Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bapak dan ibu de boots di ...

Di pegunungan pocono, pennsylvania, ada restoran dengan masakan indonesia yang diusahakan bapak dan ibu de boots, suami istri belanda yang lahir di jawa. bahan-bahan dari suriname, bumbunya dipesan dari belanda.(ils)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RESTORAN dengan makanan Indonesia di luar negeri, bukan hal yang aneh lagi. Di Tokyo, ada rumah makan yang bernama Indonesia Raya dan Bengawan Solo. Di Belanda, ada Doea Koentji Baroe, Garuda dan Semarang. Di Amerika Serikat. kota-kota seperti San Francisco, Washington DC dan New York, selalu terdapat rumah makan dengan makanan Indonesia. Di New York, sebuah restoran mewah dengan menu dan tari-tarian Indonesia, jatuh bangkrut. Rumah makan yang banyak disebut dalam perkara PN Pertamina ini, bernama Ramayana: Setelah Ramayana tutup, banyak lidah yang ketagihan masakan Indonesia, kemudian mencari-cari restoran lain yang menyuguhkan sayur lodeh atau teri goreng. Kemudian mencari-cari iklan rumah makan yang bernama Selecta dalam New York Times. "Tempatnya sulit dibayangkan. bahwa di situ ada rumah makan Indonesia," demikian laporan Abdul Nur Adnan dari Washington DC. A-One Pasanggrahan Tempatnya di pegunungan Pocono, Pennsylvania, satu jam dengan kendaraan dari New York atau empat jam dari Washington DC. Musim gugur seperti sekarang ini, punggung pegunungan Pocono berdandan kuning keemasan. Dari sebuah jalan besar, ada sebuah papan cukup besar bertuliskan: Selecta. Di bawahnya ada gambar panah, menuju sebuah jalan kecil. Untuk lebih meyakinkan lagi, sebuah panah kecil setinggi setengah meter terpancang lagi di depannya. Turutilah panah, kita akan memasuki sebuah jalan kecil. Lewat hutan belukar, kemudian dari jauh akan tampak sebuah rumah dengan tulisan Selecta. Itu saja. Rumah bertingkat dua ini cuma mempunyai tetangga sebuah rumah lagi. Di seberang rimbunan pohon maple, tetangga satu-satunya dari Selecta dan tampaknya masih baru, bertuliskan A-One Pasanggrahan. Di dua rumah inilah, bapak dan ibu (demikian mereka maunya dipanggil) John de Boots. mengusahakan restoran dan sekaligus pasanggrahan. "A-One artinya jempolan kata Pak de Boots, sambil mengacungkan jempolnya. Satu kata ini jempolan yang masih diingatnya. Dia juga menambahkan bahwa A-One Pasanggrahan akan selalu dicetak paling dulu dari 200 tempat penginapan yang ada di pegunungan Pocono, yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Pengusaha Pasanggrahan setempat. Bentuk pasanggrahan itu biasa saja. Tidak mirip losmen dengan kamar yang berjajar-jajar, tapi lebih menyerupai rumah dengan beberapa kamar, ruang tamu dan ruang makan bersama. Seleca dibuka hanya pada akhir pekan saja. Tamu-tamu pun biasanya harus pesan tempat dan pesan makanan terlebih dahulu. Biasanya Pak de Boots yang menerima tamunya di depan pintu untuk kemudian sang tamu dibawanya dulu ke sebuah bar, untuk minunl. Rumah makan juga berupa ruangan yang dibagi jadi kamar depan. kamar tengah atau kamar samping. Makanan yang dihidangkan biasanya sate ayam, sate kambing, sayur lodeh, kare, teri goreng atau nasi kuning. "Suasananya tidak seperti suasana rumah makan," kata Pak de Boots yang usianya telah 60 tahun, "tapi seperti datang ke sebuah pcsta. Hanya di sini bedanya, anda harus bayar!" Dan orang mengambil makanan secara prasmanan, bisa makan sekenyangnya. Dua macam usaha itu. rumah makan dan pasanggrahan, diurus sendiri oleh de Boots suami isteri. Ruangan rumah makan dibuat sedemikian rupa sehingga ada suasana Timur. Sebagian dari dinding bar ditempel bambu. Pada dinding yang menyolok, terpampang sebuah lukisan dengan gambal- gadis Bali dengan dada terbuka yang ranum. Dalam suasana sinar temaram, tampak beberapa patung atau kerajinan tangan berasal dari Kamboja atau Muangthai. Sambil menyodorkan segelas sari buah jambu, Pak de Boots berkata bangga: "Sari buah ini saya pesan langsung dari Bandung." Indonesia bagi suami isteri de Boots memang bukan tempat yang asing. Sang ayah, A.J.W. de Boots tempo dulu pernah menjabat Asisten Residen di Boven Digul. De Boots tua kemudian dipindah ke Surakarta untuk jadi Residen. Kemudian dipindah ke Banyumas. Ada sebuah ceritera tentang ayahnya, ketika Jepang mendarat di pulau lawa. Sang ayah dengan mengenakan pakaian kebesaran seorang residen menemui pasukan tentara Jepang yang telah siap berdiri tegak di depan pintu rumah keresidenan. Dengan pedang di tangan, de Boots tua memberikan pedangnya kepada si Jepang, tanda menyerah. Semasa perang dunia kedua itulah, sang ayah kemudian dipenjarakan di penjara Sukamiskin. John de Boots sendiri tidak merasakan pendudukan Jepang, karena dia waktu itu sedang berada di New York. Dia kemudian bergabung dalam Tentara Amerika Serikat untuk kemudian dilatih sebagai Tentara Belanda di Melbourne. Di kota inilah dia bertemu dengan Marsekal Udara Sudjono - bekas duta besar Suriah yang kini duduk sebagai salah satu pimpinan DPR/MPR. Tujuh bulan keduanya dilatih di Melbourne sebagai Perwira Pemerintahan Militer, de Boots kemudian diangkat jadi Walikota Merauke, Irian Jaya. "Dan Sudjono jadi Walikota Serui." katanya. Dengan bangga pula de Boots kemudian berkata bahwa biarpun Indonesia dikuasai penuh oleh Jepang, ada dua tempat di mana bendera merah-putih-biru tetap berkibar. "Yaitu di Merauke dan Boven Digul," ujarnya. Karier de Boots menanjak terus. Dia kemudian diangkat jadi Gubernur Militer untuk Hollandia, yang sekarang bernama Jayapura. Hollandia itulah tempat yang paling dibanggakan de Boots. Karena di situlah bercokol Markas Besar Jenderal McArthur. Jabatan ini dipegangnya sampai bulan September 1945. Bersama tentara Belanda, de Boots kemudian mendarat di Jakarta. Baginya waktu itu telah dijanjikan tempat yang bagus yaitu Residen Kota Semarang. Tapi melihat perlawanan rakyat Indonesia pada waktu itu, "saya segera tahu bahwa masa depan saya, juga orang-orang Belanda lainnya, bukan di Indonesia," katanya. Setelah sebentar membantu bidang hubungan masyarakatnya van Mook, de Boots kemudian kembali ke New York. "Tapi Indonesia tetap di hati kami," ujar Pak de Boots, "suatu nostalgia yang selalu kami kenang." Tanahairnya John de Boots memang lahir di Surabaya. Tigapuluh tahun lebih, dia dan isterinya belum pernah kembali ke Jawa, melihat tempat kelahiran mereka. Pernah di tahun 1950-an, mereka minta untuk sekedar menengok Surabaya tapi permintaan ini ditolak. Keduanya kemudian belum pernah mencobanya lagi, tapi kata de Boots: "Biar bagaimana pun, Jawa adalah tanah air kami." Tukas isterinya kemudian: "Ya, dan saya masih ingat betul Kota Malang. Sekarangpun saya masih bisa menggambarkan peta Kota Malang dengan lengkap." Tentu saja Kota Malang tempo dulu. Isterinya, lahir dan besar di Malang. Nama gadisnya dulu, Annie de Ruyter de Wilt. Masih sigap dan berambut keriting hitam, Annie de Wilt kemudian berceritera tentang masa kecilnya di Jawa Timur. Ayahnya dulu, mempunyai perkebunan kopi di seputar Batu, Malang. Usahanya ini meningkat ke perkebunan bunga. Semakin sukses, tuan Ruyter de Wilt kemudian mendirikan beberapa bungalow di Batu. "Pemandangan di situ indah sekali," kata Annie, "bahkan ayah berkata salah satu dari yang terindah di dunia." Pertama hotel di Batu itu kemudian diberi nama Selecta dan hingga kini masih ada. Berceritera tentang Hotel Selecta di Batu ini, de Boots dengan bangga menceriterakan usaha mertuanya ini: "Di situlah, Republik Indonesia lahir." Sebab menurut John de Boots, ibukota Indonesia yang semula di Jakarta, sebelum pindah ke Yogya, mampir dulu di Malang, "khususnya di Selecta." Karena di tempat itulah, Republik Indonesia mengadakan konperensi persnya yang pertama dengan wartawan asing. Dalam buku Revolt in Paradise karangan Ktut Tantri memang ada disebut antara lain "bahwa Sukarno harus membawa para koresponden asing ke Selecta, yang pernah terkenal sebagai tempat tinggal para Belanda di pegunungan, tidak jauh dari Malang. Di situ, ada sebuah hotel yang bagus, rasanya yang terbagus di seluruh hotel di Jawa." Di halaman yang lain, Ktut Tantri juga menulis: "Ketika saya tiba di hotel Selecta, ruangan telah penuh oleh tentara. Semua pimpinan gerilya di Jawa Timur ada di sana, juga Bung Tomo yang berpakaian menyamar, kecuali Presiden Sukarno. Ada lusinan wartawan asing dari Inggeris, Australia, Amerika, Perancis. Tampak juga wartawan berkebangsaan India, Tionghoa dan Indonesia. Hampir semua perwakilan pers dan radio berada di situ, ABC, BBC, AP, Reuter, majalah Life, Time, Newsweek dan surat kabar penting lainnya." Jual Bumbu John de Boots dan isterinya tidak menceriterakan bagaimana nasib para orangtua mereka yang sukses dan kaya di Jawa. Cuma mereka mengatakan bahwa biarpun mereka dilahirkan di tempat yang cuma berjarak 60 Km, mereka tidak pernah baku temu. Baru ketika keduanya berada di Melbourne, mereka saling berkenalan untuk kemudian menikah. Ketika keduanya mencoba nasibnya di Amerika Serikat, sang isteri memulai hidupnya dengan menjual makanan Indonesla. John de Boots sendiri pernah berusaha di bidang perkayuan dengan Pilipina, karena saingan keras dengan Jepang, bangkrutlah usahanya ini. John de Boots kemudian membantu bidang usaha isterinya. Bumbu-bumbu dia pesan dari Belanda, yang terkenal banyak menjual bumbu dalam bungkusan rapi untuk berbagai masakan Indonesia. Jenis bisnisnya ini ialah mail order, pesanan lewat pos. Daftar bumbu makanan cukup beragam, mulai dari terasi sampai ke nasi goreng dalam kaleng. Langganannya kebanyakan orarlg Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Mereka ini sekarang tersebar di New York, Boston, Los Angeles dan kota lainnya. Annie de Ruyter de Wits telah mengusahakan hal ini selama 30 tahun. Adanya gejala bahwa orang-orang Amerika gemar sekali mencoba memasak makanan negeri lain menyebabkan Ibu de Boots sibuk mendatangi berbagai perkumpulan masak di AS. Biasanya dia melakukan hal ini dua minggu sekali. Demonstrasi bagaimana memasak rendang misalnya, kemudian dia menawarkan dan menjual bumbu rendang sekaligus. Toh bumbu rendang bisa dikeringkan dan santan bisa mereka buat seperti mentega. Bisnis dalam soal bumbu ini ternyata membawa keuntungan yang lumayan. Buktinya kini mereka bisa tenang hidup di pegunungan Pocono dengan tanah yang luas dan restoran yang tidak melelahkan. Untuk restoran sendiri, telah mereka usahakan dalam lima tahun terakhir ini. Mereka juga menerima pesanan makanan dari luar. "Kami bekerja 16 jam sehari," ujar Pak de Boots yang tetap kelihatan segar bugar. Tambahnya: "Dan kami tidak pernah meninggalkan rumah makan kami selama 5 tahun ini. Berarti, kami belum pernah mengambil liburan." Ketiga anak laki-laki mereka kini sudah dewasa dan hidup di masing-masing tempat. Hingga kini mereka masih tetap pesan bumbu dan segala keperluan dari Belanda, dari pabrik bumbu Conimex. Ada sambil bajak. sambal terasi, sambal teri yang semuanya dalam stoples kecil. Ada bumbu kare, lodeh, semur, oblok-oblok dan segala macam sayur. Kerupuk udang tempe, mereka datangkan pula dari Belanda. Pete, labu siam singkong atau nangka muda bisa mereka pesan dari Suriname. "Saya ingin mengimpor bumbu langsung dari Indonesia." kata John de Boots, "tapi sayang bugkusnya kurang menarik. Orang Amerika senang segala sesuatu yang tampaknya fancy." Juga daya tahan dari bumbu itu harus dijaga, sebab pernah dia mendatangkan bumbu masak dari Indonesia, selang beberapa minggu sudah bulukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus