Syamsuddin Haris
Pengamat politik dari LIPI
Setelah Undang-Undang Politik rampung dan disetujui DPR, masyarakat kini menanti dengan harap-harap cemas, apakah pemilihan umum (pemilu) bisa diselenggarakan sesuai rencana pada 7 Juni nanti. Kalau ya, adakah prosesnya lebih adil, jujur, dan demokratis dibandingkan dengan pemilu-pemilu ''manipulasi" Orde Baru. Jika proses pemilihan ternyata relatif ''bersih" sejumlah persoalan masih menggumpal dan bisa menjadi potensi konflik: kesediaan setiap partai mengakui kemenangan, masalah pemimpin nasional yang baru, dan kredibilitas pemerintah baru serta kemampuannya untuk mengatasi krisis ekonomi.
Ketidakpastian politik, apa boleh buat, memang masih menggantung tinggi di langit kekuasaan Habibie. Betapa tidak, tak terhitung berapa kali pemerintah Habibie berjanji untuk menyelenggarakan pemilu mendatang seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya. Juga entah berapa kali terhitung pemimpin ABRI menggarisbawahi komitmen untuk bersikap netral dan berada di atas semua golongan. Peraturan pemerintah tentang netralitas pegawai negeri sipil (PNS) pun sudah dibuat dan bahkan direvisi guna meyakinkan publik akan komitmen tersebut. Toh, semua itu tak cukup. Masyarakat tetap saja masih ragu dan menyangsikan realisasi janji serta komitmen itu di lapangan. Pemilihan umum seakan-akan pengalaman baru bangsa ini dan seolah-olah kita harus memulai perhelatan politik akbar itu dari nol kembali.
Sumber dari segala kekisruhan politik itu tampaknya terletak pada kenyataan begitu rendahnya saling percaya di antara berbagai unsur bangsa. Ironisnya, hingga saat ini tidak ada upaya serius pemerintah untuk mengurangi suasana saling curiga yang bisa berkembang menjadi konflik terbuka tersebut. Bahkan ada kecenderungan untuk membiarkan bara api saling curiga itu menggumpal di bawah permukaan, sehingga memberi peluang bagi kekuatan-kekuatan antireformasi untuk menyulut gejolak baru yang akhirnya menggagalkan agenda demokratisasi. Jadi, persoalannya bukan sekadar ketidakpercayaan terhadap komitmen pemerintah, niat baik fraksi-fraksi yang membahas UU Politik di DPR, atau kejujuran dan ketulusan ABRI, melainkan lebih pada tidak adanya upaya institusional untuk membangun saling percaya di antara semua unsur bangsa.
Selain itu, kendati rezim Soeharto yang korup sudah tergusur, ABRI berjanji melakukan reposisi, dan Golkar terpaksa harus minta maaf karena Pemilu 1999 masih diselenggarakan dalam suasana psiko-politik Orde Baru. Nuansa psiko-politik Orde Baru itu tak hanya tampak dari kecenderungan menghakimi masyarakat sebagai sumber keonaran, kerusuhan, dan anarki, juga terlihat dari kecenderungan diselesaikannya sejumlah perkara penting lewat pidato dan upacara. Proses pengadilan para terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti, penculikan serta penghilangan para aktivis prodemokrasi misalnya, berhenti sebagai upacara. Begitu pula pengusutan atas mantan Presiden Soeharto, keluarga, dan para kroninya. Bahkan hingga kini, tak seorang pun yang berhasil diseret oleh rezim Habibie ke pengadilan lantaran melakukan korupsi dan manipulasi kendati berbagai bukti sudah bertumpuk.
Karena itu, kecurigaan masyarakat terhadap niat baik pemerintah melaksanakan pemilu yang adil, jujur, dan demokratis, sebenarnya sangat wajar. Kecurigaan terhadap pemerintah adalah hak setiap anggota masyarakat yang merasa aspirasi politiknya dicurangi, dimanipulasi, dan dipelintir untuk tujuan sempit kekuasaan. Apalagi fenomena kecurangan, manipulasi, omong kosong, dan setumpuk praktek politik tak bermoral rezim Soeharto masih melekat begitu besar dalam memori publik. Masyarakat kita sudah traumatis dengan berbagai janji dan komitmen yang tak pernah bisa ditagih lagi.
Persoalan lain yang sering dilupakan Presiden Habibie adalah betapapun mungkin ia seorang soehartois, ia bukanlah Soeharto. Artinya, jika Soeharto bisa menjadikan ABRI, birokrasi sipil, dan Golkar sebagai kepanjangan tangannya bisa jadi mereka itu berlaku sebaliknya kepada Habibie. Anggukan dan senyum tak berdosa Soeharto bisa menjadi perintah bagi para pembantunya, tapi perintah Habibie belum tentu dituruti dan dilaksanakan oleh bawahannya. Berbagai perintah Habibie kepada pimpinan ABRI untuk mengusut tuntas berbagai kasus mutakhir, mulai kerusuhan Banyuwangi, tragedi Semanggi, sampai kerusuhan Ambon, belum terdengar hasilnya. Sementara itu, aspirasi Habibie mengenai sistem distrik yang kandas, tarik-ulur soal pegawai negeri sipil, dan ''keengganan" Golkar (hingga hari ini) mencalonkan Habibie menjadi presiden, mencerminkan kerapuhan hubungan politik keduanya.
Fenomena keterpisahan Golkar dengan lembaga kepresidenan tentu saja merupakan pertanda yang positif bagi arus reformasi ke arah demokratisasi. Tapi persoalannya menjadi sangat serius jika Presiden tak mampu mengontrol birokrasi negara, sipil, atau ABRI, menjelang Pemilu 1999. Sebabnya sangat jelas, virus ganas oportunisme politik itulah yang menjadikan pemilu-pemilu Orde Baru tak lebih dari proses pelestarian status quo rezim Soeharto.
Karena itu, sebelum janji dan komitmen dikumandangkan, Habibie perlu melakukan reformasi internal di tubuh baik birokrasi sipil maupun ABRI. Silang pendapat mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak perlu terjadi seandainya Habibie bisa mengikis habis akar-akar oportunisme politik di tubuh birokrasi. Debat kusir mengenai provokator sia-sia belaka jika Habibie masih membiarkan ABRI ''bermain" dan mempermainkan isu tersebut. Dan Pemilu 1999 tak ubahnya sebuah fatamorgana politik bila Habibie terperangkap ke dalam permainan yang berbahaya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini