Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein atas dugaan menerima suap dari para narapidananya sendiri menandakan sistem penjara khusus koruptor harus segera dirombak. Mengumpulkan semua pencoleng kelas kakap di satu penjara terbukti bukanlah gagasan cemerlang. Napinapi itu tak hanya gagal bertobat, tapi malah berkomplot menyiasati hukuman yang harus mereka jalani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap praktik jualbeli fasilitas dan izin keluarmasuk penjara di Sukamiskin tentu patut diacungi jempol. Pengungkapan kasus ini merupakan tamparan keras buat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan jajarannya yang membawahkan penjara Sukamiskin. Mereka gagal menjalankan tugas paling mendasar: memastikan semua penjahat diganjar hukuman setimpal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain mencokok Wahid dalam operasi tangkap tangan pada Jumat dua pekan lalu, KPK menahan anggota staf LP Sukamiskin, Hendry Saputra, serta dua narapidana koruptor, Fahmi Darmawansyah dan Andri Rahmat. Penyidik juga menyita uang senilai Rp 279,92 juta dan US$ 1.410 serta dua unit mobil yang diduga merupakan suap buat Wahid. Sejumlah narapidana yang tak ada di selnya ketika operasi berlangsung, misalnya adik eks Gubernur Banten, Chaeri Wardhana, tentu harus segera diperiksa. Kemungkinan keterlibatan sipir dan petugas penjara lain juga harus diusut tuntas. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus memecat semua pegawainya yang terbukti terlibat.
Pemeriksaan menyeluruh perlu dilaksanakan karena apa yang dilakukan Wahid di Sukamiskin sebenarnya bukan barang baru. Praktik suap di sana sudah lama terjadi, seperti yang terungkap dari investigasi majalah Tempo edisi 612 Februari 2017. Wartawan majalah ini menemukan sejumlah napi dengan mudah keluarmasuk Sukamiskin. Salah satunya Anggoro Widjojo, napi korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Tempo juga menemukan sejumlah fasilitas mewah bagi napi korupsi di dalam kawasan penjara sendiri.
Pelajaran dari skandal ini sudah terangbenderang: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus menghentikan sistem penjara khusus koruptor yang diberlakukan sejak 2012. Para napi koruptor justru harus dibui di berbagai penjara dengan pengawasan maksimum, termasuk di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Selain itu, pemerintah mesti menata ulang manajemen semua penjara di Indonesia. Saat ini ada tumpangtindih kewenangan di lingkup internal kementerian yang amat membingungkan. Meski secara struktural semua lembaga pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kewenangan penganggaran dan pengawasannya justru ada di bawah Sekretariat Jenderal. Kesemrawutan ini turut andil membuat pengendalian aparat lembaga pemasyarakatan jadi tak terurus dengan optimal.
Praktik korupsi berlapis seperti yang terjadi di Sukamiskin hanya bisa berlangsung di negeri yang tak serius memberantas korupsi. Efek berantainya amat panjang dan berpotensi merusak seluruh sistem penegakan hukum. Jika hal itu tak segera dibenahi, upaya KPK, polisi, dan kejaksaan menangkapi koruptor jelas bakal siasia. Kerja keras mereka tak ada artinya ketika koruptor justru bisa berlehaleha di balik terali besi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo