Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ari A. Perdana
EKONOMI Indonesia tidak akan kolaps dengan perginya Sri Mulyani. Indonesia juga tidak akan kiamat. Namun kita menyia-nyiakan momentum untuk memperbaiki ekonomi dan kelembagaan atas nama proses politik. Betul, kita menginginkan DPR yang kritis, tapi bukan DPR yang berlomba ingin tampil cuma untuk menunjukkan eksistensi seperti sekarang ini.
Proses Panitia Khusus Bank Century dan sesudahnya telah menjadi ajang perburuan tukang sihir, bukan pencarian kebenaran. Bahkan ada tendensi menjadi ajang untuk menutupi kebenaran. Sikap anggota Pansus yang membela Misbakhun menunjukkan hal itu. Padahal terkuaknya kontribusi Misbakhun dalam kejatuhan Century adalah buah dari proses Pansus. Artinya, pengusutan Misbakhun adalah konsekuensi logis dari Pansus. Tapi Pansus justru menjilat ludahnya sendiri.
Ini bukan soal Sri Mulyani. Ini persoalan sinyal yang salah.
Sri Mulyani memang perkecualian, baik sebagai akademisi, birokrat, maupun politikus. Tapi bukan berarti ia tak tergantikan. Indonesia tak akan kekurangan stok sumber daya manusia untuk menjadi Menteri Keuangan. Masalahnya, setelah berbagai perlakuan yang diterima Sri Mulyani, apakah yang mampu akan mau? Apakah yang mau adalah mereka yang mampu?
Proses Pansus menunjukkan: kalau Anda pejabat yang harus mengambil keputusan penting dalam waktu singkat dengan informasi terbatas, jangan lakukan apa pun! Ekonomi mungkin anjlok. Tapi konsekuensi terjelek buat Anda adalah reputasi. Itu pun bisa Anda perbaiki: tuding kapitalisme global, neoliberalisme, badan-badan internasional, atau Mafia Berkeley. Sebaliknya, kalau Anda mengambil keputusan yang perlu dan benar, risiko yang Anda hadapi adalah hukuman politik.
Saya juga khawatir ada sinyal lain yang dibaca para petualang politik: bullying itu efektif. Kalau Anda kalah dalam pemilu, kalau Anda kurang pandai, atau kalau kepentingan Anda terganggu oleh keberadaan seorang yang bersih, jangan cemas. Ganggulah hingga ia gerah dan pergi.
Ada kekhawatiran lebih besar. Di masa depan, kita akan sulit mendapatkan orang bersih, baik, berani bertarung, punya komitmen, dan bersedia menjadi pejabat publik. Selama ini kita acap berbicara tentang pentingnya institusi yang kukuh, kepemimpinan yang kuat, dan sebagainya. Kini kita dihadapkan pada situasi mirip Hukum Gresham pada abad ke-19: bad money drives out good money. Dalam konteks sekarang, bad guys drive out good guys.
Ini bukan soal Sri Mulyani. Ini persoalan akal sehat yang tercederai.
Pansus Century sejak awal adalah pelecehan terhadap akal sehat. Orang-orang tanpa akal sehat lebih suka mendengar sesamanya. Mereka lebih tekun menyimak ”pakar” yang sejalan dengan konstruksi logika yang mereka bangun ketimbang mencerna pandangan ahli yang berbeda pendapat. Lucunya, suara para ”pakar” ini di depan Pansus berbeda dengan pendapat mereka pada 2008 tentang krisis.
Pansus juga mendasarkan kesimpulan mereka pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Entah mengapa mereka lupa, audit BPK atas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2008 berstatus ”wajar tanpa pengecualian”. Padahal, lebih dari Rp 5 triliun sudah dikucurkan LPS untuk Century ketika audit ini diserahkan ke DPR periode 2004-2009. Para anggota Pansus tentu tidak peduli. Yang penting justifikasi telah mereka peroleh.
Ini bukan soal Sri Mulyani. Ini persoalan gagasan yang harus berlanjut.
Sri Mulyani akan pergi. Selama ini, ia menjadi ikon ”pemersatu” orang-orang berakal sehat, yang ingin melihat reformasi birokrasi berjalan, yang ingin melihat ekonomi Indonesia bangkit di atas fondasi kelembagaan yang kuat. Namun kita tidak bisa berlama-lama kaget. Pun kita tidak bisa terlalu lama menyumpahi mereka yang mendorong dan membiarkannya pergi.
Jadikan ini sebagai anugerah: ternyata ada banyak orang yang berpikiran sama soal pembenahan institusi, reformasi birokrasi, antikorupsi, dan pentingnya akal sehat. Kini kita harus membuktikan bahwa semua ini dipersatukan oleh gagasan, bukan figur. Karena itu, jangan memberikan ruang buat para oportunis politik membajak wacana dan agenda. Ada beberapa agenda penting.
Pertama, penunjukan Menteri Keuangan baru. Jangan biarkan ini menjadi ajang transaksi politik. Kita harus memperhatikan betul siapa calonnya, bagaimana rekam jejaknya, dan yang tak kalah penting, siapa yang mencalonkan, good guys atau bad guys. Masyarakat perlu mengirim sinyal mendukung Menteri Keuangan baru yang bersedia melanjutkan reformasi yang sudah dikerjakan Sri Mulyani.
Kedua, tetap suarakan optimisme bahwa Indonesia tak akan runtuh tanpa Sri Mulyani. Tapi beberapa hal harus dibereskan. Salah satunya, jangan biarkan lagi proses bullying politik berlanjut. Sepeninggal Sri Mulyani, jangan sampai penggantinya, Wakil Presiden Boediono, juga para pimpinan KPK, jadi sasaran bullying.
Ketiga, kelompok menengah dan kalangan profesional perlu mengawal kelanjutan reformasi kelembagaan yang sudah dilakukan Sri Mulyani. Dukungan ini penting untuk menciptakan demand atas reformasi dan antikorupsi. Tanpa peran konkret dari kelompok menengah, reformasi kelembagaan hanya akan berputar sebatas wacana politik dan aktivisme.
Keempat, gunakan senjata dalam demokrasi: suara. Catat dan ingatlah baik-baik perilaku partai dan politikus DPR yang selama ini membuat keruh suhu politik. Hukum mereka pada 2014.
Sekali lagi, ini bukan persoalan Sri Mulyani. Ini persoalan Tanah Air, persoalan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo