Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tak cukup dengan kejujuran

Dengan disponsori dewan kesenian jakarta, titik setiawati, 31, mengadakan pameran tunggal untuk ke 48 lukisan cat minyaknya di tim 23-28 januari 1978. (sr)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTAMA kali pameran tunggal di Balai Budaya 1973. Lalu di Taman Ismail Marzuki 1975. Kini kembali tampil dengan lebih-kurang 48 lukisan cat minyak di TIM. Berbeda dengan dua pameran tunggalnya terdahulu Titik Setiawati (lahir 147) tak perlu banyak mengeluarkan biaya: pameran tunggalnya yang sekarang, 23-28 Januari 1978, disponsori Dewan Kesenian Jakarta. Sejak pameran pertama, karya-karyanya memang memberi kesan seenaknya. Bahkan dua lukisan yang dipamerkannya kini, kanvasnya sambungan. Daripada terbuang sia-sia, 'kan boleh saja sobekan kanvas kecil-kecil disambung untuk melukis. Tapi justru karena "seenaknya" itulah hasilnya menjadi menarik. Kejujurannya yang tertuang pada kanvas telah menggerakkan tangan seorang kritikus seni rupa (yang biasanya dicurigai sebagai "kritikus buku teks") menulis dalam buku-kesan, ketika Titik pameran di Balai Budaya: bahwa pelukisnya telah berjalan pada rel yang benar. Ternyata sampai kini Titik masih bertahan. Sebagai jebolan Sekolah Tinggi Seni Rupa 'Asri' Yogyakarta yang juga suka nonton pameran di TIM, sebagai anak muda (dan ia, menarik adalah bekas anggota grup nyanyi Trio visca), agaknya ia tak terpengaruh arus--misalnya karya-karya Seni Rupa Baru Indonesia. Mungkin ia memang tak faham, kenapa karya senirupa bisa jadi begitu. Karyanya tetap hanya menceritakan kehidupan sehari-hari dengan cara yang kini boleh dibilang konvensionil. Hanya saja ia tidak kehilangan kesegaran. Bila dalam pameran 1975 Titik agaknya menyukai warna gelap, kini warna-warnanya cerah: jingga, kuning, hijau, biru, merah. Juga irama goresan catnya lebih harmonis. Goresan pada obyek dan pada latar belakang, menyatu dengan enak. Ini perlu dicatat, soalnya Titik tak membiarkan secuil pun kanvasnya lepas dari goresan. Dan kalau mau dibilang ia punya kecenderungan dekoratif, memang. Apalagi kalau kita lihat bahwa kesan tiga dimensi obyek dalam lukisannya tipis sekali. Jungkir-Balik Yang Enak Karya Titik, sejak dulu, memang bukan karya intelektual. Sama sekali nilainya ada pada kejujuran, kepolosan, kegairahan. Tanpa mengabaikan prestasi yang dicapainya hingga kini, satu jalan yang terentang di harapannya kiranya jalan yang cukup berat, jika ia hendak melmpertahallkiln kwalitas. Benar bahwa bisa juga sekali-sekali membuat kejutan. Misalnya pada Harmoni Tiga, yang melukiskan berbagai macam benda, dan benda-benda itu diletakkan seenaknya jungkir-balik tak keruan, tapi enak dipandang. Memang, menurutnya, melukisnya pun kanvasaya dijungkir-balik, dan memasang lukisannya itu pun boleh seenaknya: dibalik ke atas, bawah, atau samping, silakan. Hanya saja, cukupkah seorang pelukis bertahan pada kejujuran dan kegairahan? Kita mencatat, betapa karya Agus Djaya atau Otto Djaya, Sudarso atau Hendra, dulu merupakan karya-karya kuat. Dan betapa kini karya mereka lebih-kurang hanya merupakan semacam klise karya yang dulu. Orang bilang bakat mereka telah habis, karena tak dipupuk. Mungkin tak sepenuhnya betul, sebab soal bakat memang sulit ditakar. Hanya saja bahwa mereka tak mengikuti perkembangan yang berlangsung, kentara sekali pada karya mutakhir mereka. Tapi haruskah karya seni seperti mode, gaya mutakhir yang mendapat suara ramai? Tentu tidak. Mengikuti zaman dalam kesenian musti ditafsirkan sebagai memberikan respons terhadap perkembangan kesenian sampai yang mutakhir. Bentuknya, bisa saja kuno dan "ketinggalan zaman." Tapi spirit yang dikandungnya bisa segar, kalau karya itu diciptakan memang bersumber semangat zamannya. Ingat saja karya cat air Srihadi yang baru saja dipamerkan di Balai Seni Rupa Jakarta dan Desember lalu dalam Pameran Seni Rupa 12 di TIM. Itulah yang menjadi masalah bagi Titik, saya kira: sampai kapankah kejujuran dan kegairahannya bisa bertahan. Hanya bertumpu pada kejujuran dan kegalrahan, mungkin akan semakm Jelas bentuk gaya pribadi. Tapi melulu orisinalitas tak menjamin sebuah karya seni akan tampil. Masih dibutuhkan kreativitas. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus