Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Badan Usaha Milik Negara tak perlu ragu mengambil keputusan dalam menentukan nasib PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang sekarang berada di ambang kebangkrutan. Langkah yang ditempuh harus didasari pertimbangan ekonomi dan mengabaikan gengsi keharusan menyelamatkan perusahaan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kinerja keuangan Waskita Karya limbung karena besarnya beban utang yang wajib ditanggung. Nilai kewajibannya mencapai Rp 84,1 triliun, tertinggi dibanding beban perusahaan pelat merah konstruksi lain. Nilai utang itu setara dengan 86 persen total aset yang mencapai Rp 98,22 triliun. Hingga akhir September 2023, perseroan membukukan kerugian Rp 2,83 triliun, terjun bebas dari periode yang sama tahun lalu yang mencatatkan laba Rp 425,29 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasio keuangan yang minus sungguh berbahaya karena menunjukkan profit tak sesuai dengan ekspektasi dan pendapatan perseroan tak bisa menutup biaya investasi. Waskita Karya juga beberapa kali digugat penundaan kewajiban pembayaran utang oleh para vendor dan kreditor karena kesulitan keuangan.
Kabar terbaru, Waskita Karya terancam hengkang dari lantai bursa jika suspensi saham berlanjut hingga 8 Mei 2025. Perdagangan saham berkode WSKT berulang kali digembok setelah perusahaan dua kali gagal membayar bunga dan pokok obligasi yang nilainya hampir mencapai Rp 9 triliun.
Bila utang menggunung Waskita Karya kepada kreditor dan vendor hingga para pemegang obligasi tak segera diselesaikan, bisa muncul masalah yang lebih besar. Selain merestrukturisasi utang yang sifatnya jangka pendek, manajemen Waskita harus menyelesaikan masalah perusahaan dalam jangka panjang.
Kerusakan Waskita Karya saat ini adalah buah pemaksaan ambisi Presiden Joko Widodo dalam sejumlah proyek strategis nasional. Perusahaan tersebut kerap mendapat penugasan mengerjakan proyek infrastruktur yang ujung-ujungnya menimbulkan lilitan utang dan beban kerugian yang besar.
Waskita Karya tercatat mengerjakan 90 proyek dengan kondisi terpuruk karena banyak bergantung pada utang. Sebagian besar proyek itu tidak memberi untung karena mengabaikan studi kelayakan bisnis. Beberapa proyek malah membuat keuangan perusahaan defisit karena pengerjaan di lapangan bermasalah atau tidak diminati masyarakat.
Dengan pelbagai kondisi buruk itu, rencana penyelamatan yang disiapkan Kementerian BUMN dengan melakukan pengalihan (inbreng) saham Waskita Karya kepada PT Hutama Karya (Persero) bisa melahirkan masalah baru. Sebab, jika langkah itu diambil, kinerja Hutama Karya bisa saja ikut rontok akibat besarnya beban di tubuh Waskita Karya.
Konsolidasi antar-BUMN karya bisa ditempuh untuk mencapai hasil baik, yakni efisiensi struktur organisasi dan sumber daya manusia, jika kedua perusahaan dalam keadaan sehat. Sebaliknya, jika salah satu BUMN sedang bermasalah, keputusan merger atau akuisisi bisa melahirkan beban baru bagi perusahaan yang menerima inbreng. Apalagi rencana konsolidasi BUMN karya tidak diikuti perubahan kebijakan dalam penugasan mengerjakan proyek strategis nasional yang mengabaikan tata kelola yang baik.
Pemerintah tak bisa lagi memakai resep "coba-coba", apalagi mengambil kebijakan yang dapat membebani anggaran. Jika memang sudah sekarat tak bisa lagi disehatkan, untuk apa menyelamatkan Waskita Karya?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Risiko Menularkan Penyakit Waskita"