Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sri Mulyani Kembali ke Habitat?

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iman Sugema

  • Direktur InterCAFE, Institut Pertanian Bogor

    SRI Mulyani memilih bekerja di Bank Dunia ketimbang bertahan sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Dari kacamata profesional, keputusan ini tentu tidak salah karena seorang profesional akan selalu mencari posisi di habitat tempat dia bisa bekerja lebih maksimal. Apalagi gaji sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia jauh lebih besar ketimbang gaji menteri.

    Dari sisi paradigma pemikiran, Sri Mulyani juga sangat sejalan dengan kebijakan umum yang biasa ditempuh Bank Dunia. Lembaga ini selalu mengedepankan liberalisasi perdagangan dan investasi, penghapusan subsidi, dan privatisasi perusahaan negara. Sri Mulyani akan memperoleh jabatan di sebuah lembaga yang cocok dengan paradigma yang selama ini dianutnya. Setelah meninggalkan jabatannya di Dana Moneter Internasional (IMF), dia sekarang menemukan kembali habitat yang paling cocok.

    Yang menjadi masalah adalah dia menanggalkan jabatan sebagai Menteri Keuangan pada saat kasus Bank Century mulai memasuki tahap penegakan hukum. Sri Mulyani disebut sebagai salah satu pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Dewan Perwakilan Rakyat sudah merekomendasikan agar para pihak yang dianggap bertanggung jawab diproses secara hukum.

    Wajar bila timbul spekulasi bahwa Bank Dunia secara sengaja memberikan exit ramp agar Sri Mulyani tidak mudah dijerat secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi spekulasi ini juga harus diberi catatan bahwa jikalau benar Sri Mulyani secara pidana dapat dipersalahkan, ke mana pun dan sampai kapan pun dia menghindar akan merupakan upaya yang sia-sia belaka. Jangan lupa, rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat mengikat secara hukum selama 25 tahun. Tidak mungkin untuk memberikan proteksi hukum selama itu. Rezim pemerintahan akan berubah, tapi pada saat yang sama rekomendasi DPR tersebut tetap berlaku.

    Alternatifnya hanya satu, yakni Sri Mulyani harus membuktikan diri tidak bersalah secara hukum. Hal yang sama berlaku bagi Wakil Presiden Boediono, yang mungkin bisa selamat dari pemakzulan selama dia menjabat, tapi setelah itu dia masih bisa dihadapkan ke meja hijau.

    Mungkin penjelasan yang masuk akal tentang kepergian Sri Mulyani adalah kejenuhan dirinya sendiri dalam menghadapi angin politik yang terlalu kencang. Sebagai profesional yang sangat awam di bidang politik, langkahnya sering justru memperburuk situasi. Koalisi menjadi berantakan ketika dia secara terbuka menyerang Aburizal Bakrie melalui tunggakan pajak beberapa perusahaan batu bara yang terafiliasi dengan Ketua Golkar tersebut. Padahal sikap Sri Mulyani terhadap berbagai kasus pajak sebelumnya tergolong lunak, terutama yang menyangkut Paulus Tumewu (Ramayana). Tak aneh kemudian Golkar, yang tadinya terbelah dua, langsung kompak berseberangan dengan pemerintah.

    Asamnya hubungan Sri Mulyani dengan para politikus memang bukan tanpa preseden. Anda boleh bertanya kepada para politikus di Senayan dan mayoritas pasti menjawab bahwa Sri Mulyani adalah sosok menteri yang cerdas dan pandai berargumentasi, tapi juga sekaligus merupakan figur yang kurang disenangi. Penyebabnya sederhana saja: networking dengan politikus tidak pernah dijalin secara serius. Padahal kebijakan anggaran merupakan kebijakan ekonomi yang diputuskan secara politik. Karena itu, hubungan politik dan personal menjadi lebih penting dibanding hubungan formal struktural.

    Dan itu kembali terbukti dengan kencangnya arus penolakan terhadap sang Menteri di Komisi Keuangan DPR pada pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Alhasil, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti secara khusus mengutus Menteri Koordinator Perekonomian untuk memecahkan kebuntuan.

    Selama kasus Bank Century terus menjadi bola liar, selama itu pula batu sandungan akan terus dihadapi Sri Mulyani. Terlalu berbahaya bagi sebuah negara seperti Indonesia yang tingkat kemiskinannya masih terlalu akut untuk membiarkan kebijakan anggaran tersandera oleh hubungan yang membeku antara Lapangan Banteng dan Senayan. Negara bisa macet kalau hubungan tersebut tidak kunjung cair.

    Secara obyektif, situasi kerja Menteri Keuangan memang tidak lagi nyaman dan itu merupakan buah dari rangkaian kejadian yang panjang. Kasus Bank Century hanyalah merupakan kulminasi peristiwa. Dan wajar pula bila Sri Mulyani kemudian mencari tambatan yang lebih nyaman. World Bank memang merupakan habitat asli Sri Mulyani.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus