untuk memperingati hari jadi Kebun Raya Bogor ke-175. Pertemuan yang diikuti 200 peserta dari berbagai negara itu sepintas lebih berperan sebagai ajang lobi untuk menjalin kerja sama. Dan, dalam hal ini, Suhirman merasa acara itu berhasil.

Menurut Suhirman, ahli-ahli dari Kebun Raya Kew, Inggris, akan bekerja sama dengan para ahli Indonesia untuk ekspedisi flora ke Irian Jaya, September 1992. Juga ada tawaran kerja sama dari Kebun Raya New York, Amerika Serikat. Kerja sama lain adalah dalam pendidikan dan pembiayaan. Masalah biaya sejak dulu selalu mengganjal penelitian di empat kebun raya yang ada di Indonesia (Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bedugul). Dana hampir tak ada.

Ambil contoh Kebun Raya Bogor. Memang, ada suntikan dana dari pemerintah senilai lebih dari Rp 150 juta, tapi ini harus dibagi dua dengan Kebun Raya Cibodas. Padahal, untuk eksplorasi dan penelitian, Kebun Raya Bogor butuh Rp 600-800 juta. Dengan keterbatasan itu, fungsi kebun raya untuk konservasi dan penelitian secara rutin hampir tak terlaksana. Akhirnya, kebun raya lebih dikenal sebagai tempat rekreasi.

Hambatan itu juga yang akan diterobos Suhirman sejak ia menjabat pada 1989. Ia menjalin kerja sama dengan pelbagai pihak, bahkan dengan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), yang tujuannya agak bertentangan dengan mereka karena anggota-anggotanya berpotensi melenyapkan sumber daya flora Indonesia. Yang agak menggembirakan, dari MPI didapat sumbangan Rp 1 miliar yang lalu disimpan dalam deposito.

Kini ada tawaran bantuan dari McCarter- Foundation (Inggris) untuk ekspedisi ke Irian Jaya. Botanic Garden Conservation International juga akan mengucurkan dana yang ditujukan untuk ekspedisi flora internasional ke Sumatera pada 1993. Walau bantuan itu amat menolong, kita tetap perlu waspada agar sumber flora Indonesia tak melayang ke luar negeri. “Ini seperti memilih teman, harus yang tepercaya,” kata Suhirman.

Selama ini Indonesia hanya bekerja sama untuk menyimpan duplikat koleksi kebun raya dengan Kebun Raya Kew dan Leiden, Belanda. Dengan registrasi yang baik, duplikat di sana adalah cadangan bila sumbernya di Indonesia sudah tak ada. Kekayaan tanaman Indonesia yang menurut Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan konferensi mencapai 25 ribu jenis (10 persen dari kekayaan dunia) memang membikin peneliti asing ngiler.

Inggris, misalnya, hanya memiliki 1.500 jenis flora asli dan Belanda cuma mempunyai 8 jenis anggrek. Sedangkan Indonesia mempunyai 5.000 jenis anggrek dan masih ditemukan 300 anggrek jenis baru. Tak mengherankan bila banyak ahli asing melakukan penelitian di sini. “Mereka ingin tahu banyak hal tentang kekayaan flora kita,” ujar anggota staf peneliti utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Mien A. Rivai.

John Dransfield dari Kebun Raya Kew memaparkan bahwa tanaman palem di Indonesia mencapai 500 jenis (dari 2.700 jenis di dunia) dan 80-90 persen kekayaan rotan dunia ada di Nusantara tercinta. Mereka jugalah yang tahu bahwa eksistensi 300 jenis tanaman endemis di Jawa terancam. Harus diakui, banyak informasi penting yang kita dapatkan dari mereka. Tapi, seperti negara-negara berkembang lain, Indonesia tak bisa pasif terus-menerus.

Kekayaan flora Indonesia merupakan sumber penelitian ilmiah, terutama untuk keperluan farmasi, yang harus didata dan dilindungi. Penelitian itu bisa menghasilkan laba yang luar biasa besarnya. Agar tak jatuh ke tangan badan-badan paten milik negara maju, berbagai jenis tanaman milik kita harus dilindungi. Amerika Serikat, misalnya, sudah membuat paten dari tomat liar asal Peru, yang menyumbang US$ 8 juta pada perolehan devisanya.


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  26 April 1975. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201302010009/pergantian-di-abri-abri#.XLF2hbgRJ8E

 

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus