PERTAMA kali pameran tunggal di Balai Budaya 1973. Lalu di
Taman Ismail Marzuki 1975. Kini kembali tampil dengan
lebih-kurang 48 lukisan cat minyak di TIM. Berbeda dengan dua
pameran tunggalnya terdahulu Titik Setiawati (lahir 147) tak
perlu banyak mengeluarkan biaya: pameran tunggalnya yang
sekarang, 23-28 Januari 1978, disponsori Dewan Kesenian Jakarta.
Sejak pameran pertama, karya-karyanya memang memberi kesan
seenaknya. Bahkan dua lukisan yang dipamerkannya kini, kanvasnya
sambungan. Daripada terbuang sia-sia, 'kan boleh saja sobekan
kanvas kecil-kecil disambung untuk melukis. Tapi justru karena
"seenaknya" itulah hasilnya menjadi menarik. Kejujurannya yang
tertuang pada kanvas telah menggerakkan tangan seorang kritikus
seni rupa (yang biasanya dicurigai sebagai "kritikus buku teks")
menulis dalam buku-kesan, ketika Titik pameran di Balai Budaya:
bahwa pelukisnya telah berjalan pada rel yang benar.
Ternyata sampai kini Titik masih bertahan. Sebagai jebolan
Sekolah Tinggi Seni Rupa 'Asri' Yogyakarta yang juga suka nonton
pameran di TIM, sebagai anak muda (dan ia, menarik adalah bekas
anggota grup nyanyi Trio visca), agaknya ia tak terpengaruh
arus--misalnya karya-karya Seni Rupa Baru Indonesia. Mungkin ia
memang tak faham, kenapa karya senirupa bisa jadi begitu.
Karyanya tetap hanya menceritakan kehidupan sehari-hari dengan
cara yang kini boleh dibilang konvensionil. Hanya saja ia tidak
kehilangan kesegaran.
Bila dalam pameran 1975 Titik agaknya menyukai warna gelap, kini
warna-warnanya cerah: jingga, kuning, hijau, biru, merah. Juga
irama goresan catnya lebih harmonis. Goresan pada obyek dan pada
latar belakang, menyatu dengan enak. Ini perlu dicatat, soalnya
Titik tak membiarkan secuil pun kanvasnya lepas dari goresan.
Dan kalau mau dibilang ia punya kecenderungan dekoratif, memang.
Apalagi kalau kita lihat bahwa kesan tiga dimensi obyek dalam
lukisannya tipis sekali.
Jungkir-Balik Yang Enak
Karya Titik, sejak dulu, memang bukan karya intelektual. Sama
sekali nilainya ada pada kejujuran, kepolosan, kegairahan. Tanpa
mengabaikan prestasi yang dicapainya hingga kini, satu jalan
yang terentang di harapannya kiranya jalan yang cukup berat,
jika ia hendak melmpertahallkiln kwalitas.
Benar bahwa bisa juga sekali-sekali membuat kejutan. Misalnya
pada Harmoni Tiga, yang melukiskan berbagai macam benda, dan
benda-benda itu diletakkan seenaknya jungkir-balik tak keruan,
tapi enak dipandang. Memang, menurutnya, melukisnya pun
kanvasaya dijungkir-balik, dan memasang lukisannya itu pun boleh
seenaknya: dibalik ke atas, bawah, atau samping, silakan. Hanya
saja, cukupkah seorang pelukis bertahan pada kejujuran dan
kegairahan?
Kita mencatat, betapa karya Agus Djaya atau Otto Djaya, Sudarso
atau Hendra, dulu merupakan karya-karya kuat. Dan betapa kini
karya mereka lebih-kurang hanya merupakan semacam klise karya
yang dulu. Orang bilang bakat mereka telah habis, karena tak
dipupuk. Mungkin tak sepenuhnya betul, sebab soal bakat memang
sulit ditakar. Hanya saja bahwa mereka tak mengikuti
perkembangan yang berlangsung, kentara sekali pada karya
mutakhir mereka. Tapi haruskah karya seni seperti mode, gaya
mutakhir yang mendapat suara ramai?
Tentu tidak. Mengikuti zaman dalam kesenian musti ditafsirkan
sebagai memberikan respons terhadap perkembangan kesenian sampai
yang mutakhir. Bentuknya, bisa saja kuno dan "ketinggalan
zaman." Tapi spirit yang dikandungnya bisa segar, kalau karya
itu diciptakan memang bersumber semangat zamannya. Ingat saja
karya cat air Srihadi yang baru saja dipamerkan di Balai Seni
Rupa Jakarta dan Desember lalu dalam Pameran Seni Rupa 12 di
TIM.
Itulah yang menjadi masalah bagi Titik, saya kira: sampai
kapankah kejujuran dan kegairahannya bisa bertahan.
Hanya bertumpu pada kejujuran dan kegalrahan, mungkin akan
semakm Jelas bentuk gaya pribadi. Tapi melulu orisinalitas tak
menjamin sebuah karya seni akan tampil. Masih dibutuhkan
kreativitas.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini