Marilah kita membayangkan sebuah tempat nun di Kuba sana. Sebuah kawasan yang tropis dengan pohon-pohon palem di "teras belakang" Amerika Serikat. Sebuah tempat yang disewa AS untuk basis militernya yang kemudian digunakan "sementara" untuk para imigran gelap Kuba dan Haiti yang tertangkap untuk dipulangkan kembali ke negaranya. Guantanamo, meski sebetulnya layak menjadi tempat kita selonjor menikmati matahari, sesungguhnya lebih mirip tempat yang tak akan pernah terbayangkan.
Bak menyaksikan sebuah film Hollywood, kini kita hanya bisa membayangkan bagaimana Guantanamo telah disulap menjadi sebuah penjara yang terisolasi dari dunia; belum pernah ada wartawan yang diperbolehkan meliput; belum pernah ada keluarga tahanan yang boleh menyentuh atau menghubungi para tahanan; dan belum ada pengacara yang diizinkan mendampingi—apalagi membela—600 tahanan Taliban dan Afganistan yang disekap di sana atas nama "perang melawan teror" dan "keamanan nasional". Harap diingat, meski hanya bisa dibayangkan seperti dalam film-film Hollywood yang seru itu, sebagian dari tahanan ini sudah bercokol di situ selama dua tahun tanpa bukti kesalahan yang jelas.
Ini semua kemudian menjadi persoalan di Pengadilan Federal AS di San Fransisco, Kamis pekan silam, karena "men- cemplungkan tahanan" ke Guantanamo atau ke tahanan lain di California yang dianggap memiliki potensi menteror adalah bagian dari wewenang Presiden George W. Bush yang diberikan setelah peristiwa 11 September. Salah satu pertanyaannya adalah, apakah pemerintah Bush sudah terlalu jauh dalam menggunakan wewenangnya.
Harus diingat, wewenang yang diberikan kepada presiden sebagai eksekutif dari negara adalah: wewenang untuk menahan siapa saja yang dicurigai sebagai teroris tanpa melalui prosedur pengadilan sipil yang lazim. Karena itu, tak mengherankan jika yang terjadi bukan hanya sistem pemeriksaan yang luar biasa ketat di setiap bandara di tepi AS bagi setiap pengunjung, tetapi juga insiden penahanan yang di luar batas kewajaran yang mencapai tingkat paranoia. Kasus penahanan Jose Padila—yang diumumkan oleh Jaksa Agung John Ashcroft bahwa Padila telah merencanakan bom yang mengandung radioaktif di AS—adalah contoh sikap paranoia pemerintah AS yang juga dipersoalkan di pengadilan New York.
Kedua "gugatan" pengadilan ini, yang secara bersamaan berkumandang pada Kamis itu, adalah sebuah pertanda bahwa wewenang Presiden Bush sudah mulai dianggap terlalu luas tanpa batas, tanpa sistem checks and balance yang wajar, dan tanpa sikap kritis apa pun. Kedua kritik ini akan dibawa ke Supreme Court pekan depan.
Selama ini, alasan yang digunakan oleh pemerintah Bush adalah, jika para tahanan diberi hak diadili dalam pengadilan sipil biasa, berbagai informasi yang tergolong classified akan tumpah-ruah begitu saja, sehingga menggugurkan seluruh strategi "war on terrorism" yang telah mereka tegakkan sejak peristiwa 9/11. Yang "terlupakan" oleh Kongres maupun warga AS—yang saat itu bersatu-padu mendukung upaya apa pun yang dilakukan Bush untuk membasmi terorisme—adalah pemerintah Bush kemudian bisa menggunakan wewenang itu untuk melakukan apa saja atas nama "memerangi terorisme" seperti halnya pada periode gelap McCarthy yang melakukan pembersihan atas nama "memerangi komunisme".
Ada beberapa "upaya" pemerintah yang sempat ditelusuri media Barat yang kritis terhadap pemerintah Bush. Misalnya, awal Desember silam, pemerintah telah merekrut sebuah tim pengacara militer untuk membela para tahanan Guantanamo yang dituduh sebagai teroris. Ternyata, belakangan, Pentagon memecat mereka karena sebagian dari anggota tim pengacara itu mengkritik keras desain pengadilan yang akan digelar, karena mereka menganggap desain itu sangat tak adil bagi para tersangka. Pihak militer sudah membantah insiden ini. Namun, toh hingga sekarang 660 tahanan itu masih belum jelas nasibnya. Ingat, warga Indonesia yang bernama Hambali pun hingga kini tak jelas posisinya, di Guantanamo atau di pojok dunia yang lain. Jika peradilan AS tidak bisa menarik kembali wewenang Bush yang hampir tanpa batas itu dan jika masyarakat internasional, termasuk PBB yang semakin mandul itu, tak kunjung bisa menggerus kesewenang-wenangan ini, itu berarti kita sudah menerima seorang pemimpin menguasai dan menduduki seluruh bumi ini. Gerakan kedua pengadilan AS itu saja tak cukup. Masyarakat internasional, baik pemerintah maupun PBB, sudah lama seharusnya berani berdiri dan mulai memperbaiki keseimbangan kekuatan yang sudah lama hanya dipegang AS sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini