RESTORAN dengan makanan Indonesia di luar negeri, bukan hal yang
aneh lagi. Di Tokyo, ada rumah makan yang bernama Indonesia Raya
dan Bengawan Solo. Di Belanda, ada Doea Koentji Baroe, Garuda
dan Semarang. Di Amerika Serikat. kota-kota seperti San
Francisco, Washington DC dan New York, selalu terdapat rumah
makan dengan makanan Indonesia. Di New York, sebuah restoran
mewah dengan menu dan tari-tarian Indonesia, jatuh bangkrut.
Rumah makan yang banyak disebut dalam perkara PN Pertamina ini,
bernama Ramayana:
Setelah Ramayana tutup, banyak lidah yang ketagihan masakan
Indonesia, kemudian mencari-cari restoran lain yang menyuguhkan
sayur lodeh atau teri goreng. Kemudian mencari-cari iklan rumah
makan yang bernama Selecta dalam New York Times. "Tempatnya
sulit dibayangkan. bahwa di situ ada rumah makan Indonesia,"
demikian laporan Abdul Nur Adnan dari Washington DC.
A-One Pasanggrahan
Tempatnya di pegunungan Pocono, Pennsylvania, satu jam dengan
kendaraan dari New York atau empat jam dari Washington DC. Musim
gugur seperti sekarang ini, punggung pegunungan Pocono berdandan
kuning keemasan. Dari sebuah jalan besar, ada sebuah papan cukup
besar bertuliskan: Selecta. Di bawahnya ada gambar panah, menuju
sebuah jalan kecil. Untuk lebih meyakinkan lagi, sebuah panah
kecil setinggi setengah meter terpancang lagi di depannya.
Turutilah panah, kita akan memasuki sebuah jalan kecil. Lewat
hutan belukar, kemudian dari jauh akan tampak sebuah rumah
dengan tulisan Selecta. Itu saja. Rumah bertingkat dua ini cuma
mempunyai tetangga sebuah rumah lagi. Di seberang rimbunan pohon
maple, tetangga satu-satunya dari Selecta dan tampaknya masih
baru, bertuliskan A-One Pasanggrahan.
Di dua rumah inilah, bapak dan ibu (demikian mereka maunya
dipanggil) John de Boots. mengusahakan restoran dan sekaligus
pasanggrahan. "A-One artinya jempolan kata Pak de Boots, sambil
mengacungkan jempolnya. Satu kata ini jempolan yang masih
diingatnya. Dia juga menambahkan bahwa A-One Pasanggrahan akan
selalu dicetak paling dulu dari 200 tempat penginapan yang ada
di pegunungan Pocono, yang setiap tahun dikeluarkan oleh
Persatuan Pengusaha Pasanggrahan setempat.
Bentuk pasanggrahan itu biasa saja. Tidak mirip losmen dengan
kamar yang berjajar-jajar, tapi lebih menyerupai rumah dengan
beberapa kamar, ruang tamu dan ruang makan bersama. Seleca
dibuka hanya pada akhir pekan saja. Tamu-tamu pun biasanya harus
pesan tempat dan pesan makanan terlebih dahulu. Biasanya Pak de
Boots yang menerima tamunya di depan pintu untuk kemudian sang
tamu dibawanya dulu ke sebuah bar, untuk minunl. Rumah makan
juga berupa ruangan yang dibagi jadi kamar depan. kamar tengah
atau kamar samping. Makanan yang dihidangkan biasanya sate ayam,
sate kambing, sayur lodeh, kare, teri goreng atau nasi kuning.
"Suasananya tidak seperti suasana rumah makan," kata Pak de
Boots yang usianya telah 60 tahun, "tapi seperti datang ke
sebuah pcsta. Hanya di sini bedanya, anda harus bayar!" Dan
orang mengambil makanan secara prasmanan, bisa makan
sekenyangnya.
Dua macam usaha itu. rumah makan dan pasanggrahan, diurus
sendiri oleh de Boots suami isteri. Ruangan rumah makan dibuat
sedemikian rupa sehingga ada suasana Timur. Sebagian dari
dinding bar ditempel bambu. Pada dinding yang menyolok,
terpampang sebuah lukisan dengan gambal- gadis Bali dengan dada
terbuka yang ranum. Dalam suasana sinar temaram, tampak beberapa
patung atau kerajinan tangan berasal dari Kamboja atau
Muangthai. Sambil menyodorkan segelas sari buah jambu, Pak de
Boots berkata bangga: "Sari buah ini saya pesan langsung dari
Bandung."
Indonesia bagi suami isteri de Boots memang bukan tempat yang
asing. Sang ayah, A.J.W. de Boots tempo dulu pernah menjabat
Asisten Residen di Boven Digul. De Boots tua kemudian dipindah
ke Surakarta untuk jadi Residen. Kemudian dipindah ke Banyumas.
Ada sebuah ceritera tentang ayahnya, ketika Jepang mendarat di
pulau lawa. Sang ayah dengan mengenakan pakaian kebesaran
seorang residen menemui pasukan tentara Jepang yang telah siap
berdiri tegak di depan pintu rumah keresidenan. Dengan pedang di
tangan, de Boots tua memberikan pedangnya kepada si Jepang,
tanda menyerah.
Semasa perang dunia kedua itulah, sang ayah kemudian
dipenjarakan di penjara Sukamiskin. John de Boots sendiri tidak
merasakan pendudukan Jepang, karena dia waktu itu sedang berada
di New York. Dia kemudian bergabung dalam Tentara Amerika
Serikat untuk kemudian dilatih sebagai Tentara Belanda di
Melbourne. Di kota inilah dia bertemu dengan Marsekal Udara
Sudjono - bekas duta besar Suriah yang kini duduk sebagai salah
satu pimpinan DPR/MPR.
Tujuh bulan keduanya dilatih di Melbourne sebagai Perwira
Pemerintahan Militer, de Boots kemudian diangkat jadi Walikota
Merauke, Irian Jaya. "Dan Sudjono jadi Walikota Serui." katanya.
Dengan bangga pula de Boots kemudian berkata bahwa biarpun
Indonesia dikuasai penuh oleh Jepang, ada dua tempat di mana
bendera merah-putih-biru tetap berkibar. "Yaitu di Merauke dan
Boven Digul," ujarnya.
Karier de Boots menanjak terus. Dia kemudian diangkat jadi
Gubernur Militer untuk Hollandia, yang sekarang bernama
Jayapura. Hollandia itulah tempat yang paling dibanggakan de
Boots. Karena di situlah bercokol Markas Besar Jenderal
McArthur. Jabatan ini dipegangnya sampai bulan September 1945.
Bersama tentara Belanda, de Boots kemudian mendarat di Jakarta.
Baginya waktu itu telah dijanjikan tempat yang bagus yaitu
Residen Kota Semarang. Tapi melihat perlawanan rakyat Indonesia
pada waktu itu, "saya segera tahu bahwa masa depan saya, juga
orang-orang Belanda lainnya, bukan di Indonesia," katanya.
Setelah sebentar membantu bidang hubungan masyarakatnya van
Mook, de Boots kemudian kembali ke New York. "Tapi Indonesia
tetap di hati kami," ujar Pak de Boots, "suatu nostalgia yang
selalu kami kenang."
Tanahairnya
John de Boots memang lahir di Surabaya. Tigapuluh tahun lebih,
dia dan isterinya belum pernah kembali ke Jawa, melihat tempat
kelahiran mereka. Pernah di tahun 1950-an, mereka minta untuk
sekedar menengok Surabaya tapi permintaan ini ditolak. Keduanya
kemudian belum pernah mencobanya lagi, tapi kata de Boots: "Biar
bagaimana pun, Jawa adalah tanah air kami." Tukas isterinya
kemudian: "Ya, dan saya masih ingat betul Kota Malang.
Sekarangpun saya masih bisa menggambarkan peta Kota Malang
dengan lengkap." Tentu saja Kota Malang tempo dulu.
Isterinya, lahir dan besar di Malang. Nama gadisnya dulu, Annie
de Ruyter de Wilt. Masih sigap dan berambut keriting hitam,
Annie de Wilt kemudian berceritera tentang masa kecilnya di Jawa
Timur. Ayahnya dulu, mempunyai perkebunan kopi di seputar Batu,
Malang. Usahanya ini meningkat ke perkebunan bunga. Semakin
sukses, tuan Ruyter de Wilt kemudian mendirikan beberapa
bungalow di Batu. "Pemandangan di situ indah sekali," kata
Annie, "bahkan ayah berkata salah satu dari yang terindah di
dunia." Pertama hotel di Batu itu kemudian diberi nama Selecta
dan hingga kini masih ada.
Berceritera tentang Hotel Selecta di Batu ini, de Boots dengan
bangga menceriterakan usaha mertuanya ini: "Di situlah, Republik
Indonesia lahir." Sebab menurut John de Boots, ibukota Indonesia
yang semula di Jakarta, sebelum pindah ke Yogya, mampir dulu di
Malang, "khususnya di Selecta." Karena di tempat itulah,
Republik Indonesia mengadakan konperensi persnya yang pertama
dengan wartawan asing.
Dalam buku Revolt in Paradise karangan Ktut Tantri memang ada
disebut antara lain "bahwa Sukarno harus membawa para
koresponden asing ke Selecta, yang pernah terkenal sebagai
tempat tinggal para Belanda di pegunungan, tidak jauh dari
Malang. Di situ, ada sebuah hotel yang bagus, rasanya yang
terbagus di seluruh hotel di Jawa." Di halaman yang lain, Ktut
Tantri juga menulis: "Ketika saya tiba di hotel Selecta, ruangan
telah penuh oleh tentara. Semua pimpinan gerilya di Jawa Timur
ada di sana, juga Bung Tomo yang berpakaian menyamar, kecuali
Presiden Sukarno. Ada lusinan wartawan asing dari Inggeris,
Australia, Amerika, Perancis. Tampak juga wartawan berkebangsaan
India, Tionghoa dan Indonesia. Hampir semua perwakilan pers dan
radio berada di situ, ABC, BBC, AP, Reuter, majalah Life, Time,
Newsweek dan surat kabar penting lainnya."
Jual Bumbu
John de Boots dan isterinya tidak menceriterakan bagaimana nasib
para orangtua mereka yang sukses dan kaya di Jawa. Cuma mereka
mengatakan bahwa biarpun mereka dilahirkan di tempat yang cuma
berjarak 60 Km, mereka tidak pernah baku temu. Baru ketika
keduanya berada di Melbourne, mereka saling berkenalan untuk
kemudian menikah.
Ketika keduanya mencoba nasibnya di Amerika Serikat, sang isteri
memulai hidupnya dengan menjual makanan Indonesla. John de Boots
sendiri pernah berusaha di bidang perkayuan dengan Pilipina,
karena saingan keras dengan Jepang, bangkrutlah usahanya ini.
John de Boots kemudian membantu bidang usaha isterinya.
Bumbu-bumbu dia pesan dari Belanda, yang terkenal banyak menjual
bumbu dalam bungkusan rapi untuk berbagai masakan Indonesia.
Jenis bisnisnya ini ialah mail order, pesanan lewat pos. Daftar
bumbu makanan cukup beragam, mulai dari terasi sampai ke nasi
goreng dalam kaleng. Langganannya kebanyakan orarlg Belanda yang
pernah tinggal di Indonesia. Mereka ini sekarang tersebar di New
York, Boston, Los Angeles dan kota lainnya. Annie de Ruyter de
Wits telah mengusahakan hal ini selama 30 tahun.
Adanya gejala bahwa orang-orang Amerika gemar sekali mencoba
memasak makanan negeri lain menyebabkan Ibu de Boots sibuk
mendatangi berbagai perkumpulan masak di AS. Biasanya dia
melakukan hal ini dua minggu sekali. Demonstrasi bagaimana
memasak rendang misalnya, kemudian dia menawarkan dan menjual
bumbu rendang sekaligus. Toh bumbu rendang bisa dikeringkan dan
santan bisa mereka buat seperti mentega.
Bisnis dalam soal bumbu ini ternyata membawa keuntungan yang
lumayan. Buktinya kini mereka bisa tenang hidup di pegunungan
Pocono dengan tanah yang luas dan restoran yang tidak
melelahkan. Untuk restoran sendiri, telah mereka usahakan dalam
lima tahun terakhir ini. Mereka juga menerima pesanan makanan
dari luar. "Kami bekerja 16 jam sehari," ujar Pak de Boots yang
tetap kelihatan segar bugar. Tambahnya: "Dan kami tidak pernah
meninggalkan rumah makan kami selama 5 tahun ini. Berarti, kami
belum pernah mengambil liburan." Ketiga anak laki-laki mereka
kini sudah dewasa dan hidup di masing-masing tempat.
Hingga kini mereka masih tetap pesan bumbu dan segala keperluan
dari Belanda, dari pabrik bumbu Conimex. Ada sambil bajak.
sambal terasi, sambal teri yang semuanya dalam stoples kecil.
Ada bumbu kare, lodeh, semur, oblok-oblok dan segala macam
sayur. Kerupuk udang tempe, mereka datangkan pula dari
Belanda. Pete, labu siam singkong atau nangka muda bisa mereka
pesan dari Suriname. "Saya ingin mengimpor bumbu langsung dari
Indonesia." kata John de Boots, "tapi sayang bugkusnya kurang
menarik. Orang Amerika senang segala sesuatu yang tampaknya
fancy." Juga daya tahan dari bumbu itu harus dijaga, sebab
pernah dia mendatangkan bumbu masak dari Indonesia, selang
beberapa minggu sudah bulukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini