Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Islam 1990: renungan seorang nonmuslim

12 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 1990 mengesan sebagai tahun solidaritas umat Islam di Indonesia. Pengesahan UU Peradilan Agama, cobaan di Mina, kasus penghinaan Nabi Muhammad dalam Monitor, pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan pemberitaan luas mengenai Muktamar Muhammadiyah merupakan peristiwa yang meningkatkan kesadaran umat Islam akan kedudukannya dalam masyarakat Indonesia. Bagi saya, tahun 1990 merupakan tahun optimisme tentang umat Islam di Indonesia. Sebagai warga agama minoritas, saya tidak dapat tidak tersentuh oleh segala apa yang berlangsung dalam agama mayoritas. Peristiwa-peristiwa tahun 1990 itu membuat saya optimistis tentang masa depan bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang beradab, toleran, dan solider. Tidak semua teman seumat memahami optimisme saya. Ada yang justru merasa dibenarkan dalam suatu kekhawatiran tentang agama Islam yang tidak pernah jauh di bawah permukaan kesadaran mereka. Terutama kemarahan besar yang sebentar meledak sesudah Monitor mempublikasikan angketnya itu. Mereka juga kurang mengerti mengapa kesalahan sebuah tabloid yang belum pernah berpretensi ada sangkut pautnya dengan umat Katolik mesti dihubungkan dengan hal kerukunan antaragama. Perasaan bahwa alasan apa saja dapat menempatkannya di ujung tanduk memperkuat fobi-fobi endemis sebuah minoritas. Namun, bagi saya, yang mencolok adalah kebalikannya. Selama tahun 1990, umat Islam Indonesia sempat menunjukkan wajahnya yang sebenarnya -- bukan yang dibuat-buat. Dan, apa yang kelihatan? Bahwa umat Islam memang dapat marah, bahwa ada perlakuan-perlakuan yang tidak akan diterimanya. Namun, terutama bahwa umat Islam dan tokoh-tokohnya, dalam kemarahan pun, terbuka untuk bicara. Dan bahwa sikap dasar -- yang ramah terhadap agama lain -- tidak hilang. Yang mencolok dalam kasus Monitor: Bukan kemarahan umat Islam -- yang sepenuhnya dapat saya mengerti -- melainkan bahwa kemarahan itu tidak meluas. Bahwa saya hanya melihat dua pamflet anti-Kristen saja yang sungguh-sungguh tak baik, dan tidak puluhan. Bahwa perdamaian antara umat beragama tidak dicoba diganggu. Dari puluhan tanggapan yang beraneka ragam dari kalangan muslim tentang kasus Monitor, yang dimuat dalam media pers, tak satu pun yang mengusulkan, langsung atau terselubung, agar kesediaan dasar untuk menerima warga agama yang lain sebagai warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama dipersoalkan kembali. Bahwa, tanpa desakan dari atas, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melaksanakan seminarnya tentang absolusitas dan relativitas agama hanya sebulan sesudah kasus Monitor, dengan mengundang (dan dihadiri oleh) pelbagai tokoh umat beragama. Dalam seminar itu terjadi dialog terbuka dan mendalam dalam suasana yang baik, hanyalah sebuah contoh bagi kesediaan untuk tetap bersaudara. Selama tahun lalu, sering diperdengarkan bahwa umat Islam adalah mayoritas dalam negara ini. Itu pun ada teman-teman seumat saya yang kaget mendengarnya. Tetapi seharusnya kita malah gembira karena umat Islam memang mayoritas dalam negara ini. Dengan bertolak dari pendapat Cak Nur: Apabila umat Islam menyadari diri sebagai mayoritas, kerukunan beragama justru terjamin. Semakin saudara-saudara Islam dengan sadar memikul tanggung jawab yang terletak di bahu agama mayoritas, semakin baik bagi seluruh bangsa. Mau tak mau, pada mayoritas terletak beban utama (meskipun minoritas tidak boleh lepas tanggung jawab) dalam menjamin hidup bersama yang rukun dan sesuai dengan citacita kemanusiaan semua golongan. Mayoritaslah yang dipanggil untuk, dalam semangat solidaritas bangsa, menjamin kesejahteraan, kebebasan, dan kesamaan hak dan kewajiban mereka yang minoritas. Tentu kita tidak naif ataupun buta terhadap ketegangan yang masih ada. Masih banyak salah paham dan kecurigaan satu sama lain di antara umat beragama -- yang memerlukan usaha yang sabar dan arif untuk lama-kelamaan mengatasinya. Komunikasi masih tetap perlu ditingkatkan. Namun, tahun 1990 menunjukkan bahwa emosi dan salah paham pun tidak dapat merusak kerukunan fundamental negara Pancasila yang telah terbangun. Kita boleh optimistis melihat ke masa depan. Mengubah sedikit ucapan Cak Nur: Agar Pancasila dapat kita andalkan, kita memang harus dan boleh mengandalkan toleransi umat Islam. FRANZ MAGNIS-SUSENO S.J. STF Driyarkara PO Box 1397 Jakarta 10013

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus