SETELAH bah melibas Bohorok pada suatu Ahad malam, November tahun lalu, nama Ladia Galaska melesat ke galaksi media massa. Inilah bagian dari sebuah mimpi besar membentangkan jalan raya yang mempertautkan kawasan yang terhampar dari tepian Lautan Hindia, Gayo, Alas, hingga pantai barat Selat Malaka. Panjangnya, setelah melalui beberapa kali revisi, tak kurang dari 1.659,88 kilometer—alias lebih dari seperempat panjang Tembok Besar Cina.
Kalau Ladia Galaska diluncurkan pada 1960-an, ia layak mendapat label "proyek mercusuar". Tapi apa yang salah dengan "proyek mercusuar" selama memberikan kemaslahatan bagi umat manusia? Bukankah Ladia Galaska bercita-cita membebaskan rakyat yang terisolasi, terutama di kawasan Gayo-Alas, dan merangsang pembangunan daerah dengan menghubungkan pantai barat (Lautan Hindia) dan pantai timur (Selat Malaka)?
Lagi pula Ladia Galaska sesungguhnya bukan barang mutakhir. Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam sudah memulai proyek ini pada 1985, dengan nama "jaring laba-laba", yang membentuk zona industri/pertanian di Aceh Luar, Aceh Dalam, dan Aceh Kepulauan. Proyek itu selesai pada 1993, dilanjutkan dengan pembukaan "16 jalan tembus", yang berakhir pada 2000. Barulah setahun kemudian muncul proyek Ladia Galaska.
Persoalan baru mulai ruwet ketika rencana megaproyek itu bersirobok dengan kenyataan bahwa Ladia Galaska akan memintas—bukan hanya "menyerempet"—Kawasan Ekosistem Leuser, khazanah dunia yang tak tepermanai. Di lajur Ladia Galaska Utama saja, yang panjangnya 504 kilometer dan meliputi Meulaboh hingga Peurelak, proyek ini akan membabat puluhan kilometer persegi kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi.
Kita tahu, Kawasan Ekosistem Leuser merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis terkaya di dunia. Komitmen pemerintah melindungi kawasan ini malah telah dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 33/1998, yang menetapkan batas wilayah Kawasan Ekosistem Leuser dan cara pengolahannya. Kawasan ini meliputi sebelas kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan empat kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
Membuka keterkurungan penduduk adalah masalah sangat penting. Sedikitnya empat juta manusia bermukim terpencar di sekitar area yang akan diterabas Ladia Galaska. Cuma, kalau pembebasan dari keterkurungan itu tak bisa dijauhkan dari "intervensi" terhadap Kawasan Ekosistem Leuser, banyak hal harus dipertimbangkan kembali. Sebab, ujung-ujungnya, manusia jualah yang akan menanggung akibat buruknya.
Pada awal November lalu, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, serta Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah gagal bersepakat mengenai kelanjutan proyek Ladia Galaska. Tapi, beberapa hari kemudian, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah menyatakan proyek tersebut jalan terus. Alasannya sederhana: sesuai dengan keinginan masyarakat setempat dan sudah diundangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2003. Tak jelas, "keinginan masyarakat setempat" mana yang diwakili sang Menteri.
Lepas dari masalah keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, dan sebagainya, Kawasan Ekosistem Leuser tentulah berperan sangat penting dalam penyediaan air bersih, pengendalian erosi, dan pada gilirannya pengendalian banjir. Menurut prediksi Program Pengembangan Leuser, yang merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa, Ladia Galaska—yang memotong 1.087 sungai—berpotensi menimbulkan banjir pada 588 desa.
Sayangnya, lembaga tersebut tak banyak diajak urun rembuk mengenai proyek yang bernilai di atas Rp 1 triliun ini. Atau mungkin kita lupa, Ladia Galaska lebih dari sekadar proyek nasional, apalagi proyek lokal. Jika menyangkut Kawasan Ekosistem Leuser dengan segala aspeknya, kita jadinya terlibat dengan pengelolaan ekosistem global, yang tidak segampang menyusun proposal jangka pendek. Belum terlambat me- nimbang ulang megaproyek ini, ketimbang menuai musibah—atau menanggung aib—di hari kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini