Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMALSUAN selalu meninggalkan jejak panjang. Apalagi jika pemalsuan itu terjadi di wilayah produk kreatif—katakanlah seni rupa. Pemalsuan juga selalu memicu kontroversi, dari sikap apriori, pro-kontra, saling curiga, sampai saling tuding, yang bisa berakhir pada terbitnya permusuhan. Sikap ini tidak akan menguntungkan siapa pun kecuali para "pemancing di air keruh".
Di negeri ini, kasus pemalsuan karya seni rupa—khususnya lukisan—juga bukan barang baru. Ia timbul-tenggelam seturut pasang-surut perdagangan lukisan, yang diimbaskan oleh situasi politik dan—terutama—ekonomi. Karena kandungan investasinya, lukisan akhirnya dilirik juga oleh para pelaku bisnis yang mempunyai kekuatan membangun dan menguasai pasar. Karena itu, tidak mengherankan bila kasus pemalsuan lukisan bisa menembus batas geografis dan memasuki ranah global.
Pada booming lukisan Indonesia gelombang kedua, 1993-1994, balai lelang Christie's di Singapura, misalnya, sempat kemasukan satu lukisan yang dihisabkan sebagai karya Djoko Pekik. Beruntung, beberapa hari sebelum pameran dibuka, katalog pameran sampai di tangan pelukis "spesialis celeng" itu—yang segera memerintahkan "manajemen"-nya melakukan klarifikasi. Lukisan palsu itu langsung diturunkan dari gantungan.
Pada kurun itu pula, ketika balai lelang Christie's memposisikan karya old master Indonesia sebagai lot utama, muncullah rupa-rupa lukisan palsu, meliputi nama-nama—antara lain—Lee Man Fong, S. Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Bila satu sesi lelang mengajukan 250 lukisan, misalnya, hampir pasti sepuluh persen di antaranya palsu. Menanggapi kenyataan buruk ini, seorang pengurus lelang ketika itu sempat menyatakan: Indonesia produsen lukisan palsu terbesar di Asia Tenggara.
Dalam dua bulan terakhir ini, jagat seni rupa Indonesia mengalami gonjang-ganjing bak diamuk gempa tektonik skala tinggi. Masalahnya menjadi sangat pelik dan serius karena melibatkan nama-nama besar dalam ranah seni rupa negeri ini. Kisahnya bermula dari pameran panjang yang dibuka pada April lalu di Museum Seni Rupa Oei Hong Djien di Magelang, Jawa Tengah. Pameran yang diberi label "Back to Basic" itu menggelar karya "Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia", yakni para almarhum Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, H. Widayat, dan Soedibio.
Pameran berlangsung asyik dan tenteram, sampai ketika istri salah satu maestro ragu terhadap keaslian lukisan suaminya yang dipajang di pameran. Tak lama kemudian, sejumlah kerabat dan orang dekat maestro yang lain juga datang dengan keraguan yang sama atas keaslian sejumlah lukisan yang dipamerkan. Heboh makin marak setelah seorang kolektor menuliskan kecurigaan ini di blognya. Belakangan, beberapa pengamat seni rupa dan kolektor kenamaan juga ambil bagian mempertanyakan.
Jagat seni rupa Indonesia layak gonjang-ganjing karena kecurigaan yang mulai mengarah pada tuduhan ini melibatkan nama Oei Hong Djien—biasa disebut "OHD". Dia bukan nama biasa dalam belantika seni rupa nasional, bahkan regional. Lebih dari 30 tahun dokter spesialis patologi forensik ini mengumpulkan lukisan. Koleksinya meliputi lebih dari 2.000 lukisan bernilai ratusan miliar rupiah. Tidak hanya dikenal sebagai kolektor yang rajin dan berani, ia juga murah hati terhadap para pelukis muda, terutama di sekitar Yogyakarta. Di dunia internasional, untuk waktu yang panjang dia dipercaya sebagai advisor The National Art Gallery, Singapura.
Mengikuti akal sehat, sulit juga membayangkan saudagar dan penghidu tembakau itu mempertaruhkan reputasi yang dibangunnya selama hampir setengah abad—termasuk persahabatannya dengan sejumlah pelukis besar—lantas dituduh mengoleksi lukisan palsu. Pada titik ini, situasi tampaknya mengalami stagnasi: maju bukan, mundur pun tidak.
Membeli dan menyimpan lukisan palsu, sebetulnya, sama sekali tak nista selama lukisan itu sekadar dinikmati sendiri. Tapi, begitu ia masuk ke ranah publik, termasuk museum, persoalannya menjadi berubah. Lukisan-lukisan yang dipajang di Museum OHD, misalnya, merepresentasikan jejak panjang perjalanan seni rupa modern Indonesia, yang bisa disimak dan dipelajari para pengunjung. Jika satu saja, misalnya, terselip lukisan palsu, jejak panjang itu bisa menyimpang—bahkan tersesat.
Mengenali lukisan palsu juga bukan perkara gampang, apalagi menyangkut karya para old master. Kesaksian empiris tetap layak dipertanyakan, apalagi setelah melalui tahun-tahun yang panjang. Karena itu, jalan yang paling masuk akal adalah melakukan uji laboratorium, yang melibatkan orang-orang dan lembaga yang "netral". Untuk itu tentu sangat diharapkan keterbukaan dan ke-legowo-an OHD.
Pemerintah juga bisa belajar dari kasus ini, dengan segera merintis upaya pencatatan dan reinventarisasi karya seni rupa Indonesia, terutama lukisan. Jangan pula kelak hanya merepet dan berteriak jika sejumlah lukisan kita diklaim negara tetangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo