Akhir-akhir ini, sangat gencar pemberitaan tentang industri mobil dalam negeri. Berita itu, baik yang berupa keluhan masyarakat maupun tanggapan dari para industriawan, menyimpulkan bahwa masyarakat mengeluh karena harga mobil sedan dalam negeri tinggi. Dalam hal ini, menurut para industriawan, pemerintahlah yang salah. Tapi pemerintah tetap saja melindungi industriawan mobil, yang selalu menyalahkan pemerintah itu, dengan alasan menghemat devisa. Menurut saya, ini sangat janggal. Karena sudah banyak yang menyabarkan tentang ini dengan argumen yang masuk akal. Maka, saya ingin bertanya seberapa banyak pajak (bea masuk dan lain-lain) yang dapat ditarik dari per unit mobil. Kebijaksanaan ini hanya mengurangi kenyamanan bagi rakyat yang sudah mampu membeli mobil seharga Rp 20 jutaan. Dengan dana sebesar itu, mereka terpaksa meredam keinginan untuk mendapatkan mobil sedan. Maka, terpaksalah beralih ke jenis kendaraan barang yang sudah dimodifikasi, seperti Kijang, Suzuki, atau Colt. Bukankah ini mengurangi kenyamanan? Bagi mereka yang mampu membeli kendaraan jenis sedan, yang harganya sekitar Rp 50 juta, itu berarti berbeda Rp 30 juta dengan yang di luar negeri. Kebijaksanaan seperti ini dipertahankan dengan alasan menghemat devisa dan kesempatan kerja. Alasan ini tidak semuanya benar. Bahkan, kalau boleh saya katakan, kebijaksanaan ini semata-mata memusatkan kesejahteraan pada satu golongan saja. Contohnya. Andaikata kendaraan jenis sedan dibebaskan tata niaganya, dalam arti dibolehkan impor dalam keadaan built up, akan terjadi perbedaan harga sekitar Rp 30 juta. Bayangkan, berapa besar untung industri mobil kalau bisa memasarkan 200 ribu saja setahun. Berapa perbedaan yang terkonsentrasi pada suatu golongan? Lain halnya kalau perbedaan harga ini dinikmati oleh konsumen. Mereka akan menginvestasikannya dalam berbagai bidang usaha, yang biasanya pengusaha menengah ke bawah akan lebih banyak bersifat padat karya dalam arti membuka lapangan kerja. Anggaplah dari 200 ribu orang yang menikmati kelebihan seperti itu. Bila masing-masing bisa menampung 10 orang saja dalam satu bidang usaha, bukankah sudah tersalurkan dua juta tenaga kerja? Terus, yang tadinya dengan uang sekitar Rp 20 juta hanya bisa memiliki kendaraan barang yang dimodifikasi, dengan kebijaksaan ini mereka akan bisa menikmati kenyamanan dengan memiliki mobil sedan. Barangkali ada anggapan bahwa kebijaksaan ini akan melahirkan sifat konsumerisme bagi rakyat. Menurut saya, kemungkinan itu kecil sekali. Sebab, sebagaimana kita tahu bahwa pengusaha menengah ke bawah tingkat efisiensinya jauh lebih tinggi dari pengusaha besar. Mereka itu betul-betul menggapai sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Akan halnya penghematan devisa juga tidak seratus persen benar. Sebab, setahu saya, sebagian besar komponen kendaraan bermotor masih diimpor, dan sifat industri dalam negeri hanya merakit dengan menggunakan tenaga kerja dan mesin yang nota bene mayoritas gajinya berstandar uang asing. Dari uraian di atas, sudah sewajarnya pemerintah -- khususnya pejabat yang berwenang -- mengubah kebijaksanaan tersebut, seperti gebrakan Sumarlin dengan kebijaksanaan uang ketat yang telah menurunkan harga berbagai barang, termasuk mobil sejenis truk. Memang usul ini akan merugikan sebagian industri mobil, yang konon sudah mendapat perlindungan puluhan tahun tapi tak juga mau dewasa. Kalau kita ibaratkan manusia, sudah hampir punya cucu, kok masih juga minta digendong dan dininabobokan orangtua. Orangtua yang lebih bijaksana tidak akan berlaku demikian kalau memang ingin mendidik. SYAFRINA Jalan Veteran 79 A Padang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini