Dr. Sri Adiningsih
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada
Sejak liberalisasi sektor keuangan diluncurkan, yang diikuti dengan menjamurnya bank-bank di Indonesia, industri perbankan sudah menghadapi banyak masalah secara struktural. Sistem regulatori yang belum siap, law enforcement yang lemah, dan kurangnya bankir yang profesional, membuat industri perbankan di sini berkembang di atas landasan yang rapuh. Ketika krisis ekonomi mengganas, dampaknya terhadap industri perbankan sungguh luar biasa.
Kerusakan sektor perbankan tergolong yang paling parah, terutama kalau dibandingkan dengan industri maupun sektor lainnya. Kerusakan ini dapat dilihat dari nilai modal perbankan, yang dengan cepat terkikis. Dalam tempo lima belas bulan sejak krisis melanda, Juli 1997, perbankan Indonesia amblas. Jumlah modal seluruh bank umum di negeri ini pada Juli 1997 masih sebesar Rp 43,5 triliun, lalu turun terus hingga pada Oktober 1998 menjadi minus Rp 28,55 triliun (data Bank Indonesia). Meski demikian, ada gejala proses pemburukan perbankan yang terjadi dalam kecepatan tinggi, hingga modal bank pada Desember 1998 mengalami free fall alias terjun bebas. Hanya dalam tempo dua bulan saja, modal bank mencapai tingkat negatif Rp 98, 54 triliun, atau turun sebesar Rp 70,01 triliun.
Proses pemburukan seperti itu harus segera dihentikan. Jika tidak, Indonesia akan semakin sulit mengatasi masalah perbankan dengan cara-cara konvensional. Kronisnya masalah yang dihadapi harus segera diselesaikan dengan tuntas, dengan "operasi besar" yang tentunya akan membawa konsekuensi biaya besar yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia, baik secara langsung atau tak langsung. Namun, operasi besar, tidak dapat tidak, harus dilakukan. Cepat atau lambat kita harus mengatasinya karena restrukturisasi perbankan diperlukan untuk melanjutkan program restrukturisasi lainnya yang juga harus kita lakukan untuk keluar dari krisis.
Pengalaman Korea Selatan yang sama-sama menghadapi krisis sejak pertengahan 1997 menunjukkan, paling tidak perlu tiga restrukturisasi besar demi mengatasi masalah ekonomi, yaitu restrukturisasi sektor keuangan, sektor korporasi, dan pasar tenaga kerja. Meski demikian, restrukturisasi sektor keuangan merupakan prioritas utama yang harus dilakukan paling awal karena sektor keuangan merupakan jantung kegiatan ekonomi. Keberhasilan atau kegagalan restrukturisasi sektor keuangan akan banyak mempengaruhi program restrukturisasi sektor-sektor lainnya.
Korea Selatan sudah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam restrukturisasi sektor keuangannya. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya keuntungan (operating profit before provision) perbankan sebesar 11,3 persen dari tahun 1997 ke semester satu tahun 1998. Keberhasilan restrukturisasi keuangan menjadi dasar bagi restrukturisasi korporasi. Restrukturisasi korporasi pada saat ini sedang gencar dilakukan di negeri ginseng tersebut, sedangkan restrukturisasi pasar tenaga kerja sampai saat ini belum dilakukan. Meski demikian, melihat besarnya PHK yang harus dilakukan dalam rangka reformasi ekonomi, restrukturisasi pasar tenaga kerja akhirnya mau tidak mau harus dilakukan.
Lain halnya dengan Indonesia yang sangat lamban membenahi industri perbankannya. Bahkan, sampai saat ini belum ada sinyal-sinyal yang positif, yang dapat dijadikan indikasi bahwa industri perbankan, setidaknya, tidak semakin buruk. Hal ini membawa konsekuensi yang berat karena kelambanan, selain akan meningkatkan biaya restrukturisasi, juga akan memperlambat penyehatan sektor korporasi dan ekonomi secara keseluruhan. Lalu, pada akhirnya keterlambatan itu harus kita bayar dengan mahal, sesuatu yang seharusnya disadari agar Indonesia segera mengubah pola dan konsep restrukturisasi perbankannya.
Menarik untuk kita pelajari pengalaman Korea Selatan dan Jepang dalam menangani krisis perbankan yang terjadi hampir bersamaan dengan krisis perbankan di Indonesia. Jika kita cermati, Korea Selatan "menggunakan jalan tol" untuk menyehatkan perbankannya, dan kini mereka sudah hampir mencapai tujuannya. Sedemikian cepat? Benar sekali, karena Korea Selatan menggunakan hard way atau operasi besar sekaligus. PHK di Korea Selatan meliputi 20,6 persen dari seluruh karyawan perbankan, sedangkan kantor bank yang ditutup mencapai 707 buah. Namun demikian, dalam tempo satu tahun bank-bank di Korea Selatan sudah membukukan keuntungan yang positif dan meningkat (McKinsey & Company, Desember 1998). Sementara itu, Jepang, yang menghadapi masalah perbankan sejak awal 1990-an, sampai sekarang masih berkutat dengan masalahnya, meski dana yang dikucurkan untuk mengatasi masalah itu sudah menyeret Negeri Matahari Terbit tersebut ke dalam resesi berkepanjangan sampai saat ini. Jepang tidak pernah berani mengambil tindakan yang tegas dalam membenahi perbankannya. Kebijakan yang dipakai masih tambal sulam dan mereka belum melakukan operasi besar meski biaya yang dikeluarkan sudah besar. Karena itu, jalur lambat Jepang bukan pilihan yang terbaik untuk diikuti oleh Indonesia.
Terlebih-lebih karena Indonesia sangat terlambat melakukan restrukturisasi, padahal bank-bank itu sebagian besar sudah insolvent atau bankrut, baik secara teknis maupun akunting. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah bank pada kategori B dan C, yaitu 66 bank kategori B dan 38 bank kategori C, dan hanya 62 bank yang termasuk dalam kategori A. Selain itu, masalah likuiditas yang berat dapat dilihat dari besarnya bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah dikucurkan (Rp 144,5 triliun pada Januari 1999). Karena itu, Indonesia harus mengambil jalur tol agar proses terjun bebas dapat dihentikan. Meski demikian, hendaknya jalan tol yang kita pilih harus sesuai dengan kondisi Indonesia, dan juga dipertimbangkan agar biayanya seminimal mungkin. Jalan tol tersebut mestinya diatur dengan rambu-rambu yang jelas dan diikuti dengan benar agar tidak menimbulkan "tabrakan" yang dapat menimbulkan masalah pada waktu-waktu yang akan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini