Sory Ersa Siregar, wartawan yang disandera Gerakan Aceh Merdeka selama enam bulan, terbunuh bukan oleh peluru penyanderanya. Seharusnya wartawan tidak perlu dijadikan korban penculikan, dan lebih tidak perlu lagi jadi sasaran silang tembak yang mematikan. Dua peluru TNI menembus leher dan dada reporter senior RCTI itu pada 29 Desember lalu, ketika sepasukan marinir menyerbu persembunyian GAM di Dusun Kuala Manihan, Simpang Ulim, Aceh Timur.
Rasa duka yang meliputi semakin membuat kita tidak bisa memahami peristiwa yang terjadi. Ada yang percuma, ada yang seharusnya bisa dihindari, hanya itu yang bisa kita ulangi berkali-kali tanpa menghasilkan tambahan kejelasan. Pasukan marinir yang menyerbu daerah berawa-rawa siang hari itu rupanya tidak bertujuan membebaskan sandera. Mereka menyerang untuk menghancurkan, melumpuhkan, membunuh musuh. Setelah kontak senjata selesai, ditemukan dua jenazah. Salah satunya adalah jasad wartawan televisi senior Ersa Siregar. Begitulah yang dilaporkan pihak TNI. Tidak dipastikan apakah pasukan TNI yang menyerbu sama sekali tidak mengetahui ada sandera di persembunyian itu. Yang terang, wartawan bukanlah musuh yang harus dibunuh. Ini perlu diketahui, dan diakui.
Setiap kematian mendadak, terutama dengan sebab tidak wajar, selalu membuat kita tidak habis menyesalinya. Apalagi jika korbannya dalam kedudukan lemah dan tidak bersalah. Harus diakui bahwa ketidakrelaan menerima diungkapkan dengan lebih besar melalui media massa tatkala musibah itu menimpa sesama wartawan. Namun, di samping rasa simpati dan solidaritas yang memang wajar tidak bisa ditahan, rasa masygul juga ditujukan kepada rendahnya penghargaan terhadap perlunya perlindungan bagi pekerjaan wartawan.
Wartawan berfungsi melayani hak semua orang untuk mendapat informasi yang benar. Berita yang obyektif tidak mungkin bisa disampaikan bila peliputan dilakukan di bawah tekanan dan ancaman. Apalagi bila ancaman ditujukan terhadap kemerdekaan dan nyawa orang. Karena itu, penculikan reporter-produser RCTI Ersa Siregar bersama juru kamera Fery Santoro pada 29 Juni tahun lalu oleh pasukan gerilya GAM bukan saja salah, tapi juga adalah kejahatan terkutuk yang menjadi pangkal mula malapetaka ini.
Penyanderaan wartawan dan beberapa warga sipil lain oleh GAM itu adalah tindakan teror, tidak kurang dari itu. Tidak ada gunanya mengharap para pemberontak GAM itu menghormati konvensi internasional mengenai perlindungan bagi wartawan dan warga sipil dalam perang. Tebusan apa yang mereka inginkan dari penyanderaan itu sampai saat ini masih belum jelas. Mungkin saja sekadar untuk membuktikan ketidakmampuan TNI melindungi warganya di Aceh.
Sayangnya, TNI juga gagal membebaskan sandera itu walau telah enam bulan lamanya. Pendekatan militer yang dipakai amat kaku, sehingga perundingan atau penggunaan jasa pihak ketiga seperti Palang Merah Internasional tidak dimanfaatkan sebaik mungkin. Bagi Penguasa Darurat Militer Aceh, pemberontak bersenjata GAM adalah musuh yang harus ditumpas, bukan musuh dalam perang biasa, dan bukan lawan setara untuk diajak berunding. Prinsip yang mementingkan prestise ini ternyata berakibat fatal.
Memang benar bahwa setiap wartawan di daerah pertempuran selalu menanggung risiko mengalami kecelakaan. Namun risiko ketika sedang meliput tidak bisa disamakan dengan wartawan yang sedang menjadi tawanan musuh. TNI tidak mau disalahkan, tapi wartawan yang disandera juga tidak bisa disalahkan karena berada di tempat yang tidak semestinya ketika penyerbuan terjadi, karena itu bukan pilihannya sendiri. Kalau profesional, tentara harus bisa membedakan hal ini dengan baik.
Korban telah jatuh, dengan harga yang mahal. Tujuan akhir dari tugas TNI adalah memerdekakan dan melindungi, bukan cuma sebatas menghancurkan dan membunuh. Sebab musabab sesungguhnya tragedi terbunuhnya Ersa Siregar masih harus diselidiki. Semua pihak harus menerima bagian tanggung jawabnya secara kesatria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini