Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJANGGALAN proses penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menandakan belum ada perbaikan tata kelola pasar modal Indonesia. PT Bursa Efek Indonesia seharusnya malu karena pelbagai indikasi manipulasi IPO perusahaan tersebut malah diungkap oleh pihak lain di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Oktober tahun lalu, BREN, yang mayoritas sahamnya dikuasai Barito Pacific—perusahaan milik taipan Prajogo Pangestu—resmi melantai di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan yang bergerak di bidang energi terbarukan ini langsung menjadi raja bursa. Pada Desember 2023, nilai saham BREN melonjak sepuluh kali lipat dari harga saat penawaran perdananya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai saham BREN pada 8 Desember 2023 melesat hingga Rp 8.100 per lembar dan mencapai Rp 12 ribu per lembar pada Mei 2024. Namun, di balik kinerja cemerlang BREN di lantai bursa, belakangan terungkap perusahaan ini mengakali syarat IPO tentang ketentuan jumlah saham terbuka atau saham free float yang harus dipenuhi perusahaan.
Sejak 2021, Bursa Efek Indonesia mengatur setiap perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya di bursa harus memiliki saham terbuka minimal 7,5 persen dari jumlah saham yang diterbitkan. Adapun jika ekuitas calon emiten lebih dari Rp 200 miliar, jumlah saham terbuka yang harus dimiliki minimal 10 persen. Ada juga ketentuan pemegang saham emiten wajib berjumlah minimal 300 pihak.
Dugaan pelanggaran ini terungkap setelah FTSE Russell—salah satu indeks di Bursa Saham London—mencoret BREN dari daftar indeks mereka. FTSE Russell menyatakan hanya ada empat pemegang saham yang mengendalikan 97 persen dari total saham yang diterbitkan BREN. Jika benar, BREN juga melanggar prinsip tata kelola yang baik—salah satu syarat emiten masuk indeks FTSE Russell.
Masalah ini jelas bukan hanya akibat praktik lancung yang dilakukan BREN. Manajemen Bursa Efek Indonesia juga harus diperiksa karena meloloskan pencatatan saham perusahaan yang tak memenuhi ketentuan.
Selain otoritas bursa, lembaga yang harus bertanggung jawab atas kekacauan IPO BREN adalah Otoritas Jasa Keuangan, yang berwenang mengawasi industri pasar modal. Sebab, OJK memiliki kewenangan penuh menolak atau mengizinkan sebuah perusahaan menggelar penawaran umum perdana saham.
Bursa Efek Indonesia, dengan pengawasan ketat OJK, seharusnya menjadi kurator yang ketat dan berdisiplin dalam menyeleksi saham-saham perusahaan yang diperdagangkan. Ibarat mal, Bursa Efek Indonesia adalah pemilik sekaligus pengelola pusat pertokoan. Seharusnya otoritas bursa bersikap selektif agar tidak ada saham busuk yang diperjualbelikan guna melindungi investor.
Salah satu penyebab leluasanya perusahaan bermasalah memperdagangkan sahamnya adalah orientasi target Bursa Efek Indonesia hanya menyasar angka-angka pertumbuhan dan kinerja kuantitatif, seperti penambahan jumlah perusahaan yang melakukan IPO. Dampaknya, bursa saham sebagai sarana perputaran modal dan ajang investasi publik tidak kunjung menerapkan tata kelola yang baik.
Tak salah jika banyak yang menyebut bursa saham kita sudah menyerupai kasino.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bukti Buruknya Tata Kelola Bursa"