KEBERHASILAN Indonesia dalam memerangi inflasi dapat
digambarkan sebagai berikut. Pada tahun 1966 Indonesia mengalami
hyper-inflasi sebesar 630%. Kemudian secara drastis berhasil
diturunkan menjadi 120% (1967) dan 85% (1968), atau rata-rata
281% dalam periode tersebut. Pada 3 tahun berikutnya, tingkat
inflasi dapat ditekan lagi menjadi 9,9% (1969), 8,8% (1970) dan
mencapai titik terendah sebesar hanya 2,6% pada tahun 1971, atau
rata-rata 7,1% selama periode itu. Ini adalah suatu prestasi
yang luar biasa.
Tetapi rupanya sejak tahun 1972, tingkat inflasi menanjak lagi.
Pada masa 5 tahun terakhir (1972-1976), tingkat inflasi
rata-rata adalah 22,67O, walaupun grafiknya bersifat naik dan
mencapai puncaknya pada tahu 1974 sebesar 33,3% tetapi kemudian
turun lagi hingga menjadi 14,2% pada tahun 1976 dan pada tahun
1977 (hingga Nopember) hanya mencapai 10,02 %. Keadaan ini
nampaknya sejalan dengan inflasi dunia. Pada tahun 1974, tingkat
inflasi rata-rata dari 9 negara industri mencapai 16, tetapi
kemudian menapak turun menjadi 9% (1975), 8,1% (1976) dan
kira-kira 8% pada tahun yang lalu.
Keadaan moneter yang ditandai oleh gejala inflasi yang cukup
tinggi dalarn periode 1972-1976 tersebut, sudah tentu tidak bisa
lepas dari target-target pembangunan yang hendak dicapai. Untuk
mencapai tingkat pertumbuhan sekitar 7% per tahun -- dan dalam
kenyataannya telah menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi
sekitar 8-9% per tahun - diperlukan adanya peningkatan anggaran
pemerintah maupun kegiatan investasi sektor swasta.
Ini semua menimbulkan konsekwensi logis: tekanan inflatoir.
Karena itu memang ada semacam "trade off" antara tujuan mencapai
pertumbuhan di satu fihak dan tujuan menekan laju inflasi di
lain fihak.
Gambaran tentang tingkat keberhasilan usaha-usaha pemerintah
dalam menempuh proses ini antara lain dapat dilihat dari
perbandingan antara perkembangan peredaran uang yang merupakan
salah satu cermin dan yang menggerakkan kegiatan ekonomi dan
pembangunan, dengan tingkat inflasi.
Selama 8 tahun sejak tahun 1969 s/d 1976, rata-rata tingkat
perubahan jumlah uang yang beredar adalah 39,4%. Dalam periode
yang sama, rata-rata tingkat inflasi ternyata hanya 17,7%. Arus
uang dan kecepatannya beredar, nampaknya cukup diimbangi oleh
arus barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan pembangunan,
di samping tentu saja berkat keberhasilan pemerintah dalam
menyediakan bahan-bahan pokok dan kebutuhan masyarakat.
Inflasi di Negara-Negara Lain
Karena nilai Rupiah kita dikaitkan dengan mata uang Dollar
Amerika, tentu menarik untuk membandingkan tingkat inflasi di
Indonesia dengan di Amerika. Dalam periode 1974-1977, tingkat
inflasi di Amerika adalah sekitar 30,8% atau rata-rata 7,7% per
tahun. Pada periode yang sama inflasi di Indonesia adalah
setinggi 78,2% atau rata-rata 19,6% per tahun. Gejala ini
menimbulkan pemikiran bahwa nilai Rupiah kita dinilai terlalu
tinggi dan karena itu perlu didevaluasi, jika kita menginginkan
agar Dollar dan mata uang asing lainnya tidak lari ke luar
negeri, atau jika kita ingin lebih mendorong ekspor dan
sebaliknya membatasi kecenderungan impor kita.
Tingkat inflasi rata-rata pada 9 negara industri selama periode
1974-1977 adalah 10,25%. Tingkat yang tertinggi terjadi di Itali
(1974--24,5%), Inggeris (1975--24,9%), Itali (1976--22%) dan
Itali lagi (1977 - 16%). Sedangkan tingkat terendah dicapai di
Jerman (1974--5,9%), Swiss (1975 --- 3,4%), Swiss
(1976--1,3%), dan Swiss lagi (1977--1,5%).
Tidak banyak yang kita ketahui tentang inflasi di negara-negara
sedang berkembang. Tetapi bulletin "Monthly Economic Letter"
yang diterbitkan oleh FNCB pernah membandingkan tingkat inflasi
di negara-negara sedang berkembang dan negara-negara industri
selama periode 12 bulan hingga pertengahan tahun 1974. Tingkat
inflasi di negara-negara sedang berkembang adalah 18,7%
(rata-rata median) atau 19,1% (rata-rata hitung). Sedangkan di
negara-negara industri tingkat itu adalah 11,1% (median) atau
12,6 (rata-rata hitung). Keterangan lain adalah perbandingan
tingkat inflasi di antara 5 negara ASEAN pada tahun 19767 yaitu
14,2% di Indonesia dibanding dengan hanya 6,2% di Pilipina,
4,9% di Muangthai, 2,6% di Malaysia, dan 0%. alias tak ada
inflasi di Singapura.
Informasi yang mengejutkan telah disajikan oleh bulletin
Economic Note yang diterbitkan oleh Labor Research Association
(October, 1974). Bulletin ini membantah keterangan FNCB yang
menyatakan bahwa inflasi adalah suatu gejala dunia. Sejumlah 7
negara-negara sosialis ternyata tidak mengalami inflasi selama
periode 1966-1972 (dan 1974). Beberapa di antaranya bahkan
mengalami inflasi (Jerman Timur, ISSR, Bulgaria dan
Cekoslowakia) atau inflasi yang tidak berarti di Polandia (1973
-- 0,37O) dan (1974--3,6%), dan Hungaria (rata-rata 2,5 per
tahun dalam periode 1971-1974). Hanya di Yugoslavia yang
mengalami inflasi sekitar 25% rata-rata per tahun selama
1971-1974.
Keadaan ini dapat difahami, karena di negara-negara Sosialis,
produksi barang-barang -- terutama kebutuhan pokok masyarakat
direncanakan secara ketat sesuai dengan kebutuhan, di mana
politik moneter bukan merupakan alat penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan di mana harga barang-barang ditetapkan
dan dikendalikan oleh badan perencanaan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini