Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Najaf, sejarah dibangun dari kehilangan. Pada suatu hari di tahun 1982 saya bersembahyang asar di Masjid al-Imam Ali, masjid utama kota itu, di mana khalif ke-4 dimakamkan, dua hari setelah ia menanggung luka pedang seorang asasin. Duduk menatap mihrab, saya merasa masa silam lekat di aura ruang itu. Di bawah kubah besarnya yang berkilau emas, lewat gerbang-gerbangnya yang tinggi lebar, sebidang luas interior dihiasi mosaik warna biru kehijauan. Dan di ruang dalam, sebuah makam berteras persegi ditempati tiga pusara….
Apa yang kita alami ketika seorang khalif terbunuh?
Pada suatu pagi di hari ke-19 bulan Ramadan tahun 40 Hijriah atau 26 Januari 661, Ali bin Abu Thalib—sepupu dan menantu Rasulullah, pemimpin yang menghalangi ambisi Mu’awiyyah, Gubernur Suriah waktu itu—jadi imam dalam salat subuh di Masjid Kota Kufah. Tiba-tiba seseorang melangkah dari saf di belakangnya dan menebaskan pedang beracun ke jidat pemimpin umat itu. Sang Khalif roboh. Segera ia dibawa ke rumah kediamannya, tapi usaha mengobatinya hanya menolongnya dua hari. Pada usia 62 tahun, Ali wafat sebagai khalif ke-3 yang tewas dibunuh. Jenazahnya diangkut dengan unta ke luar Kufah. Beberapa kilometer ke arah barat, Ali dimakamkan di sebuah tempat rahasia, yang kemudian jadi awal Kota Najaf.
Konflik kekerasan yang berkecamuk di kalangan muslimin waktu itu mengharuskan jenazah itu tak diketahui….
Seorang khalif wafat, tubuhnya dicederai, dan jenazahnya tak berbekas selama kurang-lebih satu abad. Kita tak tahu bagaimana umat Islam masa itu menerima itu. Tapi jelas bahwa terjadi sebuah retakan antara theologi dan politik: tiap kali seorang khalif dibunuh, kita tersadar bahwa ia hanya sosok simbolis dari sesuatu yang dibayangkan utuh, tapi sebenarnya tidak. “Ukhuwah” adalah sesuatu yang antah-berantah. Sosok umat tak pernah satu. Perpecahan antara Syiah dan Sunni hanyalah salah satu indikasi—sebuah trauma berabad-abad.
Theologi pernah membentuk imajinasi tentang bangunan politik yang koheren. Sang khalif berada di pusatnya, menghubungkan dunia yang tampak dengan yang tak tampak, yang sekuler dan yang ilahi. Orang pun terpesona—dan teperdaya—sampai kemudian pusat stabilitas itu ditoreh, dihancurkan, seperti yang terjadi di Kufah di bulan Ramadan itu.
Hukum dan iman ternyata tak seperkasa yang semula diduga. Patokan-patokan guncang. Otoritas bukan sesuatu yang niscaya tak dibantah dan langgeng. Bahkan tubuh sang Khalif raib—secara fisik dan simbolis.
Saat itu sebenarnya tampak, kekuasaan dan kekhalifahan pada dasarnya sebuah ruang yang terbuka. Betapapun kita menghormatinya, seseorang tak secara a priori berhak jadi pengisinya. Sang khalif, yang memegang dan menjalankan kekuasaan itu, tak lain tak bukan oknum yang fana, yang terbatas, yang bisa mencapai tempat itu berkat kekerasan, kepintaran, dan keberuntungan.
Yang terakhir ini—yang juga disebut sebagai “nasib” —sering dianggap sebagai campur tangan langit, tapi sebenarnya tidak: nasib, yang selamanya teka-teki, lebih menunjukkan ketidakpastian. Ketika di abad ke-15 di Italia Machiavelli- menyebutnya sebagai Fortuna, ia sebenarnya menegaskan sebuah wawasan modern tentang kekuasaan: sesuatu yang bisa datang dan pergi.
Wawasan modern yang seperti itu tentu saja tak tumbuh dengan mudah. Kekuasaan, antara kelihatan dan tidak, tak menghilang bersama raja yang dikuburkan tanpa nisan. Kekuasaan tetap seperti hantu yang membayangi kehidupan sosial, tapi ia tak diwakili siapa pun dan apa pun sekali dan selamanya. Ketika Raja Prancis dipancung lehernya di puncak Revolusi Prancis di abad ke-18, ada yang terungkap. Sementara di abad ke-12 di Inggris Raja Richard I memaklumkan moto Dieu et mon droit, “Tuhan dan hak aku”—dan dengan demikian mengklaim sebuah wewenang yang pasti—di Paris, ketika Louis XVI direnggutkan hidupnya dengan pisau guillotine, yang pasti tak ada lagi. Claude Lefort menyebut situasi itu sebagai “runtuhnya marka-marka kepastian”.
Tak ada lagi sosok yang dianggap pengejawantahan kesatuan masyarakat dan yang secara simbolis bertaut dengan Tuhan. “Demokrasi,” tulis Lefort, “mewisuda pengalaman tentang sebuah masyarakat yang tak terjangkau, tak terkendali, di mana rakyat akan dikatakan berdaulat… tapi dengan identitas yang terbuka untuk digugat, dengan identitas akan selamanya terpendam.”
Tak mudah hidup dalam kondisi seperti itu, memang. Orang sering cemas kepada demokrasi, dan ingin membuka diri bagi kediktatoran—atau, seperti yang kini sering terdengar, menghendaki kekhalifatan kembali. Tapi zaman memang tak lagi menjamin kepastian dan stabilitas—atau lebih berterus terang bahwa kepastian dan stabilitas hanya ilusi.
Sebenarnya di abad ke-7, di antara Bagdad dan Najaf, ilusi itu dipatahkan dengan pertumpahan darah. “Ia yang mempercayai dunia, dunia mengkhianatinya”—seorang kenalan mengutipkan satu kalimat Ali bin Abu Thalib, mungkin sebuah petuah untuk berhati-hati.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo