Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Layanan Buruk Kesehatan Juniarti

28 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Layanan Buruk Kesehatan Juniarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB buruk Juniarti adalah wujud lemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Penderita kanker payudara HER2 positif 3 itu menggugat Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Menteri Kesehatan, hingga Presiden Joko Widodo. Ia merasa dirugikan pemerintah akibat obat kanker trastuzumab yang diresepkan dokter kepadanya tak lagi ditanggung BPJS. Akibatnya, pengobatan atasnya kini terseokseok dan hidupnya di ujung tanduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dasar keputusan BPJS adalah Surat Nomor 2004/III.2/2018 mengenai Penjaminan Obat Trastuzumab bagi Peserta Jaminan Kesehatan NasionalKartu Indonesia Sehat 2018. Surat yang diteken Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS itu merujuk pada pendapat Dewan Pertimbangan Klinis yang menyebutkan trastuzumab tidak memiliki dasar indikasi medis untuk pasien kanker payudara. Alasan lain, obat ini dinilai tidak bermanfaat terhadap peningkatan kelangsungan hidup pasien kanker payudara stadium lanjut serta memiliki efek samping serius, selain harganya mahal. Selama ini, obat seharga Rp 24,8 juta per ampul itu dikenal sebagai antibodi yang berfungsi menghentikan pembelahan sel kanker HER2.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juniarti menganggap BPJS lancang karena menarik obatsesuatu yang bukan wewenang badan itu. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/659/2017, menambah atau mengurangi daftar obat yang ditanggung BPJS adalah keputusan Menteri Kesehatan.

Mudah ditebak, keputusan menarik trastuzumab dari daftar obat yang ditanggung BPJS adalah soal anggaran. Hingga tahun lalu, badan itu sudah menanggung defisit hingga Rp 10 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani berkalikali mengingatkan BPJS agar menghemat biaya dan menggenjot pendapatan. Penghapusan trastuzumab bukan satusatunya langkah badan ini berhemat. BPJS, misalnya, kini membatasi jumlah pasien operasi katarak dan mengurangi frekuensi fisioterapi menjadi maksimal delapan kali per bulan per pasien.

BPJS berargumen, aturan baru itu merupakan tindak lanjut dari rapat tingkat menteri pada awal tahun yang mengharuskan BPJS berfokus pada mutu pelayanan dan efektivitas pembiayaan. Yang dimaksud dengan efektivitas pembiayaan tentulah penyesuaian mengikuti kemampuan keuangan BPJS.

Bukan mengurangi fasilitas pelayanan, BPJS semestinya mengatasi defisit anggaran dengan meningkatkan pendapatan melalui penambahan peserta dari pekerja swasta. Kelompok yang relatif mampu inilah yang akan menjadi tulang punggung pembiayaan melalui prinsip subsidi silang. Hingga Juli 2018, peserta BPJS dari kalangan swasta baru mencapai 28,5 juta dari total 199 juta peserta. Angka ini masih jauh di bawah data Badan Pusat Statistik, yang menyebutkan jumlah pekerja usia 15 tahun ke atas lebih dari 121 juta orang. Solusi lain adalah menaikkan premi dan menambah suntikan dana pemerintah.

Yang tak kalah penting, pemerintah harus tegas menentukan sifat program jaminan kesehatan ini: apakah merupakan fasilitas negara dengan misi mewujudkan universal health coverage atau dijadikan laksana asuransi kesehatan pada umumnya. Jika sifatnya sebagai fasilitas negara, pemerintah harus menopang anggaran BPJS Kesehatan tanpa terkecuali.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus