REVOLUSI komunis di Laos tahun 1975 merupakan suatu anti-klimaks
sehingga tidak banyak dibicarakan seperti di Vietnam dan di
Kamboja. Walaupun ada program re edukasi, sifatnya jauh lebih
lunak dari program serupa di Vietnam, apalagi dibandingkan
dengan Kamboja.
Kemenangan Pathet Lao tahun 1975 tidaklah spektakuler seperti
ketika Phnonl Penh direbut Khieu Samphan dkk atau ketika Saigon
dimasuki pasukan Front Pembebasan Nasional Vietnam. Sampai
sekarang, Amerika Serikat tetap punya kedutaan di Vientianne dan
badan-badan PBB banyak beroperasi di Laos.
Nasib Laos yang demikian, sebagian disebabkan oleh posisinya
sebagai negara penyangga antara dua tetangganya yang besar,
Muangthai dan Vietnam. Sejarah Laos ditandai oleh usaha
penanaman pengaruh dan pembayaran upeti kepada Vietnam atau
Muangthai. Geo-politiknya menyebabkan Laos bagian utara dekat
dengan Vietnam sedangkan Laos bagian selatan dekat dengan
Muangthai.
Tanpa Kesatuan Politik
Laos dalam arti suatu kesatuan politik barulah diciptakan selama
penjajahan Perancis. Tapi, setelah Laos merdeka,
latarbelakangnya sebagai negara penyangga tadi menyebabkan
sulitnya tercapai suatu integrasi seperti di zaman penjajahan.
Apalagi, pertentangan ideologi ikut berpengaruh, antara Vietnam
Utara yang komunis dan Muangthai yang anti komunis.
Walaupun dua kali konperensi Jenewa 1954 dan 196 menjamin
netralitas Laos, negara tersebut tidak pernah mengalami adanya
kesatuan politik sampai tahun 1975. Pathet Lao yang komunis
menguasai wilayah di utara dekat perbatasan Vietnam, dengan Sam
Neua sebagai ibukotanya. Golongan anti komunis berpusat di
selatan, dekat perbatasan Muangthai, dengan ibukotanya di
Savannakhet. Ibukota resmi, Vientianne lazimnya ada di tangan
kaum netralis, dalam diri Pangeran Souvanna Phouma, dan Kapten
Kong Le dulu.
Sejak tahun 1962, pemerintahan koalisi silih berganti dibentuk
di Vientianne. Kalau koalisinya pecah, masing-masing pihak
mundur ke ibukotanya yang tidak resmi. Pada akhirnya, terjadi
polarisasi. Golongan netralis lama kelamaan habis, sebagian
besar bergabung kepada Pathet Lao.
Ini sejalan dengan campurtangan asing dalam sengketa Laos.
Selama limabelas tahun terakhir, penduduk Laos sudah mengalami
relokasi dan perpindahan akibat pemboman, sehingga ketika Pathet
Lao menang, tidak perlu lagi relokasi. Penderitaan mereka sudah
cukup berat sehingga tidak ada lagi kemampuan untuk senyum
ketika Pathet Lao menang. Benar-benar suatu anti-klimaks.
Pemersatu
Di tengah-tengah perobahan ini, satu hal yang tetap adalah
peranan tokoh Laos, Pangeran Souvanna Phouma sebagai
katalisator. Dengan pimpinannyalah, pemerintahan diserahkan
secara damai kepada Pathet Lao, sehingga tidak terjadi
pertumahan darah. Pengungsian ke Muangthai juga berlangsung
secara damai, sehingga di tengah-tengah kekerasan di Indocina
sekarang, Laos menampakkan wajah perdamaian yang humanistis.
Wajah damai ini memang perlu untuk mewujudkan Laos sebagai suatu
kesatuan politik dan ekonomi dari berbagai macam suku dan
pengaruh regional yang kuat. Berbeda dengan Vietnam dan Kamboja
yang secara etnis adalah homogen, Laos terdiri dari berbagai
suku. Ada suku Meo, suku Yao maupun suku Lao sendiri, yang dalam
sejarahnya tidak hanya terpisah secara geogragis, tapi juga
ideologis.
Usaha paling penting pemerintahan Laos sekarang tidaklah
bersifat ideologis seperti di Kamboja, tapi menciptakan suatu
kesadaran dan integrasi nasional yang memang tidak ada
sebelumnya. Dengan demikian, tidaklah terlalu mengejutkan jika
Laos menjadi negara yang paling terbuka dan lebih toleran
terhadap warganegaranya di antara negara-negara komunis di
Indocina sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini