Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Prabowo memerintahkan kementerian berhemat dari 16 pos pengeluaran.
Penghematan anggaran dialokasikan untuk membiayai program prioritas yang butuh bujet besar.
Padahal anggaran negara memang sedang cekak.
INSTRUKSI Presiden Prabowo Subianto agar tiap kementerian dan lembaga negara menghemat anggaran dari 16 pos pengeluaran hingga Rp 306 triliun tak sesimpel niat efisiensi. Penghematan juga bukan untuk membiayai program populis pemerintah, seperti makan bergizi gratis yang butuh tambahan anggaran Rp 100 triliun. Pengetatan itu memang karena anggaran negara sedang cekak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo tahu betul ada warisan utang sangat besar dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tahun ini, pemerintah mesti membayar pokok utang dan bunga jatuh tempo hingga Rp 1.353 triliun. Sebagian besar utang adalah obligasi yang terbit setelah 2014. Artinya, pemerintah mau tak mau harus membayar utang itu, tak bisa bernegosiasi menundanya seperti utang pemerintah ke negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara kumulatif hingga 2029, nilai surat berharga negara yang jatuh tempo mencapai Rp 3.086 triliun. Warisan rasio utang terhadap produk domestik bruto dari pemerintahan Jokowi mencapai 41 persen atau naik ketimbang era Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 24,1 persen.
Besarnya utang itu adalah buah keputusan pemerintah yang tak tepat di masa lalu. Hambur-hambur anggaran untuk proyek infrastruktur besar, seperti Ibu Kota Nusantara dan kereta cepat Jakarta-Bandung, hingga bantuan sosial untuk kepentingan politik Jokowi yang membuat dompet negara makin tercekik.
Percobaan Prabowo menambah penerimaan negara lewat kenaikan pajak ditolak publik. Rencana kenaikan pajak ini memang bunuh diri di tengah melemahnya daya beli masyarakat, pemecatan di banyak industri padat karya, dan anjloknya jumlah kelas menengah pada tahun lalu.
Sementara itu, menambah utang juga bukan perkara mudah. Ketika publik Amerika Serikat memilih kembali Donald Trump sebagai presiden, banyak negara yang cenderung tunggu dan lihat keadaan ekonomi dunia dengan melihat kebijakan-kebijakan ekonomi Trump. Imbasnya, surat utang negara belum tentu laris di pasar keuangan. Kalaupun ada yang membeli, mereka pasti meminta imbal hasil tinggi yang membuat ongkos pemerintah membiayai utang makin besar.
Maka penghematan anggaran kementerian dan lembaga negara satu-satunya kebijakan paling mungkin saat ini. Prabowo terkena tulah “keberlanjutan” yang ia dengungkan untuk meneruskan kebijakan-kebijakan Jokowi selama masa kampanye pemilihan presiden.
Dengan kenyataan yang sudah bisa diduga sejak tahun lalu itu pun Prabowo tetap memaksakan ambisinya membentuk pemerintahan koalisi yang besar. Dengan 48 menteri, 5 kepala badan, dan 55 wakil menteri, Kabinet Merah Putih setidaknya membutuhkan anggaran rutin Rp 777 miliar setahun, menurut perhitungan Center of Economic and Law Studies, naik hampir 50 persen dibanding belanja para pembantu Jokowi.
Dari sini bisa kita lihat bahwa Prabowo tak secakap gembar-gembornya sendiri semasa kampanye. Sejak 2014, ia kerap membicarakan kebocoran anggaran yang membuat ekonomi Indonesia tak kunjung beranjak menjadi negara maju. Tapi, setelah punya kesempatan memperbaikinya dengan menjadi orang nomor satu di Indonesia, Prabowo dengan sengaja membocorkan anggaran negara melalui kabinet besar dan program populis.
Ia menunjuk kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang terbukti tak cakap mengelola keuangan negara karena tunduk pada kemauan Jokowi menghambur-hamburkan anggaran. Atau Prabowo memang menunjuknya kembali agar bisa seperti Jokowi yang memperkosa anggaran negara tanpa menimbang manfaatnya.
Masalahnya, keadaan tak seperti pada masa Jokowi. Warisan Jokowi membuat Prabowo tak punya keleluasaan memainkan anggaran. Ia meneruskan mekanisme berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia untuk membayar utang pemerintah yang membuat kredibilitas dan independensi bank sentral kian terpuruk.
Maka di sinilah kita kini: menikmati keberlanjutan penderitaan yang dibuat Jokowi dalam sepuluh tahun terakhir. ●