Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengantar
Tahun ini, Kementerian sudah menganggarkan Rp 25,125 miliar untuk membiayai beasiswa bagi mahasiswa pintar tapi tak beruntung secara ekonomi. Beasiswa yang disebut Bidikmisi itu dialokasikan untuk 30 ribu mahasiswa. Namun hingga kini baru tercapai 30 persen dari kuota yang disediakan. Referensi ini mengungkap kelemahan program tersebut dan upaya pemerintah mencapai kuota yang ada.
Narisah, 20 tahun, tak pernah bermimpi bakal kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. "Kalau tidak dapat Bidikmisi, saya tidak akan kuliah," kata dia, mengenang kejadian dua tahun lalu. Maklum saja, ayahnya hanya pengayuh becak. Bisa sampai lulus sekolah menengah atas saja sudah luar biasa buat Narisah.
Bidikmisi, yang disebut Narisah, adalah beasiswa perguruan tinggi bagi calon mahasiswa berprestasi yang diberikan pemerintah kepada siswa miskin sekaligus berprestasi. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Illa Sailah, mengatakan semula program Bidikmisi ditujukan pada 10 persen dari total mahasiswa yang diterima dalam setahun. Ini setara dengan 20 ribu mahasiswa.
Seiring dengan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011, jumlah penerima juga bertambah menjadi 30 ribu mahasiswa per tahun. Pada APBN-P 2012, jumlah penerima bantuan rencananya ditambah 12 ribu lagi sehingga menjadi 42 ribu mahasiswa. Tahun ini, Kementerian sudah menganggarkan Rp 25,125 miliar untuk 30 ribu penerima Bidikmisi.
Program ini memang menjadi penyelamat siswa miskin, seperti Narisah dan 20 temannya dari SMA Negeri 1 Grogol, Kediri, Jawa Timur, yang menerima Bidikmisi melalui seleksi nasional perguruan tinggi negeri (SNMPTN) jalur undangan. "Awalnya Bapak ragu, khawatir saya hanya dibohongi dan akhirnya tetap harus membayar uang kuliah yang mahal," kata Narisah. Nyatanya, ia tak pernah sekalipun dibebani biaya kuliah, justru ajek menerima bantuan sebesar Rp 6 juta per semester. Dana itu untuk membayar SPP sebesar Rp 2,4 juta per semester dan biaya hidup senilai Rp 600 ribu per bulan.
Namun, ternyata, keberuntungan Narisah tak hinggap pada Mutiarani, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Semarang. Peraih nilai ujian nasional tertinggi se-Indonesia pada 2012 itu tak lolos seleksi lewat jalur undangan, meski ia miskin dan pintar. "Pihak sekolah mengabarkan saya tidak lolos program Bidikmisi di Universitas Negeri Semarang Jurusan Akuntansi," kata Mutiarani, dengan wajah sedih, kepada Tempo di Semarang.
Juru bicara Universitas Negeri Semarang, Sucipto Hadi Purnomo, menyatakan tidak lolosnya Mutiarani karena penilaian tidak hanya didasari nilai UN. "Di rapor, Mutiarani tak selalu ranking satu," kata Sucipto.
Lain Mutiarani lain pula Ridwan Haris Kurniadi, 19 tahun, yang tiba-tiba ditunjuk menerima beasiswa Bidikmisi oleh Universitas Indonesia. Saat mendaftar lewat jalur SNMPTN tertulis untuk Jurusan Teknik Elektro pada 2011, ia sudah bertekad bekerja keras demi membiayai kuliah, karena ayahnya sudah lama menganggur. Namun, sejak semester pertama, rektorat UI memberi tahu bahwa dia mendapat Bidikmisi. Tanpa urusan administratif berliku, jadilah Haris kuliah gratis. "Kuliah gratis saja sudah sangat bersyukur, masih ditambah dikasih uang untuk biaya hidup," ujarnya. Mahasiswa Teknik Elektro UI lainnya rata-rata harus membayar SPP sebesar Rp 7,5 juta per semester.
Rektor Institut Teknologi Bandung Akhmaloka mengakui universitas dapat menentukan sendiri mahasiswa penerima Bidikmisi, walau ia tidak pernah mendaftar sebelumnya. "Ada surat edaran Direktorat Pendidikan Tinggi yang mengatur itu," kata dia, Rabu lalu.
Namun penunjukan hanya bisa dilakukan apabila kuota penerima Bidikmisi belum terpenuhi, sementara perkuliahan sudah harus dimulai. Mahasiswa calon penerima Bidikmisi juga harus sudah tercatat sebagai mahasiswa di universitas tinggi tersebut dan telah diverifikasi sebagai mahasiswa dengan perekonomian kurang.
Hal itu dibenarkan Ketua Pelaksana Bidikmisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Widyo Warso. Ia menjelaskan, ada beberapa jalur seleksi Bidikmisi untuk PTN. Jalur pertama adalah jalur undangan, seperti yang dilalui Narisah dan Mutiarani. Tahun ini, pendaftaran jalur undangan sudah ditutup sejak 8 Maret, dan hasilnya sudah diumumkan pada 28 Mei.
Jalur kedua adalah melalui ujian SNMPTN tertulis yang telah dilaksanakan pada 12-15 Juni, dan hasilnya akan diumumkan pada 7 Juli mendatang. Jalur ketiga, melalui ujian mandiri yang pelaksanaannya diserahkan kepada universitas.
Jalur-jalur itu diharapkan mampu menyerap penerima beasiswa sampai memenuhi kuota yang ditetapkan pemerintah. Karena itu, meski sekarang kuota penerima Bidikmisi baru terpenuhi sekitar 30 persen, pemerintah yakin, pada detik-detik akhir menjelang masa kuliah dimulai, kuota itu sudah terpenuhi. "Tahun ini, untuk menambah serapan, Bidikmisi juga akan diberikan kepada mahasiswa PTS," kata Widyo.
Anggota Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, Rohmani, menilai sistem kebut kuota Bidikmisi di tenggat akhir itu menunjukkan bahwa program ini masih kurang sosialisasi dan penetapannya kurang tepat. "Menemukan mahasiswa miskin yang pintar itu sangat sulit loh."
Sosialisasi yang terbatas melalui Internet, dinilai Rohmani, sangat menyulitkan siswa miskin yang jauh dari akses Internet. Selain itu, program Bidikmisi dinilai kurang tepat sasaran karena tolok ukurnya catatan akademis semata, seperti pada kasus Mutiarani. Padahal justru banyak siswa miskin yang kemampuan akademisnya kurang karena keterbatasan sarana. Akibatnya, mahasiswa yang mendapat beasiswa bukan yang benar-benar miskin. "Jadi, lebih baik dengan menggunakan tolok ukur potensi akademik," ujarnya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan semestinya pemerintah tak perlu mengalokasikan anggaran Bidikmisi jika biaya pendidikan tinggi cukup murah. "Jadi, orang miskin bisa masuk perguruan tinggi," katanya.
Niat pemerintah mencerdaskan seluruh anak bangsa lewat program Bidikmisi memang patut diapresiasi. Namun sayang jika dana triliunan rupiah dari uang rakyat itu tak tepat sasaran lantaran panitia terdesak memenuhi kuota penerima menjelang tenggat akhir. Strategi pelari yang bisa menjaga performa agar tak hanya terengah-engah menjelang finis tampaknya perlu ditiru Kementerian. RAHMA TW | RAFIKA AULIA | ANANDA BADUDU | FRANSISCO ROSARIANS | ROFIUDDIN (Semarang)
Jumlah Peserta Bidikmisi
Asal Daerah Penerima Bidikmisi
Pendapatan Orang Tua Penerima Bidikmisi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo