Pemerintah, yang harus "berkelahi" dulu untuk menyamakan persepsi tentang cara terbaik menangani utang konglomerat, akhirnya mampu menghasilkan sebuah keputusan. Inti dari keputusan yang disepakati Kamis pekan lalu itu ialah: rencana KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan), untuk memperpanjang PKPS (penyelesaian kewajiban pemegang saham) menjadi 10 tahun, ditolak. Alasannya, penanganan utang konglomerat harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Perpanjangan sampai 10 tahun disadari sebagai menyalahi prinsip keadilan, dan sekaligus meniadakan kepastian hukum.
Apakah dengan ketegasan itu pemerintah sudah berpaling dari konglomerat? Jawabnya, ya dan tidak. Pemerintah bisa dianggap berpaling bila 100 persen tidak lagi memihak para pengutang besar itu. Tapi, dengan tidak merevisi perjanjian MSAA dan MRNIA, secara tak langsung obligor masih diuntungkan. Seiring dengan itu, pemerintah juga mengambil risiko, karena dengan memberi waktu tiga bulan pada konglomerat untuk melunasi kewajibannya?dan kalau gagal harus siap dikenai proses hukum?berarti piutang pemerintah yang Rp 140 triliun bisa lenyap begitu saja. Risiko itu harus diperhitungkan karena 32 dari 33 obligor besar adalah pengutang bandel yang selama ini tidak peduli bagaimana agar utang itu bisa dilunasi. Mereka menyikapinya dengan enteng, karena bukankah sejumlah aset sudah diserahkan kepada pemerintah, mau apa lagi?!
Padahal, pengoperasian aset ada di tangan mereka. Ketika nilai-nilai aset merosot, para obligor tidak berusaha menyetorkan sejumlah aset baru. Pemerintah pun tidak berupaya menggali potensi aset secara optimal, dan juga tidak menuntut penyerahan aset-aset baru. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara nilai aset dan nilai utang. Dalam keadaan seperti itulah, pemerintah mengajukan pilihan: melunasi kewajiban atau masuk ruang pengadilan.
Kita tahu pengadilan bukan untuk tawar-menawar, karena itu perlu disiasati apakah dalam tiga bulan, konglomerat sanggup melunasi utangnya yang triliunan? Melihat sepak terjangnya selama ini, sangat boleh jadi mereka mampu membayar utang?asalkan misalnya mau menarik dana yang diparkir di luar negeri. Apa pun reaksi mereka, sulit bagi kita untuk menebaknya. Tapi, kalau pengadilan yang dipilih, pemerintah perlu mengambil ancang-ancang. Jelas, pemerintah akan rugi besar, tapi berhadapan dengan pengutang bandel, sikap setengah-setengah memang tak pernah akan membawa hasil. Dalam kata lain, langkah kompromi hanya membuang-buang waktu dan energi.
Juga sebaiknya disadari bahwa keputusan untuk tidak memperpanjang PKPS barulah satu permulaan. Kalau obligor tak mampu melunasi utang, pemerintah sudah harus menggariskan kebijakan tentang aset-aset mereka. Jika hanya aset rongsokan yang tersisa, mungkin lebih mudah. Tapi kalau banyak aset tak bergerak?berupa tanah, lapangan golf, rumah, apartemen, kondominium? pemerintah harus membekali diri dengan satu paket kebijakan yang rinci, yang bertujuan menjaga agar aset tidak menguap. Juga agar dari Rp 140 triliunan uang pemerintah yang dinikmati konglomerat, setidaknya 30 persen bisa dikembalikan ke kas negara. Gagasan agar pemerintah mempersiapkan rancangan undang-undang mengenai peradilan khusus yang menangani konglomerat pelanggar PKPS perlu dipikirkan juga. Kalau sekadar mengandalkan peradilan niaga?dalam sengketa utang konglomerat, lembaga ini berkali-kali mengalahkan pemerintah?jangankan piutang bisa kembali, rasa keadilan pun nyaris tak berarti.
Apakah tanpa konglomerat, nasib Indonesia akan semakin buruk? Pengalaman lima tahun dalam krisis membuktikan bahwa pertanyaan ini tidak relevan. Yang kini harus diutamakan adalah mendisiplinkan diri untuk tidak lagi mengulangi kesalahan fatal seperti pengucuran BLBI, di samping terus mencari upaya terbaik bagi pemulihan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini