Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu saat, pada ulang tahun kemerdekaan Singapura, saya berada di kota itu menonton TV. Dan tampak di layar, Presiden Shears (waktu itu) sedang berpidato. Ia mengatakan, "Di Singapura, agama tidak boleh berpolitik. Agama tetap merupakan kegiatan yang sah, tapi hanya untuk dan oleh kelompoknya. Tiap agama malah diimbau menjalin hubungan baik dan saling menghargai dengan agama yang lain." Potongan pidato tersebut melayangkan pikiran saya dan membuat saya terus ingin mengkajinya bila itu dihubungkan dengan negeriku dan negara lain yang mempraktekkan agama sebagai landasan berpolitik dan bernegara.
Agama memang tidak hanya satu, tapi bisa banyak, bahkan lebih banyak kalau sub-agama atau segmennya yang ikut membesar dihitung juga. Agama adalah suatu ajaran kepercayaan di mana dalil (baca dogma)-nya hanya dipercayai dan dianut oleh pengikutnya.
Dogma yang diimani suatu agama berbeda dengan dogma yang diimani agama lain. Karena itu, saya pikir, urusan agama memang urusan kelompok, urusan penganutnya.
Lalu, apa salahnya agama berpolitik?
Politik berarti mengurusi pemerintahan, mengurusi negara, mengurusi kepentingan seluruh rakyat penghuni negara itu. Mengurusi negara tentunya dengan cara yang bisa diterima oleh semua golongan dan kelompok masyarakat yang ada, dengan cara yang universal sehingga bisa dianut semua golongan atau kelompok apa saja, dan bukan dengan cara yang bisa dianut oleh satu kelompok saja. Cara atau hukum Islam yang kebetulan sangat khas Islaminya tentu didukung oleh kelompok Islam, tapi sukar atau tidak akan didukung oleh kelompok lain. Begitu pula bila contohnya agama lain.
Kalau saja pemerintahan (fungsi dan jabatan) di Indonesia menjadi sangat agamis, Indonesia bisa terpecah belah. Rakyat Indonesia timur, yang kebanyakan Nasrani, bisa membuat Negara Indonesia Timur yang Nasrani. Begitu pula Tanah Karo di Batak. Lalu Bali bisa menjadi Negara Bali yang Hindu.
Beberapa negara sudah resmi menjadi negara agama, seperti Banglades, Pakistan, Iran, dan Afganistan. Banyak dalil agama menjadi dalil negara. Urusan negara adalah urusan agama. Dan sebaliknya, urusan agama adalah urusan negara. Sebenarnya negara agama adalah negara agama-tertentu. Kata tertentu di situ mempunyai dampak penyulit yang amat besar bagi para pemeluk agama lain yang bukan tertentu tadi. Agama tertentu yang menjadi penguasa akan membuat kata-kata "penghinaan, pelecehan, blasphemy terhadap agama" menjadi kata-kata yang mencekam, seram, dan bergaung sepanjang hari menghantui kebebasan berpendapat dan berteori dari rakyatnya di negara agama.
Ada negara yang memproklamasikan dirinya sebagai negara sekuler (tidak ada hubungannya dengan agama) tapi mengizinkan agama ikut berpolitik, seperti Israel, Turki, India, dan Indonesia. Maka bentuk politik negara yang demikian sebenarnya adalah bentuk negara ambivalen. Untuk apa suatu partai politik kalau bukan untuk mengurusi pemerintahan dan negara? Negaranya sekuler tapi partai politiknya ada yang partai agama! Isu agama menjadi isu pemerintahanan, isu kekuasaan. Negara ambilaven seperti ini mudah diguncang ketidakstabilan, kerusuhan antaragama, karena agama memang ikut politik. Dalil ilmiah mudah dikalahkan oleh dalil kepercayaaan.
Sejak awal negara ini didirikan, sebagian besar pendahulu kita telah meminta agar negara ini bukan negara agama. Tapi, disadari atau tidak, yang terjadi adalah negara ambivalen.
Di Prancis diberitakan bahwa seorang wali kota diprotes masyarakat karena menggunakan dana negara untuk kepentingan agama dalam upacara penerimaan Paus Paulus Johanes. Suatu riset mahasiswa tentang keagamaan ditolak pembiayaannya oleh universitas di Amerika Serikat karena memakai dana negara. Mereka memisahkan agama dari negara. Isu agama tidak boleh masuk dalam isu negara/pemerintahan atau memakai uang negara. Tapi di Indonesia? Dana negara juga dipakai dalam soal naik haji atas biaya dinas, atau Tilawatil Quran, lalu ada Menteri Agama, dan lain-lain.
Di kawasan Asia, Singapura telah melangkah lebih maju: memisahkan agama dari politik dan negara. Negara dijalankan atas cara ilmiah yang sifatnya universal. Artinya, semua keputusan kenegaraan akan lahir bagaikan lahirnya dalil ilmiah yang realistis dan obyektif sesuai dengan tujuan dan kepentingannya, sehingga golongan apa pun akan dapat menerimanya. Singapura telah membuktikan bahwa dengan cara itu dalam waktu singkat bisa menjadi negara modern, tertib, aman, sejahtera, dan sangat didukung rakyatnya.
Maka timbullah pertanyaan yang menggoda seperti: akankah kita pertahankan negara kesatuan? Atau kembali ke masa Orde Baru, yang ambivalen, ditambah sifat agamis dan Islaminya kental? Ataukah suatu negara sekuler di mana agama, suku, dan ras adalah kelompok sosial yang sah tapi tidak boleh berpolitik?
Djohansjah Marzoeki
Universitas Airlangga - Surabaya
Telepon/Faks: 031-5020091
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo