TEMPO, 25 Mei 1991, dalam rubrik Pendidikan, memuat berita tentang sekolah di Jepang yang memakai metode "kembali ke alam". Setelah membaca tulisan itu, saya teringat pada sebuah buku yang berjudul Totto-Chan, Gadis Kecil di Tepi Jendela, karangan Tetsuko Kuroyanagi. Buku tersebut bercerita tentang pengalaman seorang anak bersekolah di SD omoe Jepang, yang prinsipnya hampir sama dengan sekolah yang didirikan oleh Yayasan Asosiasi Sanson Ryugoki-Yayasan Sodateru-Kai yang berdiri 23 tahun lalu. Sekarang, sekolah di Jepang ingin ke alam. Sedangkan sekolah Tamoe, yang sudah ada sebelum Perang Dunia Kedua dan terbakar pada 1944 itu, sangat akrab dengan alam. Setiap mata pelajaran yang ada di sekolah itu diharapkan dapat melahirkan perasaan yang peka terhadap lingkungan. Seperti kata Kepala Sekolah Tamoe, "Pendidikan zaman sekarang, yang terlalu bergantung pada huruf dan bahasa, mungkin telah menyebabkan kemunduran kepekaan pada anak-anak untuk melihat alam lewat hati dan menangkap bisikan Tuhan melalui ilham." Kecemasan ini menjadi kenyataan pada anak-anak Jepang di Tokyo yang mengatakan kaki ayam ada empat dan produksi telurnya di pabrik. Hal ini mungkin saja akan menjadi kenyataan di Indonesia. Begitu pula kurikulum yang ditawarkan sekolah tersebut, juga sangat menyelami dan memperhatikan jiwa anak. Bahkan kepala sekolahnya menganjurkan kepada orangtua murid Sekolah Tamoe: "Mohon mengirim anak ke sekolah dengan baju paling jelek". Alasannya, anak-anak takut dimarahi ibunya karena bajunya menjadi kotor, sehingga tidak mau bermain dengan teman-temannya. Karena itu, kepala sekolah meminta mereka memakai baju yang paling jelek agar tidak khawatir terkena lumpur dan robek. Terakhir, ada satu hal yang patut kita renungkan pesan kepala sekolah untuk guru-gurunya, "Janganlah mengkotak-kotakkan anak dengan rencana guru. Biarkan mereka lepas di alam bebas. Cita-cita anak jauh lebih besar dari rencana guru." NANI NURDIN Jalan STM Rahmat 9 Medan 20219
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini